Dimensi Teologis-Humanis Ajaran Kurban

Jum'at, 24 Agustus 2018 - 08:17 WIB
Dimensi Teologis-Humanis Ajaran Kurban
Dimensi Teologis-Humanis Ajaran Kurban
A A A
Faisal Ismail

Guru Besar Pascasarjana Fakultas Ilmu Agama Islam

Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

IDUL Adha merupakan momen bagi muslim yang mampu untuk berkurban (menyembelih hewan kurban). Ajaran kurban berawal dari perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih putra tercintanya Ismail. Perintah Allah ini terdapat dalam Alquran: ”Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu? Ia menjawab: Hai bapakku, laksanakanlah apa yang Allah perintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Ash-Shaffat: 102).

Dengan iman yang sangat kuat penuh perasaan tulus dan ikhlas, Nabi Ibrahim menaati perintah Allah untuk menyembelih putra tercintanya Ismail. Pada detik-detik penyembelihan segera dilakukan, Allah dengan kemahakuasaan-Nya mengganti Ismail dengan seekor kambing, dan kambing itulah yang akhirnya disembelih oleh Nabi Ibrahim. Persis seperti firman Allah dalam Alquran: “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya), dan Kami panggillah dia: Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, dan sesungguhnya Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata, dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (Ash-Shaffat: 103-107).

Ajaran kurban yang pada mulanya diperintahkan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim itu diteruskan menjadi ajaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Ajaran kurban ini dipertegas dalam Alquran Surah Al-Kautsar ayat 1-2: “Sesungguhnya Kami telah memberikan karunia sangat banyak kepadamu, maka salatlah untuk Tuhanmu dan berkurbanlah.”

Umat Islam yang berkurban biasanya menyerahkan hewan kurban mereka (kambing, domba, atau sapi) kepada panitia atau takmir masjid agar hewan kurban itu disembelih dan dagingnya diberikan kepada kaum dhuafa.

Makna Teologis, Humanis, dan Etis

Pengamalan ibadah kurban mempunyai makna dan tujuan yang sangat luhur dan mulia bagi manusia dan kemanusiaan. Pertama, pengamalan ajaran kurban merupakan wujud nyata ketakwaan kepada Allah. Bukan terletak pada daging dan darah hewan kurban itu, bukan pula daging dan darah hewan kurban itu yang sampai pada keridhaan Allah. Tetapi terletak pada bobot dan kualitas takwa orang yang berkurban itu, dan kualitas takwa itulah yang pada hakikatnya sampai kepada keridhaan Allah. Hal ini secara jelas dan eksplisit dinyatakan oleh Allah dalam Alquran Surah Al-Hajj ayat 37: “Daging-daging kurban dan darahnya itu sekali-kali tidak mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”

Kedua, ajaran kurban mendidik manusia untuk senantiasa teguh beriman kepada Allah, tunduk, patuh, dan ikhlas kepada-Nya sebagaimana diteladankan oleh Nabi Ibrahim dan putranya Ismail. Melalui ajaran kurban, manusia dididik untuk berkorban secara ikhlas dan tulus dalam hidupnya. Para syuhada dan pahlawan kemerdekaan yang telah berjuang memerdekakan bangsa dan negara merupakan contoh konkret yang semangat juang dan pengorbanan mereka patut diteladani dan diwarisi. Mereka telah mengorbankan jiwa, raga, dan harta benda mereka demi meraih dan mempertahankan kemerdekaan.

Ketiga, ajaran kurban mendidik manusia untuk ”menyembelih” nafsu hewaniah yang ada dalam dirinya. Nafsu hewaniah yang berbentuk egoisme (ananiah), individualisme, ketamakan, kerakusan, keserakahan (harta dan kekuasaan), sifat kebinatangan, kejalangan, keberingasan, dan kejahatan lainnya haruslah dikekang dan bahkan harus dilenyapkan dalam diri manusia. Ini berarti perintah Allah untuk menyembelih hewan kurban itu sebenarnya secara doktrinal-teologis melambangkan penyembelihan nafsu hewaniah yang terdapat dalam diri manusia agar manusia mencapai nafsu mutmainnah.

Keempat, ajaran kurban secara etis-humanis merupakan manifestasi kepekaan moral dan kepedulian sosial. Adanya kepekaan dan kepedulian dari seseorang (kelompok masyarakat) kepada orang (kelompok) lain merupakan bukti adanya kesetiakawanan dan solidaritas sosial. Jika kepekaan dan kepedulian sosial ini luntur atau tergerus, maka kesetiakawanan sosial juga akan luntur dan hilang. Jika hal ini terjadi, tidak mustahil akan terjadi gejolak kecemburuan sosial yang bisa memicu terjadinya kerusuhan sosial yang mengakibatkan terjadinya disharmoni dan disintegrasi sosial yang bisa berdampak terhadap kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat.

Empati dan Bantuan Kemanusiaan

Ajaran kurban merupakan bentuk konkret pengamalan humanitarianisme Islam. Ajaran kurban menggugah (kembali) kepekaan iman, kepekaan moral, dan kepedulian sosial umat Islam yang berkecukupan untuk berbagi rezeki dengan cara menyembelih hewan kurban yang dagingnya diberikan kepada kaum dhuafa agar mereka ikut merasakan keceriaan, kegembiraan, dan kebahagian di momen Idul Adha. Perasaan empati kita semakin tersentuh di tengah banyaknya musibah bencana alam (tanah longsor, banjir bandang, puting beliung, gelombang pasang, dan gempa bumi) yang terjadi secara beruntun di berbagai daerah dan merenggut banyak korban meninggal dunia, hilang, luka-luka, harta benda ludes dan terhanyut, sawah ladang terendam, dan rumah luluh lantak.

Peristiwa-peristiwa tragis mengenaskan akibat musibah bencana alam yang menimpa saudara-saudara kita di berbagai daerah (terakhir gempa bumi di Lombok dengan kekuatan 7 SR dan nilai kerusakan sebesar Rp7,45 triliun) sudah seharusnya menggugah empati, kepekaan moral, dan kepedulian sosial kita untuk menyalurkan dana kurban dan menyumbangkan dana kemanusiaan lainnya melalui yayasan atau panitia penggalangan dana sebagai bantuan kemanusiaan kita kepada para korban, keluarga korban, dan para pengungsi yang ditampung di tenda-tenda penampungan. Kita harus berempati terhadap duka derita mereka. Ajaran kurban yang secara diniyah-ilahiyah menggerakkan kepekaan moral dan kepedulian sosial merupakan esensi sejati pengamalan humanitarianisme Islam.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5531 seconds (0.1#10.140)