Komisi Pemberantasan Korupsi Dalami Regulasi Dana Otsus Aceh

Jum'at, 10 Agustus 2018 - 13:38 WIB
Komisi Pemberantasan Korupsi Dalami Regulasi Dana Otsus Aceh
Komisi Pemberantasan Korupsi Dalami Regulasi Dana Otsus Aceh
A A A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami sejumlah regulasi otonomi khusus (otsus) Provinsi Daerah Istimewa Aceh terkait dengan kasus dugaan suap Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA).

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, untuk keperluan itu kemarin penyidik memeriksa tiga saksi dalam kasus dugaan suap pengalokasian dan penyaluran DOKA tahun anggaran 2018 pada Pemerintah Provinsi Aceh yang berasal dari APBN 2018. Ketiga saksi tersebut adalah Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendari) Sumarsono, Sekretaris Ditjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri Indra Baskoro, dan Direktur Fasilitas Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah Kemendagri Muhammad Ardian Novianto.

Ketiganya diperiksa untuk tersangka penerima suap yang juga Gubernur Aceh dan Ketua Umum Partai Nanggroe Aceh (PNA) Irwandi Yusuf. “Terhadap para saksi penyidik mendalami aturan tentang alokasi dan proses penganggaran Dana Otonomi Khusus Aceh,” ungkap Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, kemarin.

Dalam kasus dugaan suap ini, KPK sudah menetapkan dan menahan empat tersangka. Mereka adalah tiga tersang kapenerima suap, yakni Irwan di Yusuf, Hendri Yuzal (swasta/ajudan pribadi Ir wandi), dan T Syaiful Bahri (swasta) serta tersangka pemberi suap Bupati Bener Meriah Ahmadi.

Saat operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa (3/7), terjadi serah terima uang yang diduga suap sebesar Rp500 juta. Sebelumnya sudah ada penyerahan Rp1 miliar untuk Irwandi Yusuf. Dirjen Otda Kemendagri Sumarsono menjalani pemeriksaan selama sekitar lima jam di Gedung Merah Putih KPK. Pria yang akrab dengan sapaan Soni itu membenarkan penyidik memeriksanya sebagai saksi. Dia mengaku ada banyak hal terkait otonomi khusus (otsus) beberapa daerah, termasuk Aceh, dan penyaluran dana otsus yang dia jelaskan kepada penyidik.

“KPK itu ingin tahu bagaimana regulasi peraturan mengenai otsus, mengapa otsus, bagaimana otsus kemudian dananya disalurkan, mekanismenya seperti apa.

Ya sekitar itulah kira-kira. Kemudian mungkin lagi mencari-cari bentuk bedanya dengan dana lain seperti apa dan itu lebih banyak (di) teman Dirjen Keuangan Daerah,” ungkap Soni. Menurut dia, otsus Aceh sudah diatur berdasarkan UU Nomor 11/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Otsus Aceh berbeda dengan otsus Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat.

Di Aceh, lanjutnya, misalnya ada Lembaga Wali Nanggroe yang mengatur kepemimpinan adat dan syariat Islam. Hal tersebut menjadi perbedaan dengan daerah lain, utamanya dari sisi otda dan otsus. Dalam konteks otsus Aceh dan penyaluran DOKA, Soni menggariskan, harus ada peraturan gubernur (pergub). Segala alokasi dan penyalurannya di tuangkan dalam pergub tersebut.

“Dana otsus itu memang untuk alokasinya memerlukan peraturan gubernur. Itu saja. Makanya gubernur juga memiliki power. Sementara regulasinya itu saja. Banyak hal yang sifatnya regulasi,” ungkapnya. Menurut Soni, Ditjen Otda atau Ditjen Keuangan Daerah Kemendagri tidak berwenang pada pengawasan atas alokasi, penyaluran, dan penggunaan DOKA. Pengawasan tersebut ada pada Inspektorat Daerah Aceh. Adapun ditjen di Kemen dari hanya berkaitan dengan regulasi.

“Di kita hanya regulasi otsusnya saja. Mengenai syariat Islam, urusan pusat, daerah seperti apa. Teori desentralisasikan ada dua, desentralisasi simetris yang sifatnya umum seluruh Indonesia dan disentralisasi asimetris yang sifatnya khusus,” paparnya.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.3571 seconds (0.1#10.140)