Prihatin Pernikahan Dini, Menteri Yohana Usul Revisi UU Perkawinan

Senin, 06 Agustus 2018 - 17:49 WIB
Prihatin Pernikahan Dini, Menteri Yohana Usul Revisi UU Perkawinan
Prihatin Pernikahan Dini, Menteri Yohana Usul Revisi UU Perkawinan
A A A
JAKARTA - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise mengaku prihatin atas tingginya perkawinan usia anak atau pernikahan dini di Indonesia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), satu dari 4 anak perempuan telah menikah pada umur kurang dari 18 tahun pada 2008 hingga 2015.

Yohana mengungkapkan, tingginya angka perkawinan usia anak tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan, tingginya angka kemiskinan, norma sosial budaya yang berlaku, dan ketidaksetaraan gender dalam keluarga.

"Perkawinan usia anak juga identik dengan perjodohan yang dilakukan oleh orang tua dengan alasan ekonomi. Anak-anak perempuan dari keluarga miskin berisiko dua kali lebih besar terjerat dalam perkawinan usia anak,” kata Yohana dalam acara Diskusi Media Memperingati Hari Anak Nasional 2018 bertajuk Perkawinan Anak Usia Dini yang digelar SINDO Weekly di Hotel Millenium, Jakarta, Senin (6/8/2018).

Dalam catatannya, ada 1.348.886 anak perempuan telah menikah di bawah usia 18 tahun sejak tahun 2012. Setiap tahun, sekitar 300.000 anak perempuan di Indonesia menikah di bawah usia 16 tahun.
Menurut dia, pernikahan dini dapat mengganggu kesehatan dan tumbuh kembang anak, pendidikan, ketahanan keluarga, bahkan yang paling buruk adalah peningkatan angka perceraian dan kematian ibu.
"Kementerian PPPA mengusulkan kebijakan penyusunan revisi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Substansinya adalah menaikkan batas usia perkawinan, yaitu di atas usia anak atau 18 tahun dan idealnya di atas 21 tahun, membatasi dispensasi perkawinan, serta menambah pasal upaya pencegahan perkawinan usia anak," tuturnya.

Menurut dia, penyempurnaan UU Perkawinan menjadi kebutuhan yang mendesak dan diperlukan untuk menghentikan praktik-praktik perkawinan dini yang membahayakan dan merampas hak-hak anak yang seharusnya dijamin oleh negara.

Selain itu, sambung dia, butuh kepastian hukum dan pengetatan mekanisme dispensasi yang hanya dapat diberikan secara limitatif melalui pertimbangan pengadilan yang jelas.

“Kondisi perkawinan usia anak di Indonesia semakin memprihatinkan bahkan sudah menuju darurat. Sudah menjadi tanggung jawab kita semua untuk memutus mata rantai perkawinan usia anak termasuk keluarga, masyarakat, pemerintah, dan rekan-rekan media khususnya sebagai wadah penyebaran informasi secara massal. Harapannya kebijakan penyusunan revisi UU Perkawinan dapat segera terealisasi agar tidak ada lagi kasus perkawinan usia anak,” tuturnya.

Diskusi ini juga menghadirkan sejumlah narasumber, yakni cendekiawan muslim Nasaruddin Umar, psikolog anak Novita Tandry, dan Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA Lenny N Rosalia.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6504 seconds (0.1#10.140)