Rusia dan Piala Dunia 2018

Rabu, 11 Juli 2018 - 07:45 WIB
Rusia dan Piala Dunia 2018
Rusia dan Piala Dunia 2018
A A A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

MENTERI Luar Negeri Inggris Boris Johnson mengundurkan diri dari jabatannya tiga hari menjelang laga semifinal antara Inggris melawan Kroasia. Tidak ada hubungan langsung antara pengunduran dirinya dan pertandingan tersebut. Ia sendiri mundur karena berselisih paham dengan Perdana Menteri Theresa May terkait masalah perbatasan dan mungkin juga ia berupaya mengincar kedudukan sebagai PM.

Hubungan yang ada antara Boris Johnson dan pertandingan sepak bola terbesar sejagat itu adalah seruannya untuk memboikot Piala Dunia di Rusia. Alasannya, dugaan tanpa bukti yang kuat bahwa Rusia berada di belakang upaya membunuh mantan double agent militer Rusia Sergei Skripal dan putrinya. Saat itu Johnson bahkan menyamakan Piala Dunia 2018 dengan Olimpiade 1936 di Jerman masa kepemimpinan Hitler.

Saya membayangkan apabila Inggris dapat maju ke final dan bahkan mungkin menjadi juara atau bahkan kalah dalam Piala Dunia, tidakkah pernyataan itu akan menjadi objek cemooh nasional di Inggris?

Perdana Menteri Inggris (1974–1976) Harold Wilson pernah mengalaminya. Sebagai PM petahana, ia kalah dalam pemilu yang diselenggarakan empat hari setelah Inggris bertekuk lutut dari Jerman dan kala itu segala indikator politik diprediksikan berpihak padanya.

Kalah dan menang mungkin bukan faktor signifikan dalam perilaku pemilih. Namun, hasil pertandingan memang membentuk perasaan subjektif masyarakat terhadap pemerintahnya, terutama di negara yang fanatik pada laga bola.

Pastinya para politisi di Inggris, terutama dari pihak Konservatif, telah mengubah sikap mereka ketika Inggris masuk dalam 16 besar. Kantor Pemerintah Inggris yang dikenal dengan nama 10 Downing Street telah mengibarkan bendera St George (bendera yang mirip dengan simbol Palang Merah dengan latar belakang putih), dan menyerukan seluruh kementerian untuk melakukan hal yang serupa.

Pengibaran bendera St George ini biasanya informal karena dianggap bermuatan ideologis negatif Inggris yang imperialistis. Pemerintah Inggris sendiri menyerukan agar para penonton Inggris di Piala Dunia di Rusia tidak mengibarkan bendera tersebut. Fakta bahwa bendera ini diserukan secara formal menunjukkan bahwa para politisi Konservatif ingin memanfaatkan momentum tersebut untuk mendulang perhatian, walaupun Skotlandia mengancam akan mempersoalkannya.

Hubungan politik luar negeri Inggris dan Rusia sedang mengalami krisis akibat peristiwa Sergei Skripal. Inggris mengirimkan 23 diplomat Rusia pulang kampung, yang kemudian juga diikuti dengan 22 negara lain termasuk mereka yang ikut dalam Piala Dunia seperti Islandia, Jerman, atau Swedia. Delapan negara Eropa lainnya, Austria, Portugal, Bulgaria, Siprus, Malta, Slovakia, Slovenia, dan Luksemburg, menolak untuk ikut-ikutan aksi pengusiran mitra mereka di Uni Eropa.

Negara-negara yang melakukan pengusiran tersebut tidak mengirimkan pejabat tinggi mereka dalam upacara pembukaan dan pertandingan-pertandingan yang melibatkan kesebelasan mereka. Hal ini di luar tradisi yang selama ini dilakukan selama perhelatan Piala Dunia. Pangeran William dari Inggris juga dilarang untuk datang menghadiri pertandingan tersebut.

Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) jauh-jauh hari sudah mengingatkan agar tidak mengaitkan peristiwa politik apa pun dengan penyelenggaraan Piala Dunia. Kebebasan berpendapat di dalam atau di luar pertandingan sangat haram diekspresikan oleh para pemain atau anggota tim pendukung lainnya.

FIFA, misalnya, telah menjatuhkan sanksi USD10.000 kepada dua pemain Swiss kelahiran Kosovo, Granit Xhaka dan Xherdan Shaqiri, yang membuat gerakan simbol Rajawali Albania yang berpotensi membakar tensi antarorang Serbia di Semenanjung Balkan. Kosovo adalah negara yang tidak diakui oleh Rusia dan Serbia.

Situasi politik luar negeri yang panas itu menjadi taruhan politik terbesar bagi Rusia. Rusia sendiri sangat berkepentingan menyukseskan pertandingan ini dan bersedia mengalokasikan jutaan dolar untuk pembiayaannya.

Piala Dunia 2018 diperkirakan menelan biaya Rp203 triliun (USD14,2 miliar) untuk penyelenggaraan pertandingan selama kurang lebih satu bulan. Jumlah ini agak rendah dibandingkan biaya Piala Dunia Brasil sebesar Rp214 triliun (USD15 miliar). Total dari uang tersebut diinvestasikan dalam wujud infrastruktur, pembangunan stadion dan fasilitas transportasi.

Murah dan mahal dalam politik luar negeri sangat relatif, terutama terkait dengan harga diri bangsa (national pride). Dalam kacamata ekonomi, biaya Piala Dunia ini mungkin akan menjadi beban anggaran Rusia.

Ekonomi Rusia dalam lima tahun terakhir ini berada dalam posisi tertekan. Penerimaan negara terbesar Rusia adalah minyak bumi. Pendapatan ini menyumbang 52% (2012) APBN Rusia.

Rusia adalah pengekspor minyak bumi terbesar kedua setelah Arab Saudi, dan memiliki cadangan minyak terbesar ke-8 di dunia. Kebergantungan terhadap minyak ini menyebabkan perekonomian Rusia bergantung pada harga minyak dan situasi politik di Timur Tengah.

Penurunan harga minyak bumi dari USD108 pada 2013 menjadi USD74–78 tahun ini berpengaruh negatif pula terhadap penerimaan negara. Tekanan terhadap penerimaan negara itu bertambah dengan serangkaian sanksi ekonomi yang dilakukan oleh Eropa dan Amerika pascainsiden yang terjadi di Ukraina dan Crimea.

Artinya, laga Piala Dunia 2018 perlu dilihat lebih dari sekadar perhelatan olahraga. Dalam situasi politik dan ekonomi yang tertekan, tekad Rusia menginvestasikan dana jutaan dolar untuk acara Piala Dunia, membuka 11 kota di Rusia dengan para “duta olahraga dan gaya hidup sehat” di tiap kota tempat pertandingan-pertandingan tersebut diselenggarakan, patut dipertimbangkan sebagai cara Rusia untuk merebut perhatian dunia melalui diplomasi olahraga.

Tidak hanya penghasilan dari turisme, penjualan ritel dan produk konsumen yang diharapkan terdongkrak melalui acara, tetapi juga pandangan masyarakat terhadap Rusia diharapkan berubah. Acara tersebut adalah pertama kalinya FIFA menyelenggarakan Piala Dunia di Eropa Timur, belahan dunia yang secara politik masih dipandang berseberangan dengan mainstream kekuatan politik global saat ini.

Indonesia juga pernah mengusahakan ikut menjadi penyelenggara dalam perhelatan olahraga dunia demi meraih perhatian dunia. Untuk Piala Dunia 2018, Indonesia pun sempat mengajukan tawaran, tetapi ditolak karena tidak melengkapi persyaratan yang diminta. Untuk skala Asia, Indonesia juga sangat berharap bahwa investasi dalam penyelenggaraan Asian Games 2018 akan mendongkrak penghasilan di sejumlah sektor seperti turisme dan ritel.

Namun, satu hal yang kerap luput dari perhatian. Perhelatan akbar antarnegara sebenarnya merupakan momen yang sangat baik untuk memperkenalkan produk-produk Indonesia, terutama yang terbaik, terkini, dan tercanggih, mengedepankan sistem kerja yang efisien dan berdasarkan pada nilai-nilai toleransi yang menjunjung kemanusiaan, dan tentunya memperkenalkan keunggulan program-program kerja sama dalam bidang olahraga, gaya hidup sehat, dan pemberdayaan kaum muda. Semuanya ini sarat dengan perlunya persiapan matang yang peka akan kebutuhan diplomasi dalam bidang-bidang ini.

Sayangnya, di Indonesia perhelatan olahraga akbar macam ini lebih banyak hanya dikelola oleh kementerian teknis, misalnya Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Komunikasi dan Informasi. Pihak Kementerian Luar Negeri hanya dilibatkan di urusan protokol dan promosi, itu pun bukan di bagian content dari materi promosi.

Aktor nonnegara yang dilibatkan pun terbatas pada sektor yang terkait langsung, yakni olahraga. Kesadaran bahwa lebih banyak hasil positif yang bisa terkumpul bila undangan acara dikembangkan menjadi antusiasme terhadap Indonesia, produk-produknya, orang-orangnya, nilai-nilai yang diusungnya, dan program-program yang diinisiasi oleh Indonesia belum cukup memadai.

Di Indonesia, cara pikir efisiensi belum dipadukan dengan model-model kerja sama lintas kementerian. Diplomasi masih dipandang sebelah mata sebagai urusan membuat perjanjian dan kesepakatan internasional belaka, padahal ruang untuk mendapatkan lebih melalui diplomasi terbuka lebar di depan mata.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9863 seconds (0.1#10.140)