PKS dan Post-Islamisme
A
A
A
Satrio Wahono
Sosiolog dan Magister Filsafat UI, Pengajar Sosiologi Politik
di FEB Universitas Pancasila
Akhirnya teka-teki seputar siapa yang akan berlaga pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 terjawab sudah. Tanding ulang antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto akan hadir kembali. Hal yang mengejutkan adalah pilihan calon wakil presiden (cawapres) mereka: KH Ma’ruf Amin di kubu Jokowi dan Sandiaga Uno sebagai pendamping Prabowo. Tak pelak, dua pilihan kejutan ini masih mengundang hiruk-pikuk opini dan analisis hingga kini.
Namun satu hal yang lebih menarik tapi luput di tengah ingar-bingar itu adalah pernyataan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) soal Sandiaga Uno. Tak lama sesudah pengumuman pencalonan Sandiaga, sejumlah petinggi PKS mengatakan bahwa Sandiaga mewakili generasi pasca-Islamisme atau post-Islamisme.
Tak pelak pernyataan ini menarik untuk diulik lebih jauh. Sebab PKS selama ini dikenal sebagai sebuah partai yang justru berplatform ideologi Islamisme. Lantas apakah pernyataan PKS ini bisa kita artikan sebagai pergeseran ideologis di tubuh partai ini menuju post-Islamisme? Apa pula yang dimaksud sebagai post-Islamisme? Tulisan singkat ini akan mencoba menjawabnya.
Islamisme Moderat
Sebelumnya kita perlu tahu dulu bahwa sejak pendiriannya, Partai Keadilan (PK) yang kemudian bertransformasi menjadi PKS pada Pemilu 2004 akibat gagalnya PK memenuhi parliamentary threshold pada Pemilu 1999 mengusung ideologi Islamisme. Ideologi ini sendiri per definisi memiliki tujuan mendirikan negara atau sistem Islam. Meskipun demikian ada beragam faksi di dalam Islamisme, tetapi tetap dengan tujuan akhir mendirikan negara Islam atau setidaknya mewujudkan sistem yang berdasarkan ideologi Islam.
Dalam konteks ini, merujuk pada tesis master Burhanuddin Muhtadi di Australian National University (Dilema PKS; Suara dan Syariah, KPG, 2012, hlm 49), PKS lebih tepat dikategorikan sebagai “Islamisme moderat” ketimbang “Islamisme jihadis-radikal”. PKS beroperasi dalam kerangka sistem demokrasi dan menerima ga-gasan negara-bangsa (nation-state) seraya tegas mengusung gerakan damai yang menghindari penggunaan kekerasan dalam mencapai tujuan.
Terlepas dari itu, PKS secara garis umum masih banyak dipandang orang sebagai partai Islam garis kanan yang sekadar menerima sistem demokrasi sebagai taktik untuk mencapai cita-cita ideologis atau Islamismenya itu. Sebab PKS secara historis memang terbentuk dari gerakan Tarbiah yang mengadopsi pemikiran Ikhwanul Muslim dan Hasan al-Banna bahwa Islam dan negara adalah dua hal yang tidak terpisahkan.
Sebagaimana dikemukakan Greg Fealy dan Anthony Bubalo (Jejak Kafilah, Mizan, 2007, hlm 109), gerakan Tarbiah yang nanti menjelma menjadi PKS menganggap Islamisasi negara sebagai proses bertahap yang harus dimulai dari tingkat kesalehan tinggi dalam masyarakat.
Di sisi lain post-Islamisme jauh berbeda dengan Islamisme. Menurut Ariel Heryanto dalam Identitas dan Kenikmatan (KPG, 2015, hlm. 59), post-Islamisme adalah sebuah upaya untuk menyatukan religiositas dan hak-hak, keimanan dan kebebasan, Islam dan kemerdekaan.
Kondisi atau proyek post-Islamisme ini lebih menekankan hak daripada kewajiban, keragaman sebagai pengganti suara otoritas yang tunggal, kesejarahan ketimbang teks keagamaan, serta masa depan ketimbang masa lalu. Post-Islamisme ini ingin mengawinkan antara pilihan individu dan kebebasan, antara demokrasi dan modernitas.
Untuk memudahkan pemahaman, kita bisa mengatakan bahwa kredo post-Islamisme adalah iman, kenikmatan, dan kekayaan. Inilah kondisi di mana penganutnya bisa saja saleh dalam ritual peribadatan dan tampilan formal (seperti mengenakan jilbab atau kopiah), tetapi tidak merasa bersalah atau rikuh mengonsumsi produk budaya modern seperti menonton konser musik Barat atau K-Pop, menonton film, berbelanja di mal-mal mentereng, dan sebagainya.
Kepentingan Pragmatis
Lantas apa yang bisa dibaca dari pernyataan post-Islamisme PKS dari kerangka pemikiran di atas? Tak lain tak bukan bahwa PKS melontarkannya berdasarkan motif kepentingan pragmatis, yaitu ingin menuai suara sebanyak mungkin dari generasi muda atau kaum milenial.
Pasalnya potensi suara kaum yang berusia 18-40 tahun ini cukup menggiurkan, yaitu sekitar 85 juta dari 160 juta pemilih alias 50% lebih. Sementara itu karakter anak muda yang beragama Islam sesungguhnya lebih banyak didominasi oleh mereka yang sekuler atau pasca-Islamis.
Studi psikologi sosial Muhammad Faisal dalam Generasi Phi (Republika Penerbit, 2017, hlm 142) menguatkan hal ini ketika mendapati bahwa generasi milenial atau phi m uslim Indonesia ingin menjadi saleh, lebih baik, dan memiliki pemahaman agama. Perilaku saleh dan rajin ibadah dianggap sebagai anti-mainstream dan karenanya keren sesuai dengan karakteristik anak muda yang pemberontak dan ingin tampil beda (rebellious).
Dengan kata lain, PKS sejatinya sementara ini ingin meninggalkan diferensiasi melekatnya sebagai partai Islamis kanan yang mengusung isu-isu pengarusutamaan Islam dengan tujuan akhir syariahisasi negara dan menggesernya ke tengah. Dengan demikian PKS dengan pergeseran ini sesungguhnya jadi tidak beda jauh dengan parpol-parpol lain di Indonesia, yang secara umum juga bercita-cita menjadi partai tengah atau catch-all party yang bisa merangkul semua golongan.
Ujung akhirnya, Pemilu 2019 yang secara serentak memilih calon anggota legislatif dari partai politik dan presiden-wakil presiden sesungguhnya akan menjadi ajang kontestasi dari produk-produk yang secara generik memiliki kandungan isi yang sama, hanya dengan kemasan yang berbeda, demi satu tujuan pragmatis: meraih tampuk kekuasaan.
Sosiolog dan Magister Filsafat UI, Pengajar Sosiologi Politik
di FEB Universitas Pancasila
Akhirnya teka-teki seputar siapa yang akan berlaga pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 terjawab sudah. Tanding ulang antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto akan hadir kembali. Hal yang mengejutkan adalah pilihan calon wakil presiden (cawapres) mereka: KH Ma’ruf Amin di kubu Jokowi dan Sandiaga Uno sebagai pendamping Prabowo. Tak pelak, dua pilihan kejutan ini masih mengundang hiruk-pikuk opini dan analisis hingga kini.
Namun satu hal yang lebih menarik tapi luput di tengah ingar-bingar itu adalah pernyataan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) soal Sandiaga Uno. Tak lama sesudah pengumuman pencalonan Sandiaga, sejumlah petinggi PKS mengatakan bahwa Sandiaga mewakili generasi pasca-Islamisme atau post-Islamisme.
Tak pelak pernyataan ini menarik untuk diulik lebih jauh. Sebab PKS selama ini dikenal sebagai sebuah partai yang justru berplatform ideologi Islamisme. Lantas apakah pernyataan PKS ini bisa kita artikan sebagai pergeseran ideologis di tubuh partai ini menuju post-Islamisme? Apa pula yang dimaksud sebagai post-Islamisme? Tulisan singkat ini akan mencoba menjawabnya.
Islamisme Moderat
Sebelumnya kita perlu tahu dulu bahwa sejak pendiriannya, Partai Keadilan (PK) yang kemudian bertransformasi menjadi PKS pada Pemilu 2004 akibat gagalnya PK memenuhi parliamentary threshold pada Pemilu 1999 mengusung ideologi Islamisme. Ideologi ini sendiri per definisi memiliki tujuan mendirikan negara atau sistem Islam. Meskipun demikian ada beragam faksi di dalam Islamisme, tetapi tetap dengan tujuan akhir mendirikan negara Islam atau setidaknya mewujudkan sistem yang berdasarkan ideologi Islam.
Dalam konteks ini, merujuk pada tesis master Burhanuddin Muhtadi di Australian National University (Dilema PKS; Suara dan Syariah, KPG, 2012, hlm 49), PKS lebih tepat dikategorikan sebagai “Islamisme moderat” ketimbang “Islamisme jihadis-radikal”. PKS beroperasi dalam kerangka sistem demokrasi dan menerima ga-gasan negara-bangsa (nation-state) seraya tegas mengusung gerakan damai yang menghindari penggunaan kekerasan dalam mencapai tujuan.
Terlepas dari itu, PKS secara garis umum masih banyak dipandang orang sebagai partai Islam garis kanan yang sekadar menerima sistem demokrasi sebagai taktik untuk mencapai cita-cita ideologis atau Islamismenya itu. Sebab PKS secara historis memang terbentuk dari gerakan Tarbiah yang mengadopsi pemikiran Ikhwanul Muslim dan Hasan al-Banna bahwa Islam dan negara adalah dua hal yang tidak terpisahkan.
Sebagaimana dikemukakan Greg Fealy dan Anthony Bubalo (Jejak Kafilah, Mizan, 2007, hlm 109), gerakan Tarbiah yang nanti menjelma menjadi PKS menganggap Islamisasi negara sebagai proses bertahap yang harus dimulai dari tingkat kesalehan tinggi dalam masyarakat.
Di sisi lain post-Islamisme jauh berbeda dengan Islamisme. Menurut Ariel Heryanto dalam Identitas dan Kenikmatan (KPG, 2015, hlm. 59), post-Islamisme adalah sebuah upaya untuk menyatukan religiositas dan hak-hak, keimanan dan kebebasan, Islam dan kemerdekaan.
Kondisi atau proyek post-Islamisme ini lebih menekankan hak daripada kewajiban, keragaman sebagai pengganti suara otoritas yang tunggal, kesejarahan ketimbang teks keagamaan, serta masa depan ketimbang masa lalu. Post-Islamisme ini ingin mengawinkan antara pilihan individu dan kebebasan, antara demokrasi dan modernitas.
Untuk memudahkan pemahaman, kita bisa mengatakan bahwa kredo post-Islamisme adalah iman, kenikmatan, dan kekayaan. Inilah kondisi di mana penganutnya bisa saja saleh dalam ritual peribadatan dan tampilan formal (seperti mengenakan jilbab atau kopiah), tetapi tidak merasa bersalah atau rikuh mengonsumsi produk budaya modern seperti menonton konser musik Barat atau K-Pop, menonton film, berbelanja di mal-mal mentereng, dan sebagainya.
Kepentingan Pragmatis
Lantas apa yang bisa dibaca dari pernyataan post-Islamisme PKS dari kerangka pemikiran di atas? Tak lain tak bukan bahwa PKS melontarkannya berdasarkan motif kepentingan pragmatis, yaitu ingin menuai suara sebanyak mungkin dari generasi muda atau kaum milenial.
Pasalnya potensi suara kaum yang berusia 18-40 tahun ini cukup menggiurkan, yaitu sekitar 85 juta dari 160 juta pemilih alias 50% lebih. Sementara itu karakter anak muda yang beragama Islam sesungguhnya lebih banyak didominasi oleh mereka yang sekuler atau pasca-Islamis.
Studi psikologi sosial Muhammad Faisal dalam Generasi Phi (Republika Penerbit, 2017, hlm 142) menguatkan hal ini ketika mendapati bahwa generasi milenial atau phi m uslim Indonesia ingin menjadi saleh, lebih baik, dan memiliki pemahaman agama. Perilaku saleh dan rajin ibadah dianggap sebagai anti-mainstream dan karenanya keren sesuai dengan karakteristik anak muda yang pemberontak dan ingin tampil beda (rebellious).
Dengan kata lain, PKS sejatinya sementara ini ingin meninggalkan diferensiasi melekatnya sebagai partai Islamis kanan yang mengusung isu-isu pengarusutamaan Islam dengan tujuan akhir syariahisasi negara dan menggesernya ke tengah. Dengan demikian PKS dengan pergeseran ini sesungguhnya jadi tidak beda jauh dengan parpol-parpol lain di Indonesia, yang secara umum juga bercita-cita menjadi partai tengah atau catch-all party yang bisa merangkul semua golongan.
Ujung akhirnya, Pemilu 2019 yang secara serentak memilih calon anggota legislatif dari partai politik dan presiden-wakil presiden sesungguhnya akan menjadi ajang kontestasi dari produk-produk yang secara generik memiliki kandungan isi yang sama, hanya dengan kemasan yang berbeda, demi satu tujuan pragmatis: meraih tampuk kekuasaan.
(nag)