Tebalnya Noktah Korupsi

Senin, 23 Juli 2018 - 07:11 WIB
Tebalnya Noktah Korupsi
Tebalnya Noktah Korupsi
A A A
Umbu TW Pariangu Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana

PETUGAS Komisi Pem­berantasan Ko­rupsi (KPK) me­nangkap Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Ka­la­pas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Wahid Husein di ru­mah dinasnya, Jumat (20/7/ 2018) malam. KPK juga meng­amankan beberapa napi ko­rupsi, termasuk artis In­do­nesia era 1990-an Inneke Koes­herawati yang merupakan istri terpidana perkara korupsi pe­ngadaan satellite monitoring di Ba­dan Keamanan Laut (Ba­kamla) Fahmi Darmawansyah. Penangkapan dan peng­ge­le­dahan tersebut terkait dugaan suap izin napi keluar lapas yang diterima Kalapas Sukamiskin (Sindonews.com, 21/7/2018 ).

Sejatinya sudah lama aroma kecurangan di dunia birokrasi perpenjaraan khususnya di La­pas Sukamiskin tercium pu­blik. Hasil studi Institute for Cri­mi­nal Justice misalnya me­nguak bagaimana para napi miskin di lapas tersebut dibe­ri­kan fa­si­litas sekadarnya de­ngan kondisi overkapasitas yang parah, se­dang­kan napi ko­ruptor ber­kan­tong tebal ber­leha-leha dengan fasilitas ser­baistimewa, ter­ma­suk me­nya­lahgunakan izin ke­luar lapas se­perti pernah di­la­ku­kan Ang­goro Widjojo, Rahmat Yasin, dan Romi Herton pada 2017. Ironisnya, disinyalir, dari 493 napi koruptor penghuni La­pas Sukamiskin, separuhnya per­­nah jalan-jalan keluar (Tem­po, 6/2/2017).

Sinyal Menggiurkan

Lapas mestinya menjadi tempat memanusiakan kem­bali para napi (korupsi) kepada unsur hakikinya. Namun, para oknum sipir bermental “kere” berebutan mengeksploitasi sta­tus terhukum napi untuk ber­transaksi.

Sudah banyak koruptor dijebloskan ke hotel prodeo, namun dengan mudah menghirup udara bebas karena kesaktiannya “membeli” pasal-pasal hukum dan isi penjara. Pelbagai ke­istimewaan ini, termasuk ma­sa hukuman yang singkat bagi koruptor, menjadi sinyal meng­giurkan bagi peja­bat-pejabat atau politisi yang sedang me­nik­mati kekuasaan tidak perlu takut pada penjara.

GS Green dalam Occu­pa­tional Crime (1990) pernah me­ngatakan, benar bahwa profesi (dalam birokrasi) yang dimiliki seseorang merupakan modal baginya untuk memperoleh peng­­hasilan, namun di lain sisi pro­fesi tersebut juga bersifat eksklusif dan otonomik alias me­ngatur dirinya sendiri se­hing­ga mudah sekali ter­pe­ran­g­kap ke dalam pe­nya­lah­gu­naan pro­­fesi untuk ke­pen­tingan (mem­per­kaya) diri dan orang lain. Tesis inilah yang banyak melekat di institusi publik kita.

Sebenarnya hal tersebut se­kadar melengkapi dan me­n­ja­wab prognosis bahwa noktah penyalahgunaan kewenangan di tubuh institusi publik se­ma­kin tebal, masif, dan me­lum­puh­kan spirit pelayanan publik (baca: pe­ne­gakan hukum). Max We­ber, bapak birokrasi, sudah jauh-jauh hari menga­takan, mes­kipun birokrasi sa­ngat di­bu­tuhkan publik dan DNA-nya tidak memiliki tu­juan ekonomi, na­mun biro­kra­si tetap dapat ter­jebak dalam kesempatan mem­peroleh ke­untungan keuangan pribadi me­­lalui kekuasaan dan ke­­we­nangan yang diper­jual­be­li­kan (Perdue, 1987:182).

Itu sebabnya sesakral dan se­vital apa pun posisi ses­­e­orang yang berprofesi penegak hu­kum, termasuk sebagai pe­tugas penjara, dalam m­e­me­rangi dan melawan praktik ra­suah, dalam situasi tertentu me­reka bisa sa­ma delinkuen -nya dengan para bromocorah ko­rupsi. Ketika hu­kum mudah dikangkangi po­li­tik mafia dan masyarakat juga ma­kin per­mi­sif terhadap ko­rup­si, tidak sulit untuk menge­tiaki dan me­ro­bek aturan atau pasal-pasal hu­kum demi se­ge­pok fulus. Bagi mereka undang-undang (te­r­uta­ma berbau an­ti­korupsi) se­kadar artifisial se­ka­ligus ka­mu­flase untuk tetap membuat publik percaya ter­ha­dap negara (hukum).

Jadi, ungkapan Cornelius Ta­citus: “semakin korup ne­gara, semakin banyak hukum” (The more corrupt the state, the more laws) tetap kontekstual un­tuk melukiskan dramaturgi pem­be­ran­tasan korupsi, di mana di panggung depan ko­rupsi seolah dibenci, dinegasi, dilawan dengan menyerap hu­jat-hujatan emosional dari ma­syarakat, na­mun di panggung belakang skan­dal korupsi jus­tru dijadikan se­bagai lahan akrobatik suap para petugas penjara.

Terungkapnya kebobrokan di Lapas Sukamiskin adalah buk­ti bahwa upaya pem­be­ran­tas­an korupsi sebagai sebuah proyek mewujudkan kebaikan bersama masih berada di jalan terjal. Tidak semua elemen moral-sosial punya bahasa dan spirit yang sama sebagaimana kata Cicero De Legibus, pe­nga­rang, orator, dan politikus Ro­mawi (106 BC-43BC), di mana kebaikan masyarakat adalah hukum tertinggi (The people’s good is the highest law).

Stagnan

Kita terus berputar-putar di biaya dan energi yang dike­luar­kan untuk melahirkan regulasi konstruktif dalam menjerat skandal korupsi, namun cepat mengalami stagnasi dalam me­rancang bangun komitmen dan keberanian yang ter­struk­tur dan sistemik untuk me­me­ra­ngi rasuah di semua ting­kat­an kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Aki­batnya, pembangunan hukum antikorupsi seakan tidak ter­integrasi dan bersinergi dalam kolektivitas aturan dan men­ta­litas manusianya.

Padahal, itulah kunci mem­bangun nilai kemanusiaan dan mempercantik martabat ne­gara d­i mata dunia. Apalah arti­nya kita bekerja keras me­rancang sistem pendidikan dan me­ne­lur­kan agenda-agenda sains untuk menyongsong era industri 4.0, atau berlomba-lomba menci­p­ta­kan alat-alat perang yang di­se­gani dunia, jika postur hukum kita tetap ringkih salah satunya karena dikendalikan oleh men­ta­litas politik predator?

Padahal, menurut Albert Einstein, pertahanan kita bu­kanlah alat-alat perang, bukan sains dan bukan pula be­r­sem­bunyi di ruang bawah tanah. Pertahanan kita adalah hukum dan keteraturan (Our defense is not in our armaments, not in scien­ce, not in going under­ground. Our defense is in law and order).

Sudah saatnya ornamen hu­kum bangsa ini dikelola de­ngan penuh profesionalisme, in­de­penden, tidak dipolitisasi se­hing­ga terus menyuplai ok­si­gen terhadap aktor-aktor ko­rup yang bersembunyi di ba­wah tanah jabatan dan kua­sa­annya yang sedang merancang per­la­wanannya. Politik di re­pu­blik ini semakin hari semakin gigantis dan lebih berbasis fu­lus ke­tim­bang nilai kebaikan bersama. Ini yang membuat me­sin politik mudah meng­ha­sil­kan keja­hat­an di berbagai bidang, termasuk di bidang penegakan hukum (Ko­letar 2003:53).Karenanya, perlu sebuah reformasi aktor dan struktural untuk me­nem­pat­kan orang-orang ber­in­te­gri­tas dan berkompeten di ins­ti­tu­si pemerintahan yang bertugas menyuplai energi baru secara ber­wibawa ke dalam posisi-po­sisi strategis bangsa, termasuk dalam pemberantasan korupsi. Hanya dengan ini korupsi bisa dibidik dan dilawan secara tepat hingga ke akar-akarnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6648 seconds (0.1#10.140)