Menyehatkan Rupiah
A
A
A
Pelemahan nilai tukar rupiah masih terus berlanjut meski berbagai kebijakan telah diluncurkan Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas yang diberi mandat untuk mengawal rupiah.
Berdasarkan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), nilai tukar rupiah sampai dengan 3 Agustus 2018 telah bertengger di level Rp14.503 per dolar AS. Posisi rupiah ini telah melemah (depresiasi) sekitar 7% dari awal 2018.
Apakah kinerja rupiah ini buruk? Tentu untuk bisa menilainya dengan fair harus dibandingkan dengan nilai tukar negara lain, khususnya yang memiliki sovereign credit yang sama.
Saat ini Indonesia memiliki sovereign credit yang sama dengan India dan Rusia. Dan, jika dicermati, sejauh ini nilai tukar rupee India dan nilai tukar rubel Rusia telah melemah masing-masing sebesar 7,3% dan 9,9%. Artinya kinerja rupiah sejauh ini tidaklah seburuk yang diperkirakan.
Apalagi pelemahan juga menimpa nilai tukar global lainnya, termasuk nilai tukar yang dimiliki negara-negara maju seperti yen (Jepang) dan euro (Eropa).
Dinamika Ekonomi Global
Pelemahan nilai tukar rupiah ini tidak dapat dilepaskan dari dinamika ekonomi global, khususnya dari Amerika Serikat (AS). Kinerja ekonomi AS yang terus membaik yang tecermin pada turunnya laju pengangguran dan merangkaknya laju inflasi membuat otoritas moneter AS (The Fed) harus menempuh kebijakan moneter ketat dengan menaikkan suku bunga-suku bunga kebijakannya (federal funds rates/ FFR) untuk mengantisipasi terjadinya pemanasan (overheating) terhadap perekonomian.
Sejak 2015 kenaikan FFR ini telah dilakukan dan akan terus berlanjut sampai 2019. Hingga akhir tahun 2019, FFR diperkirakan akan bertengger di level 3,75-4%. Saat ini masih di level 1,75-2,0%.
Naiknya tren suku bunga di AS ini akan membuat pasar keuangan AS menjadi lebih menarik sehingga akan merangsang aliran dana masuk (capital inflow) ke pasar keuangan AS (flight to quality ) dan imbasnya mendorong penguatan nilai tukar dolar AS.
Situasi inilah yang terjadi sejak awal tahun ini. Aliran dana keluar (capital outflow) cenderung berlangsung dari pasar keuangan di kawasan emerging, termasuk Indonesia.
Sepanjang Januari-Juli 2018, aliran dana keluar dari pasar saham Indonesia mencapai Rp 50 triliun yang berimbas pada tertekannya IHSG yang diikuti dengan meningkatnya volatilitas. Sejumlah saham berkapitalisasi besar (blue chip ) tertekan hebat dan mencatatkan return negatif.
Situasi yang sama juga terjadi di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Meski masih mencatatkan aliran dana masuk (capital inflow), nilainya jauh menciut ketimbang pada tahun 2017. Imbal hasil (yield) SBN acuan 10 tahun merangkak naik ke level 7,7% dari awal tahun 2018 di level 6,7%. Meningkatnya imbal hasil membuat pemerintah harus mengeluarkan biaya tambahan untuk penerbitan SBN dan pembayaran bunga utang.
Sejumlah kebijakan jangka pendek telah dijalankan oleh Bank Indonesia (BI) untuk meredam pelemahan dan gejolak rupiah ini. Sepanjang Mei-Juni 2018, misalnya, BI telah mengerek naik suku bunga kebijakan (BI-7 days reverse repo rate /BI-7DRR) sebesar 100 bps menjadi 5,25%.
Harapannya, kenaikan suku bunga ini akan membuat pasar keuangan Indonesia kembali menarik dan mendorong investor asing kembali mengalirkan dananya ke pasar keuangan Indonesia dan dapat memperkuat rupiah.
Selain itu BI telah kembali mereaktivasi instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tenor 9 dan 12 bulan. Tujuannya untuk mendorong kedalaman pasar keuangan dengan bertambahnya ragam instrumen investasi.
Tentu kebijakan BI ini dalam jangka menengah akan menekan kinerja pertumbuhan ekonomi. Naiknya suku bunga berpotensi menekan kinerja konsumsi dan investasi yang notabene menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi.
Fondasi Ekonomi
Tentu kebijakan moneter dari BI tidak cukup untuk membuat rupiah menjadi stabil dan sehat secara berkelanjutan. Dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang berkesinambungan dan bersifat jangka panjang. Tujuannya untuk memperkuat fondasi ekonomi.
Bagaimanapun, jika fondasi ekonomi solid dan kuat, meski tekanan eksternal menghadang, nilai tukar rupiah diharapkan tetap kokoh.
Sejauh ini fondasi ekonomi Indonesia masih cukup rapuh. Salah satu indikator yang menunjukkan hal itu ialah masih terjadinya defisit transaksi berjalan (DTB). Negara yang memiliki DTB yang besar biasanya nilai tukarnya akan cenderung melemah.
Oleh sebab itulah pemerintah diharapkan dapat memperbaiki DTB dan mengubahnya menjadi surplus transaksi berjalan (STB). Caranya dengan menggenjot ekspor dan mengurangi ketergantungan terhadap impor.
Untuk dapat menggenjot kinerja ekspor dibutuhkan sektor industri yang kuat dan tangguh untuk mendorong daya saing ekspor. Indonesia harus mengurangi ketergantungan terhadap komoditas mentah yang sangat sensitif dengan pergerakan harga global.
Di sisi lain pemerintah harus mendorong industri substitusi impor dan bahan baku untuk mengurangi ketergantungan pada impor.
Seharusnya, dengan kekayaan alam yang dimiliki, Indonesia mampu menjadi basis bahan baku dunia. Kenyataannya belum terjadi.
Tidak hanya di situ, pemerintah juga diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar minyak (BBM) dengan mempercepat bauran energi.
Setiap tahun Indonesia harus mengeluarkan devisa yang besar untuk mengimpor BBM akibat tren konsumsi yang terus naik di tengah produksi yang terus turun.
Terakhir, sektor pariwisata juga harus terus didorong secara berkelanjutan. Sayangnya ke-mampuan Indonesia menyedot devisa dari sektor pariwisata masih cenderung tertinggal dari negara tetangga. Tahun 2016, misalnya, devisa yang dihasilkan Indonesia dari sektor pariwisata sebesar USD11,3 miliar.
Hasil itu jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan Thailand yang sebesar USD49,9 miliar dan Malaysia USD18,1 miliar. Dengan kata lain, masih banyak sumbatan di sektor pariwisata yang harus dibereskan seperti masalah infrastruktur, SDM, dan regulasi.
Berdasarkan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), nilai tukar rupiah sampai dengan 3 Agustus 2018 telah bertengger di level Rp14.503 per dolar AS. Posisi rupiah ini telah melemah (depresiasi) sekitar 7% dari awal 2018.
Apakah kinerja rupiah ini buruk? Tentu untuk bisa menilainya dengan fair harus dibandingkan dengan nilai tukar negara lain, khususnya yang memiliki sovereign credit yang sama.
Saat ini Indonesia memiliki sovereign credit yang sama dengan India dan Rusia. Dan, jika dicermati, sejauh ini nilai tukar rupee India dan nilai tukar rubel Rusia telah melemah masing-masing sebesar 7,3% dan 9,9%. Artinya kinerja rupiah sejauh ini tidaklah seburuk yang diperkirakan.
Apalagi pelemahan juga menimpa nilai tukar global lainnya, termasuk nilai tukar yang dimiliki negara-negara maju seperti yen (Jepang) dan euro (Eropa).
Dinamika Ekonomi Global
Pelemahan nilai tukar rupiah ini tidak dapat dilepaskan dari dinamika ekonomi global, khususnya dari Amerika Serikat (AS). Kinerja ekonomi AS yang terus membaik yang tecermin pada turunnya laju pengangguran dan merangkaknya laju inflasi membuat otoritas moneter AS (The Fed) harus menempuh kebijakan moneter ketat dengan menaikkan suku bunga-suku bunga kebijakannya (federal funds rates/ FFR) untuk mengantisipasi terjadinya pemanasan (overheating) terhadap perekonomian.
Sejak 2015 kenaikan FFR ini telah dilakukan dan akan terus berlanjut sampai 2019. Hingga akhir tahun 2019, FFR diperkirakan akan bertengger di level 3,75-4%. Saat ini masih di level 1,75-2,0%.
Naiknya tren suku bunga di AS ini akan membuat pasar keuangan AS menjadi lebih menarik sehingga akan merangsang aliran dana masuk (capital inflow) ke pasar keuangan AS (flight to quality ) dan imbasnya mendorong penguatan nilai tukar dolar AS.
Situasi inilah yang terjadi sejak awal tahun ini. Aliran dana keluar (capital outflow) cenderung berlangsung dari pasar keuangan di kawasan emerging, termasuk Indonesia.
Sepanjang Januari-Juli 2018, aliran dana keluar dari pasar saham Indonesia mencapai Rp 50 triliun yang berimbas pada tertekannya IHSG yang diikuti dengan meningkatnya volatilitas. Sejumlah saham berkapitalisasi besar (blue chip ) tertekan hebat dan mencatatkan return negatif.
Situasi yang sama juga terjadi di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Meski masih mencatatkan aliran dana masuk (capital inflow), nilainya jauh menciut ketimbang pada tahun 2017. Imbal hasil (yield) SBN acuan 10 tahun merangkak naik ke level 7,7% dari awal tahun 2018 di level 6,7%. Meningkatnya imbal hasil membuat pemerintah harus mengeluarkan biaya tambahan untuk penerbitan SBN dan pembayaran bunga utang.
Sejumlah kebijakan jangka pendek telah dijalankan oleh Bank Indonesia (BI) untuk meredam pelemahan dan gejolak rupiah ini. Sepanjang Mei-Juni 2018, misalnya, BI telah mengerek naik suku bunga kebijakan (BI-7 days reverse repo rate /BI-7DRR) sebesar 100 bps menjadi 5,25%.
Harapannya, kenaikan suku bunga ini akan membuat pasar keuangan Indonesia kembali menarik dan mendorong investor asing kembali mengalirkan dananya ke pasar keuangan Indonesia dan dapat memperkuat rupiah.
Selain itu BI telah kembali mereaktivasi instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tenor 9 dan 12 bulan. Tujuannya untuk mendorong kedalaman pasar keuangan dengan bertambahnya ragam instrumen investasi.
Tentu kebijakan BI ini dalam jangka menengah akan menekan kinerja pertumbuhan ekonomi. Naiknya suku bunga berpotensi menekan kinerja konsumsi dan investasi yang notabene menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi.
Fondasi Ekonomi
Tentu kebijakan moneter dari BI tidak cukup untuk membuat rupiah menjadi stabil dan sehat secara berkelanjutan. Dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang berkesinambungan dan bersifat jangka panjang. Tujuannya untuk memperkuat fondasi ekonomi.
Bagaimanapun, jika fondasi ekonomi solid dan kuat, meski tekanan eksternal menghadang, nilai tukar rupiah diharapkan tetap kokoh.
Sejauh ini fondasi ekonomi Indonesia masih cukup rapuh. Salah satu indikator yang menunjukkan hal itu ialah masih terjadinya defisit transaksi berjalan (DTB). Negara yang memiliki DTB yang besar biasanya nilai tukarnya akan cenderung melemah.
Oleh sebab itulah pemerintah diharapkan dapat memperbaiki DTB dan mengubahnya menjadi surplus transaksi berjalan (STB). Caranya dengan menggenjot ekspor dan mengurangi ketergantungan terhadap impor.
Untuk dapat menggenjot kinerja ekspor dibutuhkan sektor industri yang kuat dan tangguh untuk mendorong daya saing ekspor. Indonesia harus mengurangi ketergantungan terhadap komoditas mentah yang sangat sensitif dengan pergerakan harga global.
Di sisi lain pemerintah harus mendorong industri substitusi impor dan bahan baku untuk mengurangi ketergantungan pada impor.
Seharusnya, dengan kekayaan alam yang dimiliki, Indonesia mampu menjadi basis bahan baku dunia. Kenyataannya belum terjadi.
Tidak hanya di situ, pemerintah juga diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar minyak (BBM) dengan mempercepat bauran energi.
Setiap tahun Indonesia harus mengeluarkan devisa yang besar untuk mengimpor BBM akibat tren konsumsi yang terus naik di tengah produksi yang terus turun.
Terakhir, sektor pariwisata juga harus terus didorong secara berkelanjutan. Sayangnya ke-mampuan Indonesia menyedot devisa dari sektor pariwisata masih cenderung tertinggal dari negara tetangga. Tahun 2016, misalnya, devisa yang dihasilkan Indonesia dari sektor pariwisata sebesar USD11,3 miliar.
Hasil itu jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan Thailand yang sebesar USD49,9 miliar dan Malaysia USD18,1 miliar. Dengan kata lain, masih banyak sumbatan di sektor pariwisata yang harus dibereskan seperti masalah infrastruktur, SDM, dan regulasi.
(nag)