Tebalnya Noktah Korupsi
A
A
A
Umbu TW Pariangu Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana
PETUGAS Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Wahid Husein di rumah dinasnya, Jumat (20/7/ 2018) malam. KPK juga mengamankan beberapa napi korupsi, termasuk artis Indonesia era 1990-an Inneke Koesherawati yang merupakan istri terpidana perkara korupsi pengadaan satellite monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) Fahmi Darmawansyah. Penangkapan dan penggeledahan tersebut terkait dugaan suap izin napi keluar lapas yang diterima Kalapas Sukamiskin (Sindonews.com, 21/7/2018 ).
Sejatinya sudah lama aroma kecurangan di dunia birokrasi perpenjaraan khususnya di Lapas Sukamiskin tercium publik. Hasil studi Institute for Criminal Justice misalnya menguak bagaimana para napi miskin di lapas tersebut diberikan fasilitas sekadarnya dengan kondisi overkapasitas yang parah, sedangkan napi koruptor berkantong tebal berleha-leha dengan fasilitas serbaistimewa, termasuk menyalahgunakan izin keluar lapas seperti pernah dilakukan Anggoro Widjojo, Rahmat Yasin, dan Romi Herton pada 2017. Ironisnya, disinyalir, dari 493 napi koruptor penghuni Lapas Sukamiskin, separuhnya pernah jalan-jalan keluar (Tempo, 6/2/2017).
Sinyal Menggiurkan
Lapas mestinya menjadi tempat memanusiakan kembali para napi (korupsi) kepada unsur hakikinya. Namun, para oknum sipir bermental “kere” berebutan mengeksploitasi status terhukum napi untuk bertransaksi.
Sudah banyak koruptor dijebloskan ke hotel prodeo, namun dengan mudah menghirup udara bebas karena kesaktiannya “membeli” pasal-pasal hukum dan isi penjara. Pelbagai keistimewaan ini, termasuk masa hukuman yang singkat bagi koruptor, menjadi sinyal menggiurkan bagi pejabat-pejabat atau politisi yang sedang menikmati kekuasaan tidak perlu takut pada penjara.
GS Green dalam Occupational Crime (1990) pernah mengatakan, benar bahwa profesi (dalam birokrasi) yang dimiliki seseorang merupakan modal baginya untuk memperoleh penghasilan, namun di lain sisi profesi tersebut juga bersifat eksklusif dan otonomik alias mengatur dirinya sendiri sehingga mudah sekali terperangkap ke dalam penyalahgunaan profesi untuk kepentingan (memperkaya) diri dan orang lain. Tesis inilah yang banyak melekat di institusi publik kita.
Sebenarnya hal tersebut sekadar melengkapi dan menjawab prognosis bahwa noktah penyalahgunaan kewenangan di tubuh institusi publik semakin tebal, masif, dan melumpuhkan spirit pelayanan publik (baca: penegakan hukum). Max Weber, bapak birokrasi, sudah jauh-jauh hari mengatakan, meskipun birokrasi sangat dibutuhkan publik dan DNA-nya tidak memiliki tujuan ekonomi, namun birokrasi tetap dapat terjebak dalam kesempatan memperoleh keuntungan keuangan pribadi melalui kekuasaan dan kewenangan yang diperjualbelikan (Perdue, 1987:182).
Itu sebabnya sesakral dan sevital apa pun posisi seseorang yang berprofesi penegak hukum, termasuk sebagai petugas penjara, dalam memerangi dan melawan praktik rasuah, dalam situasi tertentu mereka bisa sama delinkuen -nya dengan para bromocorah korupsi. Ketika hukum mudah dikangkangi politik mafia dan masyarakat juga makin permisif terhadap korupsi, tidak sulit untuk mengetiaki dan merobek aturan atau pasal-pasal hukum demi segepok fulus. Bagi mereka undang-undang (terutama berbau antikorupsi) sekadar artifisial sekaligus kamuflase untuk tetap membuat publik percaya terhadap negara (hukum).
Jadi, ungkapan Cornelius Tacitus: “semakin korup negara, semakin banyak hukum” (The more corrupt the state, the more laws) tetap kontekstual untuk melukiskan dramaturgi pemberantasan korupsi, di mana di panggung depan korupsi seolah dibenci, dinegasi, dilawan dengan menyerap hujat-hujatan emosional dari masyarakat, namun di panggung belakang skandal korupsi justru dijadikan sebagai lahan akrobatik suap para petugas penjara.
Terungkapnya kebobrokan di Lapas Sukamiskin adalah bukti bahwa upaya pemberantasan korupsi sebagai sebuah proyek mewujudkan kebaikan bersama masih berada di jalan terjal. Tidak semua elemen moral-sosial punya bahasa dan spirit yang sama sebagaimana kata Cicero De Legibus, pengarang, orator, dan politikus Romawi (106 BC-43BC), di mana kebaikan masyarakat adalah hukum tertinggi (The people’s good is the highest law).
Stagnan
Kita terus berputar-putar di biaya dan energi yang dikeluarkan untuk melahirkan regulasi konstruktif dalam menjerat skandal korupsi, namun cepat mengalami stagnasi dalam merancang bangun komitmen dan keberanian yang terstruktur dan sistemik untuk memerangi rasuah di semua tingkatan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akibatnya, pembangunan hukum antikorupsi seakan tidak terintegrasi dan bersinergi dalam kolektivitas aturan dan mentalitas manusianya.
Padahal, itulah kunci membangun nilai kemanusiaan dan mempercantik martabat negara di mata dunia. Apalah artinya kita bekerja keras merancang sistem pendidikan dan menelurkan agenda-agenda sains untuk menyongsong era industri 4.0, atau berlomba-lomba menciptakan alat-alat perang yang disegani dunia, jika postur hukum kita tetap ringkih salah satunya karena dikendalikan oleh mentalitas politik predator?
Padahal, menurut Albert Einstein, pertahanan kita bukanlah alat-alat perang, bukan sains dan bukan pula bersembunyi di ruang bawah tanah. Pertahanan kita adalah hukum dan keteraturan (Our defense is not in our armaments, not in science, not in going underground. Our defense is in law and order).
Sudah saatnya ornamen hukum bangsa ini dikelola dengan penuh profesionalisme, independen, tidak dipolitisasi sehingga terus menyuplai oksigen terhadap aktor-aktor korup yang bersembunyi di bawah tanah jabatan dan kuasaannya yang sedang merancang perlawanannya. Politik di republik ini semakin hari semakin gigantis dan lebih berbasis fulus ketimbang nilai kebaikan bersama. Ini yang membuat mesin politik mudah menghasilkan kejahatan di berbagai bidang, termasuk di bidang penegakan hukum (Koletar 2003:53).Karenanya, perlu sebuah reformasi aktor dan struktural untuk menempatkan orang-orang berintegritas dan berkompeten di institusi pemerintahan yang bertugas menyuplai energi baru secara berwibawa ke dalam posisi-posisi strategis bangsa, termasuk dalam pemberantasan korupsi. Hanya dengan ini korupsi bisa dibidik dan dilawan secara tepat hingga ke akar-akarnya.
PETUGAS Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Wahid Husein di rumah dinasnya, Jumat (20/7/ 2018) malam. KPK juga mengamankan beberapa napi korupsi, termasuk artis Indonesia era 1990-an Inneke Koesherawati yang merupakan istri terpidana perkara korupsi pengadaan satellite monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) Fahmi Darmawansyah. Penangkapan dan penggeledahan tersebut terkait dugaan suap izin napi keluar lapas yang diterima Kalapas Sukamiskin (Sindonews.com, 21/7/2018 ).
Sejatinya sudah lama aroma kecurangan di dunia birokrasi perpenjaraan khususnya di Lapas Sukamiskin tercium publik. Hasil studi Institute for Criminal Justice misalnya menguak bagaimana para napi miskin di lapas tersebut diberikan fasilitas sekadarnya dengan kondisi overkapasitas yang parah, sedangkan napi koruptor berkantong tebal berleha-leha dengan fasilitas serbaistimewa, termasuk menyalahgunakan izin keluar lapas seperti pernah dilakukan Anggoro Widjojo, Rahmat Yasin, dan Romi Herton pada 2017. Ironisnya, disinyalir, dari 493 napi koruptor penghuni Lapas Sukamiskin, separuhnya pernah jalan-jalan keluar (Tempo, 6/2/2017).
Sinyal Menggiurkan
Lapas mestinya menjadi tempat memanusiakan kembali para napi (korupsi) kepada unsur hakikinya. Namun, para oknum sipir bermental “kere” berebutan mengeksploitasi status terhukum napi untuk bertransaksi.
Sudah banyak koruptor dijebloskan ke hotel prodeo, namun dengan mudah menghirup udara bebas karena kesaktiannya “membeli” pasal-pasal hukum dan isi penjara. Pelbagai keistimewaan ini, termasuk masa hukuman yang singkat bagi koruptor, menjadi sinyal menggiurkan bagi pejabat-pejabat atau politisi yang sedang menikmati kekuasaan tidak perlu takut pada penjara.
GS Green dalam Occupational Crime (1990) pernah mengatakan, benar bahwa profesi (dalam birokrasi) yang dimiliki seseorang merupakan modal baginya untuk memperoleh penghasilan, namun di lain sisi profesi tersebut juga bersifat eksklusif dan otonomik alias mengatur dirinya sendiri sehingga mudah sekali terperangkap ke dalam penyalahgunaan profesi untuk kepentingan (memperkaya) diri dan orang lain. Tesis inilah yang banyak melekat di institusi publik kita.
Sebenarnya hal tersebut sekadar melengkapi dan menjawab prognosis bahwa noktah penyalahgunaan kewenangan di tubuh institusi publik semakin tebal, masif, dan melumpuhkan spirit pelayanan publik (baca: penegakan hukum). Max Weber, bapak birokrasi, sudah jauh-jauh hari mengatakan, meskipun birokrasi sangat dibutuhkan publik dan DNA-nya tidak memiliki tujuan ekonomi, namun birokrasi tetap dapat terjebak dalam kesempatan memperoleh keuntungan keuangan pribadi melalui kekuasaan dan kewenangan yang diperjualbelikan (Perdue, 1987:182).
Itu sebabnya sesakral dan sevital apa pun posisi seseorang yang berprofesi penegak hukum, termasuk sebagai petugas penjara, dalam memerangi dan melawan praktik rasuah, dalam situasi tertentu mereka bisa sama delinkuen -nya dengan para bromocorah korupsi. Ketika hukum mudah dikangkangi politik mafia dan masyarakat juga makin permisif terhadap korupsi, tidak sulit untuk mengetiaki dan merobek aturan atau pasal-pasal hukum demi segepok fulus. Bagi mereka undang-undang (terutama berbau antikorupsi) sekadar artifisial sekaligus kamuflase untuk tetap membuat publik percaya terhadap negara (hukum).
Jadi, ungkapan Cornelius Tacitus: “semakin korup negara, semakin banyak hukum” (The more corrupt the state, the more laws) tetap kontekstual untuk melukiskan dramaturgi pemberantasan korupsi, di mana di panggung depan korupsi seolah dibenci, dinegasi, dilawan dengan menyerap hujat-hujatan emosional dari masyarakat, namun di panggung belakang skandal korupsi justru dijadikan sebagai lahan akrobatik suap para petugas penjara.
Terungkapnya kebobrokan di Lapas Sukamiskin adalah bukti bahwa upaya pemberantasan korupsi sebagai sebuah proyek mewujudkan kebaikan bersama masih berada di jalan terjal. Tidak semua elemen moral-sosial punya bahasa dan spirit yang sama sebagaimana kata Cicero De Legibus, pengarang, orator, dan politikus Romawi (106 BC-43BC), di mana kebaikan masyarakat adalah hukum tertinggi (The people’s good is the highest law).
Stagnan
Kita terus berputar-putar di biaya dan energi yang dikeluarkan untuk melahirkan regulasi konstruktif dalam menjerat skandal korupsi, namun cepat mengalami stagnasi dalam merancang bangun komitmen dan keberanian yang terstruktur dan sistemik untuk memerangi rasuah di semua tingkatan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akibatnya, pembangunan hukum antikorupsi seakan tidak terintegrasi dan bersinergi dalam kolektivitas aturan dan mentalitas manusianya.
Padahal, itulah kunci membangun nilai kemanusiaan dan mempercantik martabat negara di mata dunia. Apalah artinya kita bekerja keras merancang sistem pendidikan dan menelurkan agenda-agenda sains untuk menyongsong era industri 4.0, atau berlomba-lomba menciptakan alat-alat perang yang disegani dunia, jika postur hukum kita tetap ringkih salah satunya karena dikendalikan oleh mentalitas politik predator?
Padahal, menurut Albert Einstein, pertahanan kita bukanlah alat-alat perang, bukan sains dan bukan pula bersembunyi di ruang bawah tanah. Pertahanan kita adalah hukum dan keteraturan (Our defense is not in our armaments, not in science, not in going underground. Our defense is in law and order).
Sudah saatnya ornamen hukum bangsa ini dikelola dengan penuh profesionalisme, independen, tidak dipolitisasi sehingga terus menyuplai oksigen terhadap aktor-aktor korup yang bersembunyi di bawah tanah jabatan dan kuasaannya yang sedang merancang perlawanannya. Politik di republik ini semakin hari semakin gigantis dan lebih berbasis fulus ketimbang nilai kebaikan bersama. Ini yang membuat mesin politik mudah menghasilkan kejahatan di berbagai bidang, termasuk di bidang penegakan hukum (Koletar 2003:53).Karenanya, perlu sebuah reformasi aktor dan struktural untuk menempatkan orang-orang berintegritas dan berkompeten di institusi pemerintahan yang bertugas menyuplai energi baru secara berwibawa ke dalam posisi-posisi strategis bangsa, termasuk dalam pemberantasan korupsi. Hanya dengan ini korupsi bisa dibidik dan dilawan secara tepat hingga ke akar-akarnya.
(kri)