Calon Wakil Presiden untuk Jokowi Sebaiknya dari Luar Parpol
A
A
A
JAKARTA - Penentuan calon wakil presiden (cawapres) yang akan mendampingi Joko Widodo (Jokowi) maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 hingga kini masih alot. Hingga hari-hari terakhir pendaftaran, Jokowi belum memutuskan cawapresnya.
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Firman Noor mengatakan, Jokowi memang harus memilih cawapres yang bisa diterima oleh semua kalangan, termasuk partai politik (parpol) pengusungnya. ”Dan itu adanya di luar parpol pengusung. Jokowi harus mencari titik tengah yang bisa menjembatani kekecewaan yang mungkin muncul atas apa yang tidak diakomodir. Mengapa itu lama, karena mencari tokoh yang bisa diterima semua pihak itu tidak mudah,” ujar Firman Noor kepada KORAN SINDO pada Rabu, 8 Agustus 2018 malam.
Firman mengatakan, memang tidak mudah bagi Jokowi bisa memilih pasangan yang bisa memuaskan seluruh parpol pendukung, termasuk jika terpaksa memilih salah satu dari ketua umum (ketum) parpol pengusung. Namun, menurut Firman, seharusnya Jokowi tenang saja karena sebenarnya saat ini justru parpol pengusunglah yang membutuhkan sosok Jokowi.
”Sekarang ini parpol butuh Jokowi. Parpol lebih ingin meningkatkan bargain. Kalau keluar dari koalisi saya kira tidak. Tapi mereka sebisa mungkin sebelum diputuskan akan terus melobi. Tapi kalaupun toh itu tidak terjadi, bukan berarti mereka akan keluar dari partai,” katanya.
Firman mengatakan, siapapun yang akan dipilih Jokowi tidak akan menghasilkan kekisruhan yang masif. ”Harusnya Jokowi mencari tokoh yang bisa diterima semua, baik dari sisi latar belakang parpol, kondisi dia saat ini, kapabilitas cawapres, dan bagaimana menjawab kecurigaan ideologis agama yang dialamatkan kepada Jokowi,” urainya.
Saat ini, kata Firman, memang waktu gertal sambal. Artinya parpol pendukung Jokowi tidak akan mungkin meninggalkan koalisi, apalagi sampai membentuk poros baru. ”Itulah memang gaya gertak sambal. Dalam riilnya kan sudah kebaca sendiri. Susahlah bikin poros baru, itu imposible. Saya kira Jokowi tenang saja karena yang sebetulnya terjadi parpol yang butuh Jokowi. Apalagi karakteristik parpol kita kan sangat pragmatis. Sangat butuh ”ATM”. Sangat butuh keberlangsungan hidup yang itu bisa didapatkan kalau dekat dengan kekuasaaan,” katanya.
Sementara itu, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fahri Hamzah menduga tarik ulur kedua kubu, baik kubu Jokowi maupun Prabowo masih akan terus berlangsung hingga last minute. Karena itu, Wakil Ketua DPR ini menduga pendaftaran capres-cawapres akan diundur sampai 14 hari atau 2 x 7 hari lagi setelah deadline waktu pendaftaran pada 10 Agustus 2018.
”Tarik-menariknya sangat kencang. Karena dari awal metode koalisinya tidak dibangun pada prinsip- prinsip dasar yang idealis. Tapi lebih pada hitung-hitungan elektabilitas yang debatable,” katanya.
Fahri mencontohkan, di kubu Jokowi, pihak Muhaimin Iskandar selaku Ketua Umum PKB, memprotes jika Jokowi memasang Mahfud MD sebagai cawapres. ”Ini soal elektabilitas kan debatable. Siapa bilang si A yang bagus. Bagaimana kalau salah naruh. Artinya ini kayak judi sehingga sampai akhir belum ada yang buka kartu. Akhirnya rakyat disuruh bengong saja,” ujarnya.
Hal yang hampir sama juga terjadi di kubu Prabowo.”Bedanya Prabowo kan ketua umum partai. Dia cuma perlu dua tanda tangan lagi dari satu partai. Kalau Jokowi kan bukan ketua partai. Jadi dugaan saya orang bisa kabur semua karena tidak ada yang sependapat. Kecuali kalau tukang bayarnya kuat,” katanya.
Fahri melihat koalisi yang dibangun saat ini sifatnya lebih didasarkan pada deal-deal materialistik. ”Deal uang ini,” ucapnya.
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Firman Noor mengatakan, Jokowi memang harus memilih cawapres yang bisa diterima oleh semua kalangan, termasuk partai politik (parpol) pengusungnya. ”Dan itu adanya di luar parpol pengusung. Jokowi harus mencari titik tengah yang bisa menjembatani kekecewaan yang mungkin muncul atas apa yang tidak diakomodir. Mengapa itu lama, karena mencari tokoh yang bisa diterima semua pihak itu tidak mudah,” ujar Firman Noor kepada KORAN SINDO pada Rabu, 8 Agustus 2018 malam.
Firman mengatakan, memang tidak mudah bagi Jokowi bisa memilih pasangan yang bisa memuaskan seluruh parpol pendukung, termasuk jika terpaksa memilih salah satu dari ketua umum (ketum) parpol pengusung. Namun, menurut Firman, seharusnya Jokowi tenang saja karena sebenarnya saat ini justru parpol pengusunglah yang membutuhkan sosok Jokowi.
”Sekarang ini parpol butuh Jokowi. Parpol lebih ingin meningkatkan bargain. Kalau keluar dari koalisi saya kira tidak. Tapi mereka sebisa mungkin sebelum diputuskan akan terus melobi. Tapi kalaupun toh itu tidak terjadi, bukan berarti mereka akan keluar dari partai,” katanya.
Firman mengatakan, siapapun yang akan dipilih Jokowi tidak akan menghasilkan kekisruhan yang masif. ”Harusnya Jokowi mencari tokoh yang bisa diterima semua, baik dari sisi latar belakang parpol, kondisi dia saat ini, kapabilitas cawapres, dan bagaimana menjawab kecurigaan ideologis agama yang dialamatkan kepada Jokowi,” urainya.
Saat ini, kata Firman, memang waktu gertal sambal. Artinya parpol pendukung Jokowi tidak akan mungkin meninggalkan koalisi, apalagi sampai membentuk poros baru. ”Itulah memang gaya gertak sambal. Dalam riilnya kan sudah kebaca sendiri. Susahlah bikin poros baru, itu imposible. Saya kira Jokowi tenang saja karena yang sebetulnya terjadi parpol yang butuh Jokowi. Apalagi karakteristik parpol kita kan sangat pragmatis. Sangat butuh ”ATM”. Sangat butuh keberlangsungan hidup yang itu bisa didapatkan kalau dekat dengan kekuasaaan,” katanya.
Sementara itu, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fahri Hamzah menduga tarik ulur kedua kubu, baik kubu Jokowi maupun Prabowo masih akan terus berlangsung hingga last minute. Karena itu, Wakil Ketua DPR ini menduga pendaftaran capres-cawapres akan diundur sampai 14 hari atau 2 x 7 hari lagi setelah deadline waktu pendaftaran pada 10 Agustus 2018.
”Tarik-menariknya sangat kencang. Karena dari awal metode koalisinya tidak dibangun pada prinsip- prinsip dasar yang idealis. Tapi lebih pada hitung-hitungan elektabilitas yang debatable,” katanya.
Fahri mencontohkan, di kubu Jokowi, pihak Muhaimin Iskandar selaku Ketua Umum PKB, memprotes jika Jokowi memasang Mahfud MD sebagai cawapres. ”Ini soal elektabilitas kan debatable. Siapa bilang si A yang bagus. Bagaimana kalau salah naruh. Artinya ini kayak judi sehingga sampai akhir belum ada yang buka kartu. Akhirnya rakyat disuruh bengong saja,” ujarnya.
Hal yang hampir sama juga terjadi di kubu Prabowo.”Bedanya Prabowo kan ketua umum partai. Dia cuma perlu dua tanda tangan lagi dari satu partai. Kalau Jokowi kan bukan ketua partai. Jadi dugaan saya orang bisa kabur semua karena tidak ada yang sependapat. Kecuali kalau tukang bayarnya kuat,” katanya.
Fahri melihat koalisi yang dibangun saat ini sifatnya lebih didasarkan pada deal-deal materialistik. ”Deal uang ini,” ucapnya.
(whb)