Menyehatkan Rupiah

Senin, 13 Agustus 2018 - 06:17 WIB
Menyehatkan Rupiah
Menyehatkan Rupiah
A A A
Pelemahan nilai tu­kar rupiah masih te­­rus berlanjut mes­ki berbagai kebijakan telah diluncurkan Bank Indo­ne­sia (BI) sebagai otoritas yang diberi mandat untuk mengawal rupiah.

Berdasarkan kurs Jakarta In­terbank Spot Dollar Rate (JISDOR), nilai tukar rupiah sam­pai dengan 3 Agustus 2018 te­lah bertengger di level Rp14.503 per dolar AS. Posisi rupiah ini telah melemah (de­presiasi) sekitar 7% dari awal 2018.

Apakah kinerja rupiah ini buruk? Tentu untuk bisa me­ni­lainya dengan fair harus di­ban­dingkan dengan nilai tu­kar ne­ga­ra lain, khususnya yang memiliki sovereign credit yang sama.

Saat ini Indonesia memiliki sovereign credit yang sama de­ngan India dan Rusia. Dan, jika dicermati, sejauh ini nilai tukar rupee India dan nilai tukar rubel Rusia telah melemah ma­sing-masing sebesar 7,3% dan 9,9%. Artinya kinerja rupiah sejauh ini tidaklah seburuk yang di­perkirakan.
Apalagi pelemahan juga me­nimpa nilai tukar global lain­nya, termasuk nilai tukar yang di­mi­liki negara-negara maju se­perti yen (Jepang) dan euro (Eropa).

Dinamika Ekonomi Global

Pelemahan nilai tukar ru­piah ini tidak dapat dilepaskan dari di­namika ekonomi global, kh­u­sus­nya dari Amerika Se­ri­kat (AS). Kinerja ekonomi AS yang terus membaik yang tec­ermin pada turunnya laju pengangguran dan me­rang­kaknya laju inflasi membuat otoritas moneter AS (The Fed) harus menempuh ke­bijakan mo­neter ketat dengan me­naik­kan suku bunga-suku bu­nga ke­bijakannya (federal funds rates/ FFR) untuk meng­an­tis­i­pasi ter­­ja­dinya pemanasan (over­heat­ing) terhadap pereko­no­mian.

Sejak 2015 kenaikan FFR ini telah dilakukan dan akan terus berlanjut sampai 2019. Hingga akhir tahun 2019, FFR diper­ki­rakan akan bertengger di level 3,75-4%. Saat ini masih di level 1,75-2,0%.

Naiknya tren suku bunga di AS ini akan membuat pasar ke­uangan AS menjadi lebih me­narik sehingga akan me­rang­sang aliran dana masuk (capital inflow) ke pasar keuangan AS (flight to quality ) dan imbasnya mendorong penguatan nilai tukar dolar AS.

Situasi inilah yang terjadi sejak awal tahun ini. Aliran dana keluar (capital outflow) cen­de­rung berlangsung dari pasar ke­uangan di kawasan emerging, termasuk Indonesia.

Sepanjang Januari-Juli 2018, aliran dana keluar dari pasar sa­ham Indonesia mencapai Rp 50 triliun yang berimbas pada ter­te­kannya IHSG yang diikuti dengan meningkatnya vola­ti­li­tas. Se­jum­lah saham ber­ka­pi­ta­lisasi besar (blue chip ) tertekan hebat dan men­catatkan return negatif.

Situasi yang sama juga ter­jadi di pasar Surat Berharga Ne­gara (SBN). Meski masih men­catatkan aliran dana masuk (capital inflow), nilainya jauh menciut ketimbang pada tahun 2017. Imbal hasil (yield) SBN acuan 10 tahun merangkak naik ke level 7,7% dari awal tahun 2018 di level 6,7%. Mening­ka­t­nya imbal hasil membuat pe­me­rintah harus mengeluarkan biaya tambahan untuk pe­ner­bit­an SBN dan pembayaran bu­nga utang.

Sejumlah kebijakan jangka pen­dek telah dijalankan oleh Bank Indonesia (BI) untuk me­redam pelemahan dan gejolak ru­piah ini. Sepanjang Mei-Juni 2018, misalnya, BI telah me­nge­rek naik suku bunga kebijakan (BI-7 days reverse repo rate /BI-7DRR) sebesar 100 bps menjadi 5,25%.

Harapannya, kenaikan suku bunga ini akan membuat pasar ke­uangan Indonesia kembali me­na­rik dan mendorong inves­tor asing kembali mengalirkan dananya ke pasar keuangan In­donesia dan dapat memperkuat rupiah.

Selain itu BI telah kembali mereaktivasi instrumen Ser­ti­fi­kat Bank Indonesia (SBI) tenor 9 dan 12 bulan. Tujuannya un­tuk mendorong kedalaman pa­sar keuangan dengan ber­tam­bah­nya ragam instrumen investasi.

Tentu kebijakan BI ini dalam jangka menengah akan me­ne­kan kinerja pertumbuhan eko­nomi. Naiknya suku bunga ber­potensi menekan kinerja kon­sumsi dan investasi yang nota­bene menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi.

Fondasi Ekonomi

Tentu kebijakan moneter dari BI tidak cukup untuk mem­buat rupiah menjadi stabil dan sehat secara berkelanjutan. Di­butuhkan kebijakan-kebijakan yang berkesinambungan dan bersifat jangka panjang. Tu­juan­nya untuk memperkuat fon­dasi ekonomi.

Bagaimanapun, jika fondasi ekonomi solid dan kuat, meski tekanan eksternal meng­ha­dang, nilai tukar rupiah diha­rap­kan tetap kokoh.
Sejauh ini fondasi ekonomi Indonesia masih cukup rapuh. Salah satu indikator yang me­nun­jukkan hal itu ialah masih terjadinya defisit transaksi ber­jalan (DTB). Negara yang me­mi­liki DTB yang besar biasanya nilai tukarnya akan cenderung melemah.

Oleh sebab itulah pe­me­rin­tah diharapkan dapat memper­baiki DTB dan meng­ubah­nya menjadi surplus transaksi berjalan (STB). Caranya dengan menggenjot eks­­por dan me­ngu­rangi keter­gantungan terhadap impor.

Untuk dapat menggenjot ki­nerja ekspor dibutuhkan sektor industri yang kuat dan tangguh untuk mendorong daya saing ekspor. Indonesia harus me­ngu­rangi ketergantungan ter­ha­dap komoditas mentah yang sa­ngat sensitif dengan per­ge­rakan harga global.

Di sisi lain pemerintah harus mendorong industri substitusi impor dan bahan baku untuk mengurangi ketergantungan pada impor.
Se­harusnya, dengan keka­ya­an alam yang dimiliki, In­do­ne­sia mampu menjadi basis bahan baku dunia. Kenyataannya be­lum terjadi.

Tidak hanya di situ, pe­me­rintah juga diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar mi­nyak (BBM) dengan mem­per­cepat bauran energi.

Setiap tahun Indonesia ha­rus mengeluarkan devisa yang besar untuk mengimpor BBM akibat tren konsumsi yang terus naik di tengah produksi yang terus turun.

Terakhir, sektor pariwisata juga harus terus didorong se­cara berkelanjutan. Sayangnya ke-mam­puan In­do­nesia menyedot devisa dari sektor pariwisata ma­sih cen­de­rung tertinggal dari ne­gara te­tangga. Tahun 2016, mi­salnya, devisa yang dihasilkan In­do­ne­sia dari sektor pariwisata se­be­sar USD11,3 miliar.

Hasil itu jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan Thailand yang sebesar USD49,9 miliar dan Malaysia USD18,1 miliar. Dengan kata lain, masih banyak sumbatan di sektor pariwisata yang harus dibereskan seperti masalah infrastruktur, SDM, dan regulasi.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7676 seconds (0.1#10.140)