Belajar Perdamaian dari Konflik Maluku

Rabu, 11 Juli 2018 - 11:49 WIB
Belajar Perdamaian dari...
Belajar Perdamaian dari Konflik Maluku
A A A
JAKARTA - Konflik sosial yang terjadi di Kepulauan Maluku pada 19 tahun lalu merupakan fase kelam dan tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah hubungan antaretnik dan umat beragama di Indonesia.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang juga sebagai penggagas Perjanjian Malino II, salah satu momentum penting dalam membawa Maluku pada perdamaian, menegaskan Indonesia harus belajar dari konflik Maluku. JK mengatakan, banyak pihak menyebut konflik di Maluku karena masalah agama. Padahal, menurut dia, konflik Maluku terjadi karena masalah ekonomi dan politik yang kemudian dibawa ke isu agama.

“Apabila berbicara tentang konflik Maluku, banyak orang menyangka bahwa itu konflik agama. Memang pada akhirnya adalah konflik agama, tapi sebabnya bukan konflik agama,” tandas JK saat memberikan sambutan dalam Sarasehan Nasional Wantannas di Jakarta, kemarin.

JK mengingatkan, konflik yang terjadi dipicu karena masalah politik dan ekonomi yang kemudian diarahkan ke konflik agama. “Inilah yang menjadi pemicu bagaimana cepat konflik itu kalau disebabkan masalah agama yang sebenarnya bukan masalah agama,” ujarnya.

JK juga menceritakan kehidupan beragama yang harmonis di Maluku di masa lalu. Masyarakat Maluku, lanjutnya, kala itu menggantungkan hidup pada hasil perikanan laut, cengkih, dan rempah-rempah.

“Tahun 1992 terjadi penurunan harga cengkih. Ada yang memonopoli cengkih, maka harga cengkih turun drastis,” ungkapnya.

Turunnya harga cengkih itu membuat pendapatan masyarakat menurun dan menimbulkan kemiskinan. Hal tersebut terjadi selama beberapa tahun dan membuat ketidakseimbangan di masyarakat.

“Pada lain pihak banyak pendatang pekerja kasar, orang Makassar jadi tukang becak. Tapi kemudian karena kerajinan, mereka menjadi pedagang di pasar, sehingga jadi ekonomi sebagian dilaksanakan oleh pendatang,” paparnya.

Semetara pemicu lainnya, kata JK, di saat yang bersamaan pada tahun 1998 terjadi reformasi yang membuat sistem politik menjadi terbuka. Maka timbulah ketidakharmonisan karena demokrasi yang terbuka.

“Kesalahannya adalah karena politik, ini supaya jadi pelajaran. Terjadilah kemudian gubernur, sekda, ketua DPR semua muslim. Wagub orang Katolik sehingga terjadilah ketidakseimbangan, jadi hasilnya terjadilah ketidakseimbangan ekonomi dan politik di masyarakat,” ungkapnya.

Setelah masalah ekonomi politik timbul, maka beberapa oknum kemudian mengarahkannya ke masalah agama. Konflik besar pun terjadi.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengharapkan agar bangsa Indonesia bisa merawat perdamaian merujuk dari resolusi konflik di Maluku. Sehingga dapat tercipta suatu masyarakat yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

“Jadi, saya atas nama presiden sudah memberikan satu masukan-masukan agar sarasehan nasional ini bisa menghasilkan pemikiran-pemikiran cerdas agar perdamaian atau persatuan bangsa dapat kita rawat dengan sebaik-baiknya,” ujarnya.

Sekjen Wantannas Mayjen TNI Doni Monardo mengatakan, sarasehan ini menjadi penting karena belajar dari daerah yang pernah mengalami konflik dan mampu bangkit adalah sebuah keniscayaan. (Binti Mufarida)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0837 seconds (0.1#10.140)