Zohri dan Masa Depan Atlet
A
A
A
LALU Muhammad Zohri mendadak diperbincangkan setelah ia menjuarai nomor bergengsi 100 meter putra U-20 Kejuaraan Dunia Atletik di Tampere, Finlandia pada Kamis (12/7). Prestasi ini tidak biasa karena ditorehkan di cabang atletik di mana Indonesia selama ini bukan termasuk spesialis juara sebagaimana cabang bulutangkis. Zohri mencatat waktu yang termasuk sangat baik untuk ukuran atlet muda, yakni 10,18 detik.
Beragam puja-puji langsung dilayangkan ke anak muda kelahiran Dusun Karang Pansor, Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, NTB, itu. Berbagai pihak lantas menjanjikan beragam penghargaan dan hadiah. Zohri yang tadinya hidup di tengah keluarga sederhana di kampung halamannya, ke depan dipastikan akan menjalani kehidupan yang jauh lebih baik karena prestasinya.
Penghargaan dan hadiah yang diberikan sejumlah pihak, baik pemerintah, swasta, maupun perorangan kepada Zohri patut diapresiasi karena itu wujud nyata kepedulian. Namun, bentuk kepedulian kepada atlet berprestasi seyogianya tidak reaktif, terkesan euforia, yakni ramai-ramai diberikan saat atlet berprestasi tengah viral di media sosial.
Semua atlet yang sukses mengharumkan nama Indonesia di level internasional sudah sepantasnya diberi penghargaan yang layak. Penghargaan atau hadiah dalam bentuk uang, rumah, pekerjaan sebagai PNS, TNI, Polri, atau lainnya itu memang perlu diberikan kepada atlet berprestasi.
Pertama, reward seperti itu bertujuan memotivasi atlet bersangkutan dan atlet lain untuk terus berprestasi. Kedua, sudah sewajarnya penghargaan diberikan demi menjamin masa depan atlet. Pasalnya, seorang atlet umumnya menghabiskan usia produktifnya untuk berlatih dan bertanding demi mengharumkan bangsa. Tidak ada waktu bagi mereka untuk bekerja di bidang lain.
Ketiga, dengan penghargaan yang layak akan memberi pesan bahwa profesi atlet sesungguhnya memiliki masa depan yang baik. Dengan begitu, setiap orang tua akan lebih berani mendorong anaknya untuk menekuni olahraga.
Ada kecenderungan orang tua kurang mendukung anaknya menjadi atlet karena khawatir masa depan anak tidak secerah profesi lain. Kekhawatiran itu beralasan karena faktanya ada banyak atlet yang pernah mengharumkan nama bangsa, namun pada masa tuanya justru mengalami kesulitan hidup.
Satu di antaranya atlet tinju Ellyas Pical. Elly berhasil menjadi petinju profesional pertama Indonesia yang meraih gelar juara dunia pada 1985. Pada 2005 Elly harus bekerja sebagai satpam sebuah tempat hiburan di Jakarta sampai kemudian terseret kasus kriminal. Ada juga Suharto, atlet balap sepeda nasional yang merebut medali emas pada SEA Games 1979.
Namun, atlet asal Surabaya ini di belakang hari bekerja sebagai tukang becak untuk menyambung hidup. Nama lain adalah atlet pencak silat Marina Segedi yang mempersembahkan emas saat SEA Games Filipina, 1981.
Selepas pensiun dia harus berjuang keras membanting tulang dengan bekerja sebagai sopir taksi. Kalau mau diurut, masih banyak nama mantan atlet yang pada masa mudanya gemilang, namun mengalami kesulitan hidup saat pensiun.
Terlepas dari masalah penghargaan, prestasi membanggakan Zohri selayaknya jadi momentum bagi pemerintah dan semua pihak untuk lebih peduli pada pembinaan atlet muda. Negara ini memiliki talenta yang baik yang sesungguhnya tidak kalah dengan negara-negara lain.
Dalam dunia olahraga dikenal dua cara bagi sebuah negara untuk melahirkan atlet berprestasi. Pertama, negara tersebut memang memiliki “gen” dalam melahirkan talenta-talenta yang baik. Kedua, negara tersebut memiliki pembinaan dan kompetisi yang bagus bagi atlet mudanya. Zohri sudah menjadi bukti bahwa Indonesia sesungguhnya bisa melahirkan talenta yang sangat baik.
Nah, tinggal dibutuhkan pembinaan dan kompetisi yang baik agar bakat alam tersebut bisa terasah. Jika Indonesia bisa memadukan dua hal tersebut, olahraga kita seharusnya bisa lebih banyak berbicara, tidak hanya di level ASEAN atau Asia, tapi juga di tingkat dunia.
Beragam puja-puji langsung dilayangkan ke anak muda kelahiran Dusun Karang Pansor, Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, NTB, itu. Berbagai pihak lantas menjanjikan beragam penghargaan dan hadiah. Zohri yang tadinya hidup di tengah keluarga sederhana di kampung halamannya, ke depan dipastikan akan menjalani kehidupan yang jauh lebih baik karena prestasinya.
Penghargaan dan hadiah yang diberikan sejumlah pihak, baik pemerintah, swasta, maupun perorangan kepada Zohri patut diapresiasi karena itu wujud nyata kepedulian. Namun, bentuk kepedulian kepada atlet berprestasi seyogianya tidak reaktif, terkesan euforia, yakni ramai-ramai diberikan saat atlet berprestasi tengah viral di media sosial.
Semua atlet yang sukses mengharumkan nama Indonesia di level internasional sudah sepantasnya diberi penghargaan yang layak. Penghargaan atau hadiah dalam bentuk uang, rumah, pekerjaan sebagai PNS, TNI, Polri, atau lainnya itu memang perlu diberikan kepada atlet berprestasi.
Pertama, reward seperti itu bertujuan memotivasi atlet bersangkutan dan atlet lain untuk terus berprestasi. Kedua, sudah sewajarnya penghargaan diberikan demi menjamin masa depan atlet. Pasalnya, seorang atlet umumnya menghabiskan usia produktifnya untuk berlatih dan bertanding demi mengharumkan bangsa. Tidak ada waktu bagi mereka untuk bekerja di bidang lain.
Ketiga, dengan penghargaan yang layak akan memberi pesan bahwa profesi atlet sesungguhnya memiliki masa depan yang baik. Dengan begitu, setiap orang tua akan lebih berani mendorong anaknya untuk menekuni olahraga.
Ada kecenderungan orang tua kurang mendukung anaknya menjadi atlet karena khawatir masa depan anak tidak secerah profesi lain. Kekhawatiran itu beralasan karena faktanya ada banyak atlet yang pernah mengharumkan nama bangsa, namun pada masa tuanya justru mengalami kesulitan hidup.
Satu di antaranya atlet tinju Ellyas Pical. Elly berhasil menjadi petinju profesional pertama Indonesia yang meraih gelar juara dunia pada 1985. Pada 2005 Elly harus bekerja sebagai satpam sebuah tempat hiburan di Jakarta sampai kemudian terseret kasus kriminal. Ada juga Suharto, atlet balap sepeda nasional yang merebut medali emas pada SEA Games 1979.
Namun, atlet asal Surabaya ini di belakang hari bekerja sebagai tukang becak untuk menyambung hidup. Nama lain adalah atlet pencak silat Marina Segedi yang mempersembahkan emas saat SEA Games Filipina, 1981.
Selepas pensiun dia harus berjuang keras membanting tulang dengan bekerja sebagai sopir taksi. Kalau mau diurut, masih banyak nama mantan atlet yang pada masa mudanya gemilang, namun mengalami kesulitan hidup saat pensiun.
Terlepas dari masalah penghargaan, prestasi membanggakan Zohri selayaknya jadi momentum bagi pemerintah dan semua pihak untuk lebih peduli pada pembinaan atlet muda. Negara ini memiliki talenta yang baik yang sesungguhnya tidak kalah dengan negara-negara lain.
Dalam dunia olahraga dikenal dua cara bagi sebuah negara untuk melahirkan atlet berprestasi. Pertama, negara tersebut memang memiliki “gen” dalam melahirkan talenta-talenta yang baik. Kedua, negara tersebut memiliki pembinaan dan kompetisi yang bagus bagi atlet mudanya. Zohri sudah menjadi bukti bahwa Indonesia sesungguhnya bisa melahirkan talenta yang sangat baik.
Nah, tinggal dibutuhkan pembinaan dan kompetisi yang baik agar bakat alam tersebut bisa terasah. Jika Indonesia bisa memadukan dua hal tersebut, olahraga kita seharusnya bisa lebih banyak berbicara, tidak hanya di level ASEAN atau Asia, tapi juga di tingkat dunia.
(thm)