Otoritas Penegak Hukum ASEAN Komitmen Cegah Pelanggaran HAM
A
A
A
SEMARANG - Pertemuan para otoritas penegak hukum dan penjara dari negara-negara anggota ASEAN dalam workshop yang digelar Komisi Antarpemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (AICHR) di Semarang, Jawa Tengah, telah menghasilkan sejumlah kesepakatan.
Di antaranya, tidak seluruh negara anggota ASEAN memiliki ketentuan khusus dan definisi khusus untuk penyiksaan. Di banyak negara anggota ASEAN, tindak penyiksaan juga bukan termasuk ke dalam tindak pidana.
"Namun demikian, berbagai bentuk penyiksaan seperti kekerasan fisik, pemenjaraan paksa tanpa proses pidana, kekerasan dalam proses investigasi adalah bentuk pelanggaran hukum yang diatur dalam berbagai legislasi nasional di negara-negara anggota ASEAN," kata Dinna Wisnu, Wakil Indonesia untuk AICHR kepada wartawan, kemarin.
Kesepakatan lainnya yakni, meskipun tidak terdapat keseragaman definisi dan pengaturan penyiksaan dalam hukum nasional masing-masing negara ASEAN, namuan Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Perlakukan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (UN Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/ UN CAT) menjadi pedoman bagi negara-negara mengenai apa yang termasuk dalam penyiksaan.
"Selain itu, tindak-tindak yang termasuk dalam penyiksaan dapat ditemui dalam berbagai bentuk, antara lain penyiksaan fisik dan penyiksaan mental, pelanggaran dalam proses investigasi seperti paksaan untuk mendapatkan pengakuan tersangka, kekerasan fisik untuk mengeluarkan informasi dari tersangka atau untuk mendapatkan keterangan pengadilan, kondisi lapas yang tidak memadai dan tidak manusiawi, diskriminasi terhadap kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak, maupun diskriminasi berdasarkan latar belakang, etnis dan agama," jelas Dinna.
Hal-hal tersebut dapat terjadi dalam proses identifikasi tersangka, penangkapan, investigasi dan
penahanan. Kemudian, masih terdapat beberapa negara anggota ASEAN yang belum meratifikasi UN CAT, namun terdapat kesepahaman dan seluruh negara anggota sepakat pentingnya pencegahan penyiksaan.
"Untuk itu, seluruh negara anggota sepakat mengenai pentingnya meningkatkan pemahaman masyarakat umum agar mereka dapat mengenali ketika penyiksaan terjadi. Bagi aparat penegak hukum, peningkatan pemahaman ini juga sangat diperlukan dan dapat dilakukan melalui program peningkatan kapasitas," ujar Dinna Wisnu selaku penyelenggara workshop ini.
Dia menambahkan, kesepakan lain adalah negara-negara anggota ASEAN juga memahami perlunya peningkatan kualitas dan kondisi kerja aparat penegak hukum sebagai salah satu upaya mencegah penyiksaan.
Dinna menegaskan, bahwa Komisi Antarpemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (AICHR) selalu berkomitmen untuk mempromosikan pencegahan dan pemberantasan tindak penyiksaan dan segala bentuk tindakan kejam dan merendahkan martabat manusia atau melanggar hak asasi manusia seperti yang tertuang di dalam pasal 14 Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN (ASEAN Human RightsDeclaration/ AHRD).
Pasal tersebut menyatakan "Tidak seorang pun boleh mengalami penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat".
AICHR merupakan badan HAM ASEAN yang dibentuk pada tahun 2009. AICHR terdiri dari 10 (sepuluh) perwakilan dari setiap negara anggota dengan mandat untuk mengarusutamakan prinsip-prinsip HAM dan praktiknya dalam tiga pilar Komunitas ASEAN.
Sementara dalam pertemuan selama dua hari ini (14-15/8) tersebut telah terbangun komunikasi yang positif antar peserta khususnya dengan memperhatikan pengalaman masing masing negara ASEAN dalam memperbaiki peraturan perundang-undangan dan SOP penegakan hukum.
Peserta diberi bekal tehnik-tehnik alternative mencegah penyiksaan dan tindakan tidak manusiasi seperti investigatif interview, SOP bila ada napi yang melanggar aturan penjara, monitoring kinerja petugas lapas, dan sebagainya.
Selain itu, peserta juga berkunjung ke lapas kelas IIA (lapas perempuan) di Semarang untuk menyaksikan sendiri beragam tehnik anti penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi yang dilakukan di penjara yang konstruksi bangunannya sudah ada sejak 1894 dan merupakan cagar budaya sehingga tidak boleh diubah, over capacity, dengan campuran berbagai macam jenis pelaku kejahatan.
"Tanggapan peserta sangat positif. Mereka mengaku belajar tentang teknik menghitung kelayakan kondisi lapas, manajemen petugas lapas, dan kegiatan pembinaan warga hunian lapas," ujar Dinna.
Menurutnya, pekerjaan rumah ASEAN untuk pencegahan dan pemberantasan penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi baru terbuka karena pertemuan ini. Ini pertemuan pertama dimana di level ASEAN isu HAM saat penangkapan, investigasi dan pemasyarakatan dibahas secara khusus dan mendalam.
"Nampak betul kompleksitas penyelesaian masalah terutama karena rata-rata penegak hukum belum pernah menerima pelatihan teknik wawancara dan pengumpulan informasi untuk proses peradilan selama investigasi berlangsung, belum ada standar perlakuan narapidana karena kondisi lapas yang berbeda-beda dengan jalur komando yang berbeda-beda pula di setiap negara," tandasnya.
Pihaknya juga menyorot aspek perlindungan kelompok-kelompok rentan kapanpun mereka berurusan dengan hukum, seperti perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas. Hasil dari program adalah poin-poin pemahaman bersama tentang pasal 14 AHRD dan rekomendasi-rekomendasi praktis untuk ditindaklanjuti oleh AICHR termasuk upaya peningkatan kapasitas dan pendidikan lebih lanjut.
Di antaranya, tidak seluruh negara anggota ASEAN memiliki ketentuan khusus dan definisi khusus untuk penyiksaan. Di banyak negara anggota ASEAN, tindak penyiksaan juga bukan termasuk ke dalam tindak pidana.
"Namun demikian, berbagai bentuk penyiksaan seperti kekerasan fisik, pemenjaraan paksa tanpa proses pidana, kekerasan dalam proses investigasi adalah bentuk pelanggaran hukum yang diatur dalam berbagai legislasi nasional di negara-negara anggota ASEAN," kata Dinna Wisnu, Wakil Indonesia untuk AICHR kepada wartawan, kemarin.
Kesepakatan lainnya yakni, meskipun tidak terdapat keseragaman definisi dan pengaturan penyiksaan dalam hukum nasional masing-masing negara ASEAN, namuan Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Perlakukan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (UN Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/ UN CAT) menjadi pedoman bagi negara-negara mengenai apa yang termasuk dalam penyiksaan.
"Selain itu, tindak-tindak yang termasuk dalam penyiksaan dapat ditemui dalam berbagai bentuk, antara lain penyiksaan fisik dan penyiksaan mental, pelanggaran dalam proses investigasi seperti paksaan untuk mendapatkan pengakuan tersangka, kekerasan fisik untuk mengeluarkan informasi dari tersangka atau untuk mendapatkan keterangan pengadilan, kondisi lapas yang tidak memadai dan tidak manusiawi, diskriminasi terhadap kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak, maupun diskriminasi berdasarkan latar belakang, etnis dan agama," jelas Dinna.
Hal-hal tersebut dapat terjadi dalam proses identifikasi tersangka, penangkapan, investigasi dan
penahanan. Kemudian, masih terdapat beberapa negara anggota ASEAN yang belum meratifikasi UN CAT, namun terdapat kesepahaman dan seluruh negara anggota sepakat pentingnya pencegahan penyiksaan.
"Untuk itu, seluruh negara anggota sepakat mengenai pentingnya meningkatkan pemahaman masyarakat umum agar mereka dapat mengenali ketika penyiksaan terjadi. Bagi aparat penegak hukum, peningkatan pemahaman ini juga sangat diperlukan dan dapat dilakukan melalui program peningkatan kapasitas," ujar Dinna Wisnu selaku penyelenggara workshop ini.
Dia menambahkan, kesepakan lain adalah negara-negara anggota ASEAN juga memahami perlunya peningkatan kualitas dan kondisi kerja aparat penegak hukum sebagai salah satu upaya mencegah penyiksaan.
Dinna menegaskan, bahwa Komisi Antarpemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (AICHR) selalu berkomitmen untuk mempromosikan pencegahan dan pemberantasan tindak penyiksaan dan segala bentuk tindakan kejam dan merendahkan martabat manusia atau melanggar hak asasi manusia seperti yang tertuang di dalam pasal 14 Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN (ASEAN Human RightsDeclaration/ AHRD).
Pasal tersebut menyatakan "Tidak seorang pun boleh mengalami penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat".
AICHR merupakan badan HAM ASEAN yang dibentuk pada tahun 2009. AICHR terdiri dari 10 (sepuluh) perwakilan dari setiap negara anggota dengan mandat untuk mengarusutamakan prinsip-prinsip HAM dan praktiknya dalam tiga pilar Komunitas ASEAN.
Sementara dalam pertemuan selama dua hari ini (14-15/8) tersebut telah terbangun komunikasi yang positif antar peserta khususnya dengan memperhatikan pengalaman masing masing negara ASEAN dalam memperbaiki peraturan perundang-undangan dan SOP penegakan hukum.
Peserta diberi bekal tehnik-tehnik alternative mencegah penyiksaan dan tindakan tidak manusiasi seperti investigatif interview, SOP bila ada napi yang melanggar aturan penjara, monitoring kinerja petugas lapas, dan sebagainya.
Selain itu, peserta juga berkunjung ke lapas kelas IIA (lapas perempuan) di Semarang untuk menyaksikan sendiri beragam tehnik anti penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi yang dilakukan di penjara yang konstruksi bangunannya sudah ada sejak 1894 dan merupakan cagar budaya sehingga tidak boleh diubah, over capacity, dengan campuran berbagai macam jenis pelaku kejahatan.
"Tanggapan peserta sangat positif. Mereka mengaku belajar tentang teknik menghitung kelayakan kondisi lapas, manajemen petugas lapas, dan kegiatan pembinaan warga hunian lapas," ujar Dinna.
Menurutnya, pekerjaan rumah ASEAN untuk pencegahan dan pemberantasan penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi baru terbuka karena pertemuan ini. Ini pertemuan pertama dimana di level ASEAN isu HAM saat penangkapan, investigasi dan pemasyarakatan dibahas secara khusus dan mendalam.
"Nampak betul kompleksitas penyelesaian masalah terutama karena rata-rata penegak hukum belum pernah menerima pelatihan teknik wawancara dan pengumpulan informasi untuk proses peradilan selama investigasi berlangsung, belum ada standar perlakuan narapidana karena kondisi lapas yang berbeda-beda dengan jalur komando yang berbeda-beda pula di setiap negara," tandasnya.
Pihaknya juga menyorot aspek perlindungan kelompok-kelompok rentan kapanpun mereka berurusan dengan hukum, seperti perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas. Hasil dari program adalah poin-poin pemahaman bersama tentang pasal 14 AHRD dan rekomendasi-rekomendasi praktis untuk ditindaklanjuti oleh AICHR termasuk upaya peningkatan kapasitas dan pendidikan lebih lanjut.
(maf)