Kementerian ART/BPN Sebagai Pembina PPAT Diminta Bersikap Netral

Minggu, 05 Agustus 2018 - 16:26 WIB
Kementerian ART/BPN...
Kementerian ART/BPN Sebagai Pembina PPAT Diminta Bersikap Netral
A A A
JAKARTA - Carut marut pelaksanaan Kongres VII Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) yang berlangsung pada 27-28 Juli 2018 lalu menyisakan konflik di dalam internal organisasi.

Kongres menampilkan lima calon ketua umum (caketum) sebagai hasil penjaringan dalam pra Kongres Semarang November 2018, yaitu Firdhonal, Julius Purnawan, Otty Hari Ubayani, Hapendi Harahap, serta Syafran Sofyan (mengundurkan diri).

Kongres yang dihadiri 4671 peserta tersebut dicatatkan oleh PP-IPPAT periode 2015 2018 dalam MURI sebagi kongres dengan peserta terbanyak. Namun jumlah peserta yang besar tersebut nyatanya justru menimbulkan persoalan baru, karena ditemukan indikasi kecurangan di dalam pelaksanaannya.

Berdasarkan amanat ART Pasal 17, angka 1: Kongres adalah Rapat Anggota Perkumpulan pada tingkat Nasional sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 ayat 1 Anggaran Dasar. Dengan demikian Kongres merupakan rapat anggota perkumpulan tingkat nasional yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam perkumpulan.

Hakikat dilaksanakan kongres tersebut adalah untuk menjaga eksistensi dan jalannya roda perkumpulan dengan melakukan pemilihan ketua umum secara demokratis, jujur, dan berkeadilan.

Subtansi dan prinsip dalam pelaksanaan demokrasi tersebut yaitu bahwa yang memiliki hak memilih dan/atau dipilih adalah setiap anggota biasa IPPAT yang telah memenuhi syarat dan ketentuan serta berlaku satu orang PPAT berhak memberikan satu suara ( one man one vote).

Kongres dan Up Grading yang dibuka oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan A Djalil bersama Pj Gubernur Sulawesi Selatan, Ketua Ombudsman, Wali Kota Makassar, serta Ketua Umum IPPAT 2015-2018, dilaksanakan di Hotel Four Point by Sherataon Hotel Makassar.

Sejak kongres dibuka, Four Point dimana tempat diselenggarakan kongres tersebut memang terasa tidak nyaman, karena peserta melebihi kapasitas ruangan yang hanya mampu menampung 3.500-an.

"Saya berharap kongres IPPAT ini sukses, sehingga dapat menjadi IPPAT yang baru, dengan harapan dapat membawa IPPAT menjadi lebih baik lagi," ujar Sofyan A Jalil dalam kesempatan tersebut.

Namun pesan Sofyan Abdul A Jalil ternyata tidak sesuai dengan yang terjadi dalam pelaksanaan kongres. Sedikitnya 6 peserta pingsan karena desak-desakan. Ini dianggap kongres terburuk dalam sejarah pelaksanaannya.

Ada banyak penyimpangan ditemukan dengan macam-macam modus. Dari ALB yang berusaha memperoleh kartu suara, PPAT dengan memegang kartu suara doble (lebih dari 1 kertas suara), sampai dengan penggelembungan jumlah suara, sehingga jumlah kertas suara melebihi jumlah pemilih.

Banyak perserta melakukan protes, namun tidak ada satupun yang mendapat tanggapan dari panitia. Salah seorang peserta, Alwesius, saat akan melaporkan adanya kejanggalan jumlah kartu suara tersebut justru micropone yang tengah digunakan dimatikan, selanjutnya direbut oleh peserta lain sambil teriak-teriak membuat kegaduhan.

Puncaknya adalah saat penghitungan suara ketiga saksi dari caketum Firdhonal, Otty, dan Hapendi, tidak mau menandatangani berita acara rekapitulasi perhitungan perolehan suara. Namun demikian presidium tetap mengetuk memutuskan hasil kongres.

Tadi malam di salah satu hotel di bilangan Jakarta Selatan, ketiga caketum IPPAT 2018, yakni Firdhonal, Oty, dan Hapendi, menggelar jumpa pers serta menyatakan menolak hasil Kongres VII IPPAT.

Dilanjutkan dengan mengirim surat ke Direktorat ke-PPAT-an Kementerian ATR/BPN yang intinya hasil Kongres VII IPPAT masih dalam sengketa. Untuk itu Direktorat kePPATan Kementerian ATR/BPN diminta untuk bersikap netral dalam menyikapi sengketa tersebut.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1359 seconds (0.1#10.140)