PKS dan Post-Islamisme

Senin, 13 Agustus 2018 - 07:39 WIB
PKS dan Post-Islamisme
PKS dan Post-Islamisme
A A A
Satrio Wahono
Sosiolog dan Magister Filsafat UI, Pengajar Sosiologi Politik
di FEB Universitas Pancasila

Akhirnya teka-teki seputar siapa yang akan berlaga pada Pemilihan Pre­si­den (Pilpres) 2019 terjawab su­dah. Tanding ulang antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto akan hadir kembali. Hal yang mengejutkan adalah pilihan calon wakil presiden (cawapres) mereka: KH Ma’ruf Amin di kubu Jokowi dan San­diaga Uno sebagai pendamping Prabowo. Tak pelak, dua pi­lih­an kejutan ini masih meng­un­dang hiruk-pikuk opini dan ana­lisis hingga kini.

Namun satu hal yang lebih menarik tapi luput di tengah ingar-bingar itu adalah per­nya­taan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) soal Sandiaga Uno. Tak lama sesudah pengumuman pen­­calonan Sandiaga, se­jum­lah petinggi PKS mengatakan bahwa Sandiaga mewakili ge­ne­rasi pasca-Islamisme atau post-Islamisme.

Tak pelak pernyataan ini me­narik untuk diulik lebih jauh. Sebab PKS selama ini di­kenal sebagai sebuah partai yang justru berplatform ideo­logi Islamisme. Lantas apakah pernyataan PKS ini bisa kita ar­tikan sebagai pergeseran ideo­logis di tubuh partai ini menuju post-Islamisme? Apa pula yang di­maksud sebagai post-Is­la­mis­me? Tulisan singkat ini akan mencoba menjawabnya.

Islamisme Moderat

Sebelumnya kita perlu tahu dulu bahwa sejak pen­di­rian­nya, Partai Keadilan (PK) yang ke­mudian bertransformasi men­jadi PKS pada Pemilu 2004 akibat gagalnya PK me­me­nuhi parliamentary thre­shold pada Pemilu 1999 me­ng­usung ideo­­logi Islamisme. Ideo­logi ini sendiri per definisi memiliki tu­juan mendirikan negara atau sis­tem Islam. Mes­kipun de­mi­kian ada beragam faksi di dalam Islamisme, te­ta­pi tetap dengan tujuan akhir mendirikan negara Islam atau se­tidaknya me­wu­jud­kan sis­tem yang ber­da­sar­kan ideologi Islam.

Dalam konteks ini, merujuk pada tesis master Burhanuddin Muhtadi di Australian Na­tio­nal University (Dilema PKS; Sua­ra dan Syariah, KPG, 2012, hlm 49), PKS lebih tepat di­ka­te­gorikan sebagai “Islamisme mo­derat” ketimbang “Isla­mis­me jihadis-radikal”. PKS ber­ope­rasi dalam kerangka sistem demokrasi dan menerima ga-gasan negara-bangsa (nation-state) seraya tegas mengusung ge­rakan damai yang meng­hin­dari penggunaan kekerasan dalam mencapai tujuan.

Terlepas dari itu, PKS secara garis umum masih banyak di­pandang orang sebagai partai Islam garis kanan yang sekadar menerima sistem demokrasi sebagai taktik untuk mencapai cita-cita ideologis atau Isla­mis­menya itu. Sebab PKS secara his­toris memang terbentuk dari ge­rakan Tarbiah yang me­ng­adop­­si pemikiran Ikhwanul Mus­lim dan Hasan al-Banna bahwa Is­lam dan negara adalah dua hal yang tidak terpisahkan.

Se­ba­gai­mana dikemukakan Greg Fealy dan Anthony Bubalo (Je­jak Kafilah, Mizan, 2007, hlm 109), gerakan Tarbiah yang nanti menjelma menjadi PKS menganggap Islamisasi negara sebagai proses bertahap yang harus dimulai dari tingkat ke­sa­lehan tinggi dalam masyarakat.

Di sisi lain post-Islamisme jauh berbeda dengan Isla­mis­me. Menurut Ariel Heryanto dalam Identitas dan Ke­nik­mat­an (KPG, 2015, hlm. 59), post-Is­la­misme adalah sebuah upa­ya un­tuk menyatukan re­li­gio­si­tas dan hak-hak, keimanan dan ke­be­bas­an, Islam dan ke­mer­de­ka­an.

Kondisi atau proyek post-Is­la­mis­me ini lebih me­nek­ankan hak daripada ke­wa­jiban, kera­ga­m­­an sebagai peng­ganti suara oto­ritas yang tung­gal, kese­ja­rah­an ketimbang teks keaga­ma­an, serta masa de­pan ketimbang masa lalu. Post-Islamisme ini ingin me­ng­a­win­kan antara pi­lih­an individu dan kebebasan, an­tara demokrasi dan modernitas.

Untuk memudahkan pe­ma­ham­an, kita bisa mengatakan bahwa kredo post-Islamisme adalah iman, kenikmatan, dan kekayaan. Inilah kondisi di mana penganutnya bisa saja saleh dalam ritual peribadatan dan tampilan formal (seperti mengenakan jilbab atau ko­piah), tetapi tidak merasa ber­salah atau rikuh mengonsumsi produk budaya modern seperti menonton konser musik Barat atau K-Pop, menonton film, berbelanja di mal-mal men­te­reng, dan sebagainya.

Kepentingan Pragmatis

Lantas apa yang bisa dibaca dari pernyataan post-Isla­mis­me PKS dari kerangka pe­mi­kiran di atas? Tak lain tak bukan bahwa PKS melontarkannya ber­dasarkan motif ke­pen­ti­ngan pragmatis, yaitu ingin me­nuai suara sebanyak mung­kin dari generasi muda atau kaum mi­lenial.

Pasalnya po­tensi suara kaum yang berusia 18-40 tahun ini cukup me­ng­giurkan, yaitu sekitar 85 juta dari 160 juta pemilih alias 50% lebih. Se­men­tara itu karakter anak muda yang beragama Is­lam se­sung­guhnya lebih ba­nyak di­do­mi­nasi oleh mereka yang sekuler atau pasca-Isla­mis.

Studi psi­ko­logi sosial Mu­hammad Faisal da­lam Ge­nerasi Phi (Republika Pe­nerbit, 2017, hlm 142) me­nguat­kan hal ini ketika men­da­pa­ti bahwa gene­rasi milenial atau phi m uslim Indonesia ingin menjadi saleh, lebih baik, dan memiliki pe­ma­haman agama. Perilaku saleh dan rajin ibadah dianggap se­ba­gai anti-main­stream dan ka­renanya keren se­suai dengan karakteristik anak muda yang pemberontak dan ingin tampil beda (rebellious).

Dengan kata lain, PKS se­ja­tinya sementara ini ingin me­ning­galkan diferensiasi me­le­kat­nya sebagai partai Islamis ka­nan yang mengusung isu-isu pengarusutamaan Islam dengan tujuan akhir syariahisasi negara dan menggesernya ke tengah. Dengan demikian PKS dengan pergeseran ini se­sungguhnya jadi tidak beda jauh dengan parpol-parpol lain di Indonesia, yang secara umum juga bercita-cita menjadi partai tengah atau catch-all party yang bisa merangkul semua golongan.

Ujung akhirnya, Pemilu 2019 yang secara serentak me­milih calon anggota legislatif dari partai politik dan pre­si­den-wakil presiden se­sung­guh­nya akan menjadi ajang kontestasi dari produk-produk yang secara generik memiliki kandungan isi yang sama, ha­nya dengan ke­masan yang ber­be­da, demi satu tujuan prag­ma­tis: meraih tam­puk kekuasaan.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6563 seconds (0.1#10.140)