Luruskan Sejarah Kemerdekaan Indonesia lewat Dialog Kebangsaan
A
A
A
JAKARTA - Tanggal 17 Agustus 1945 dinilai bukan kemerdekaan Republik Indonesia, melainkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Hal itu terungkap dalam acara Dialog Kebangsaan di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/7/2018).
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Shiddiqiyyah (Orshid) Ris Suyadi mengatakan, Dialog Kebangsaan merupakan upaya meluruskan sejarah bangsa.
"Diharapkan mampu mengembalikan pemahaman dan penyebutan masyarakat yang selama ini keliru dengan menyebut 17 Agustus Kemerdekaan Republik Indonesia dan istilah-istilah lain yang salah pada pemahaman dan penyebutan yang benar, yakni 17 Agustus 1945 Kemerdekaan Bangsa Indonesia," kata Ris Suyadi.
Sedangkan 18 Agustus 1945, kata dia, tanggal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Menurut dia, sejauh ini masih banyak anggota masyarakat Indonesia yang belum memahami arti bangsa dan bentuk negara.
"Mereka belum atau tidak memahami kronologi perjuangan bangsa Indonesia sampai tercapainya kemerdekaannya, mereka mencampuradukkan makna Kemerdekaan Bangsa Indonesia dengan Kemerdekaan Republik Indonesia," katanya.
Dia melanjutkan, perkembangan sejarah bangsa Indonesia perlu diluruskan khususnya yang terkait dengan penggunaan istilah Kemerdekaan Bangsa Indonesia.
"Mereka tidak sadar bahwa dengan menyebut HUT RI sama dengan merendahkan martabat bangsanya sendiri. Mereka memperingati nikmat Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus setiap tahunnya, tetapi mereka menyebut peringatan itu dengan menyebut Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, padahal itu keliru," ujarnya.
Sebab, kata dia, tanggal 17 Agustus 1945 Negara Republik Indonesia belum terbentuk. "Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk pada tanggal 18 Agustus 1945," katanya.
Dia melanjutkan, sejak 17 Agustus 1945 sudah digunakan kalimat Dirgahayu Kemerdekaan Bangsa Indonesia atau Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia. Kata dia, makna dari kalimat itu bahwa yang merdeka adalah bangsa Indonesia, bukan Republik Indonesia karena Republik belum terbentuk pada tanggal 17 Agustus 1945.
"Di dalam perjalanan sejarah bangsa dan negara Indonesia, terjadi pergeseran-pergeseran yang kemudian sekarang kita sama-sama maklumi terjadi perubahan kalimat yang digunakan secara resmi menjadi Dirgahayu Kemerdekaan RI," katanya.
Hal senada diungkapkan Ketua Panitia Dialog Kebangsaan Suhardono. "Melalui dialog kebangsaan di lembaga tertinggi negara ini, kami berharap dapat memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang pelurusan sejarah “Kemerdekaan Bangsa Indonesia kepada masyarakat,” kata Suhardono.
Dia memaparkan, upaya pelurusan sejarah Kemerdekaan Bangsa Indonesia ini penting dilakukan. Sebab, selama puluhan tahun, rakyat Indonesia terjebak dalam stigma "Kemerdekaan Republik Indonesia" tiap kegiatan peringatan kemerdekaan pada bulan Agustus. Padahal, lanjut dia, penggunaan istilah ‘Kemerdekaan Republik’ perlu diluruskan menjadi Kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Dia menambahkan, pelurusan sejarah ini dikuatkan sejumlah aspek. “Berdasarkan teks Proklamasi dan pembukaan UUD 1945, jelas menyebutkan ‘Bangsa Indonesia yang merdeka. Secara historis yang memperjuangkan kemerdekaan juga Bangsa Indonesia, bukan republik. Secara filosofis, berdirinya negara juga harus ada bangsa yang berdaulat,” katanya.
Secara detail, Suhardono menjelaskan, Proklamasi sama sekali tak menyebut kata republik. Proklamasi menyebut bangsa Indonesia. "Yakni, ‘Proklamasi, Kami Bangsa Indonesia...’ kemudian di akhir proklamator menyebut ‘Atas nama bangsa Indonesia…” katanya.
Demikian halnya pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang tak menyebut republik. "Kalimatnya, ...Maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaanya...” katanya.
Di alinea berikutnya; “...Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia...”
Sementara itu, dari aspek historis, 17 Agustus 1945 adalah peristiwa cetusan Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Sedangkan Negara Republik Indonesia didirikan pada tanggal 18 Agustus 1945, ditandai dengan disahkan Pancasila final sebagai Dasar Negara, pengesahan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan dilantiknya Soekarno dan Moch Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama.
“Lalu, dari aspek filosofis, syarat berdirinya negara Republik Indonesia adanya kedaulatan bangsa Indonesia, tidaklah mungkin bangsa yang dalam cengkraman kekuasaan asing mendirikan negara dahulu baru kemudian mencetuskan kemerdekaannya,” kata Suhardono.
Aspek lain yang tak kalah penting adalah tata bahasa. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI); Bangsa bermakna: “Kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa dan sejarahnya, serta berpemerintahan....”
Sedangkan republik bermakna: “.. pemerintahan yang berkedaulatan rakyat dan dikepalai oleh seorang Presiden..”
Dari segi bahasa: bangsa dan republik jelas berbeda. Dari segi bahasa, penggunaan frase ‘Kemerdekaan Republik Indonesia’ justru mengesankan kemerdekaan ini milik republik.
“Jika dilogika; bagaimana mungkin pada 17 Agustus 1945 itu disebut ‘Kemerdekaan Republik Indonesia’ sementara pada tanggal itu belum ada pemerintahan berbentuk republik yang dikepalai oleh Presiden,” papar Suhardono.
Adapun acara itu diselenggarakan oleh MPR bekerja sama dengan Persaudaraan Cinta Tanah Air (PCTA) Indonesia, Organisasi Shiddiqiyyah (Orshid), Lesbumi NU, Universitas Bung Karno (UBK), Situs Persada Sukarno nDalem Pojok Kediri, Api Bandung.
Sebelum digelarnya dialog itu, konvoi 100 mobil dengan stiker - stiker bertuliskan 17 Agustus Kemerdekaan Bangsa Indonesia, Bukan Kemerdekaan RI dilaksanakan. konvoi itu dimulai dari Jakarta Internasional Expo di Kemayoran, Jakarta Pusat, pukul 08.00 WIB hingga gedung MPR RI.
“Konvoi mobil merupakan bagian dari kampanye atau sosialisasi pelurusan sejarah kepada khalayak, karena pada tiap mobil yang ikut konvoi membawa tulisan 17 Agustus Kemerdekaan Bangsa Indonesia, Bukan Kemerdekaan Republik Indonesia,” kata Suhardono.
Hadir sebagai keynote speaker adalah Wakil Ketua MPR Muhaimin Iskandar. Sejumlah pakar yang menjadi pembicara antara lain, Ketua Lesbumi PBNU KH Agus Sunyoto, Ketua Kajian MPR Prof Dr AB Kusuma, Prof Dr Tries Edy Wahyono dari PCTA Indonesia dan Ahmad Mansyur Suryanegara, Ketua Program Studi Fakultas Hukum Universitas Bung Karno Dr Azmi Syahputra.
Hal itu terungkap dalam acara Dialog Kebangsaan di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/7/2018).
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Shiddiqiyyah (Orshid) Ris Suyadi mengatakan, Dialog Kebangsaan merupakan upaya meluruskan sejarah bangsa.
"Diharapkan mampu mengembalikan pemahaman dan penyebutan masyarakat yang selama ini keliru dengan menyebut 17 Agustus Kemerdekaan Republik Indonesia dan istilah-istilah lain yang salah pada pemahaman dan penyebutan yang benar, yakni 17 Agustus 1945 Kemerdekaan Bangsa Indonesia," kata Ris Suyadi.
Sedangkan 18 Agustus 1945, kata dia, tanggal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Menurut dia, sejauh ini masih banyak anggota masyarakat Indonesia yang belum memahami arti bangsa dan bentuk negara.
"Mereka belum atau tidak memahami kronologi perjuangan bangsa Indonesia sampai tercapainya kemerdekaannya, mereka mencampuradukkan makna Kemerdekaan Bangsa Indonesia dengan Kemerdekaan Republik Indonesia," katanya.
Dia melanjutkan, perkembangan sejarah bangsa Indonesia perlu diluruskan khususnya yang terkait dengan penggunaan istilah Kemerdekaan Bangsa Indonesia.
"Mereka tidak sadar bahwa dengan menyebut HUT RI sama dengan merendahkan martabat bangsanya sendiri. Mereka memperingati nikmat Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus setiap tahunnya, tetapi mereka menyebut peringatan itu dengan menyebut Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, padahal itu keliru," ujarnya.
Sebab, kata dia, tanggal 17 Agustus 1945 Negara Republik Indonesia belum terbentuk. "Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk pada tanggal 18 Agustus 1945," katanya.
Dia melanjutkan, sejak 17 Agustus 1945 sudah digunakan kalimat Dirgahayu Kemerdekaan Bangsa Indonesia atau Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia. Kata dia, makna dari kalimat itu bahwa yang merdeka adalah bangsa Indonesia, bukan Republik Indonesia karena Republik belum terbentuk pada tanggal 17 Agustus 1945.
"Di dalam perjalanan sejarah bangsa dan negara Indonesia, terjadi pergeseran-pergeseran yang kemudian sekarang kita sama-sama maklumi terjadi perubahan kalimat yang digunakan secara resmi menjadi Dirgahayu Kemerdekaan RI," katanya.
Hal senada diungkapkan Ketua Panitia Dialog Kebangsaan Suhardono. "Melalui dialog kebangsaan di lembaga tertinggi negara ini, kami berharap dapat memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang pelurusan sejarah “Kemerdekaan Bangsa Indonesia kepada masyarakat,” kata Suhardono.
Dia memaparkan, upaya pelurusan sejarah Kemerdekaan Bangsa Indonesia ini penting dilakukan. Sebab, selama puluhan tahun, rakyat Indonesia terjebak dalam stigma "Kemerdekaan Republik Indonesia" tiap kegiatan peringatan kemerdekaan pada bulan Agustus. Padahal, lanjut dia, penggunaan istilah ‘Kemerdekaan Republik’ perlu diluruskan menjadi Kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Dia menambahkan, pelurusan sejarah ini dikuatkan sejumlah aspek. “Berdasarkan teks Proklamasi dan pembukaan UUD 1945, jelas menyebutkan ‘Bangsa Indonesia yang merdeka. Secara historis yang memperjuangkan kemerdekaan juga Bangsa Indonesia, bukan republik. Secara filosofis, berdirinya negara juga harus ada bangsa yang berdaulat,” katanya.
Secara detail, Suhardono menjelaskan, Proklamasi sama sekali tak menyebut kata republik. Proklamasi menyebut bangsa Indonesia. "Yakni, ‘Proklamasi, Kami Bangsa Indonesia...’ kemudian di akhir proklamator menyebut ‘Atas nama bangsa Indonesia…” katanya.
Demikian halnya pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang tak menyebut republik. "Kalimatnya, ...Maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaanya...” katanya.
Di alinea berikutnya; “...Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia...”
Sementara itu, dari aspek historis, 17 Agustus 1945 adalah peristiwa cetusan Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Sedangkan Negara Republik Indonesia didirikan pada tanggal 18 Agustus 1945, ditandai dengan disahkan Pancasila final sebagai Dasar Negara, pengesahan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan dilantiknya Soekarno dan Moch Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama.
“Lalu, dari aspek filosofis, syarat berdirinya negara Republik Indonesia adanya kedaulatan bangsa Indonesia, tidaklah mungkin bangsa yang dalam cengkraman kekuasaan asing mendirikan negara dahulu baru kemudian mencetuskan kemerdekaannya,” kata Suhardono.
Aspek lain yang tak kalah penting adalah tata bahasa. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI); Bangsa bermakna: “Kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa dan sejarahnya, serta berpemerintahan....”
Sedangkan republik bermakna: “.. pemerintahan yang berkedaulatan rakyat dan dikepalai oleh seorang Presiden..”
Dari segi bahasa: bangsa dan republik jelas berbeda. Dari segi bahasa, penggunaan frase ‘Kemerdekaan Republik Indonesia’ justru mengesankan kemerdekaan ini milik republik.
“Jika dilogika; bagaimana mungkin pada 17 Agustus 1945 itu disebut ‘Kemerdekaan Republik Indonesia’ sementara pada tanggal itu belum ada pemerintahan berbentuk republik yang dikepalai oleh Presiden,” papar Suhardono.
Adapun acara itu diselenggarakan oleh MPR bekerja sama dengan Persaudaraan Cinta Tanah Air (PCTA) Indonesia, Organisasi Shiddiqiyyah (Orshid), Lesbumi NU, Universitas Bung Karno (UBK), Situs Persada Sukarno nDalem Pojok Kediri, Api Bandung.
Sebelum digelarnya dialog itu, konvoi 100 mobil dengan stiker - stiker bertuliskan 17 Agustus Kemerdekaan Bangsa Indonesia, Bukan Kemerdekaan RI dilaksanakan. konvoi itu dimulai dari Jakarta Internasional Expo di Kemayoran, Jakarta Pusat, pukul 08.00 WIB hingga gedung MPR RI.
“Konvoi mobil merupakan bagian dari kampanye atau sosialisasi pelurusan sejarah kepada khalayak, karena pada tiap mobil yang ikut konvoi membawa tulisan 17 Agustus Kemerdekaan Bangsa Indonesia, Bukan Kemerdekaan Republik Indonesia,” kata Suhardono.
Hadir sebagai keynote speaker adalah Wakil Ketua MPR Muhaimin Iskandar. Sejumlah pakar yang menjadi pembicara antara lain, Ketua Lesbumi PBNU KH Agus Sunyoto, Ketua Kajian MPR Prof Dr AB Kusuma, Prof Dr Tries Edy Wahyono dari PCTA Indonesia dan Ahmad Mansyur Suryanegara, Ketua Program Studi Fakultas Hukum Universitas Bung Karno Dr Azmi Syahputra.
(dam)