Tenggelamnya Angkutan Pelayaran Rakyat
A
A
A
Abdul Halim
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan
DUKA mendalam tengah menyelimuti langit Indonesia. Hal ini dipicu oleh tenggelamnya KM Lestari Maju di perairan Kepulauan Selayar yang berhadapan langsung dengan Laut Flores pada Selasa (3/7) siang dan karamnya KM Sinar Bangun di Danau Toba, Senin (18/6) sore saat berlayar dari Simanindo ke Tigaras. Inilah kecelakaan terburuk yang kembali terulang di negeri kelautan terbesar di dunia. Pertanyaannya, apa yang sesungguhnya menjadi penyebab dari kecelakaan laut tersebut?
Tingginya mobilitas warga kepulauan telah mendorong kenaikan jumlah pengguna transportasi umum di Indonesia, meliputi angkutan di perairan, kereta api, dan kapal terbang. Kementerian Perhubungan (2017) misalnya melansir fakta bahwa jumlah penumpang angkutan laut sampai November 2016 mencapai 5,7 juta orang, terdiri atas 4 juta orang yang menggunakan angkutan Pelni dan 1,7 juta orang lainnya memakai jasa angkutan perintis.
Setali tiga uang, angkutan penyeberangan yang melintasi sungai dan danau juga terbilang tinggi, yakni mencapai 68,5 juta orang, 8,7 juta kendaraan roda dua, dan 8,9 juta kendaraan roda empat pada 2016. Dengan perkataan lain, animo publik sangat besar menyangkut layanan angkutan di perairan. Pada konteks inilah, sejatinya keselamatan dan keamanan pelayaran menjadi hal yang utama. Ironisnya, respons pemerintah justru sebatas membangun infrastruktur fisik.
Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Juni 2018) mencatat alokasi APBN Kementerian Perhubungan antara 2017-2018 terbilang sangat besar, yakni Rp48.732,2 triliun (APBN 2017), Rp44.601,9 triliun (APBN-P 2017), dan Rp48.203,1 triliun (APBN 2018). Dengan alokasi APBN ini, sudah semestinya Kementerian Perhubungan meningkatkan kualitas keamanan dan keselamatan pelayaran di laut. Faktanya, (a) di dalam APBN 2017, pembangunan 50 unit kapal perintis, 15 unit kapal kontainer, dan lima unit kapal ternak menjadi target utama; dan (b) pemberian subsidi angkutan laut perintis dengan output penyelenggaraan angkutan laut perintis sebanyak 113 trayek dijalankan selama 2017-2018.
Diabaikannya prinsip keselamatan dan keamanan pelayaran berimbas pada tingginya angka kecelakaan di laut. Menariknya, faktor manusia menduduki penyebab tertinggi ketimbang faktor alam dan lainnya. Mahkamah Pelayaran (2017) mencatat sejak 2013-2017, kecelakaan di laut yang disebabkan oleh faktor manusia sebanyak 85 kasus, disusul kecelakaan di laut yang disebabkan oleh faktor alam sebanyak 44 kasus. Sisanya 33 kasus disebabkan oleh faktor nonteknis lainnya.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran memandatkan kepada pemerintah untuk mengutamakan keselamatan dan keamanan pelayaran demi kepentingan nasional. Pada Pasal 9 ayat (7) disebutkan bahwa pengoperasian kapal pada jaringan trayek tetap dan teratur dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan mempertimbangkan (i) kelaiklautan kapal; (ii) menggunakan kapal berbendera Indonesia dan diawaki oleh warga negara Indonesia; (iii) keseimbangan permintaan dan tersedianya ruangan; (iv) kondisi alur dan fasilitas pelabuhan yang disinggahi; dan (v) tipe dan ukuran kapal sesuai dengan kebutuhan.
Tenggelamnya KM Lestari Maju dan KM Sinar Bangun merupakan potret diabaikannya mandat UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Apa saja pelanggaran yang menjadi penyebab terjadi kecelakaan di Danau Toba dan perairan Kepulauan Selayar? Pertama, diabaikannya kelaiklautan kapal yang ditentukan oleh pemeriksaan dan pengujian yang dilakukan oleh pejabat pemeriksa keselamatan kapal. Pemeriksaan ini meliputi (i) keselamatan kapal; (ii) pencegahan pencemaran dari kapal; (iii) pengawakan kapal; (iv) garis muat kapal dan pemuatan; (v) kesejahteraan awak kapal dan kesehatan penumpang; (vi) status hukum kapal; (vii) manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal; dan (viii) manajemen keamanan kapal. Hasil pemeriksaan dan pengujian kelaiklautan kapal ini ditandai dengan diterbitkannya sertifikat keselamatan kapal penumpang/ kapal barang.
Kedua, fungsi kenavigasian kapal yang tidak diperiksa secara berkala. Fungsi ini terdiri atas (a) sarana bantu navigasi pelayaran; (b) telekomunikasi pelayaran; (c) hidrografi dan meteorologi; (d) alur dan perlintasan; (e) pengerukan dan reklamasi; (f) pemanduan; (g) penanganan kerangka kapal; dan (h) salvage dan pekerjaan bawah air. Jika tidak dilakukan pengecekan secara berkala, imbasnya risiko terjadi kecelakaan di laut kian tinggi.
Ketiga, tidak berjalannya fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran di pelabuhan yang menjadi tanggung jawab syahbandar. Padahal, pelaksanaan fungsi ini didukung oleh informasi meteorologi yang dikeluarkan oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika). Hal ini diatur di dalam Pasal 80 ayat (1-4) Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Pengabaian informasi cuaca dan tinggi gelombang berakibat pada besarnya risiko kecelakaan di laut yang dihadapi oleh penumpang.
Bertolak dari ketiga penyebab utama di atas, sudah seyogianya pemerintah menjadikan kecelakaan angkutan di perairan yang terjadi di Danau Toba dan perairan Kepulauan Selayar sebagai momentum korektif untuk menata kembali penyelenggaraan seluruh angkutan di perairan, mencakup angkutan laut, angkutan sungai dan danau, serta angkutan penyeberangan. Kenapa hal ini sedemikian pentingnya?
Seperti diketahui, INSA (Mei 2016) mendata bahwa jumlah kapal nasional mengalami pertumbuhan sebesar 242% atau dari 6.041 unit (2005) menjadi 20.687 unit (2016). Tak hanya itu, dari sisi kapasitas kapal juga mengalami peningkatan, yakni dari 5,67 juta GT (2005) menjadi 26,61 juta GT (2016) atau naik sebesar 369%. Pertambahan armada dan kapasitas kapal ini sejalan dengan meningkatnya jumlah perusahaan pelayaran nasional, yakni dari 1.591 perusahaan (2005) menjadi 3.296 perusahaan (2016) atau tumbuh sebesar 107%.
Pertumbuhan jumlah kapal nasional, kapasitas, dan perusahaan yang bergerak di sektor pelayaran nasional bermakna positif apabila didukung oleh penerapan standar keselamatan dan keamanan pelayaran yang memadai. Bagaimana memastikannya? Setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, meningkatkan kapasitas syahbandar dalam menjalankan standar kinerja pelayanan operasional pelabuhan sebagaimana diatur di dalam Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor 2 Tahun 2018. Hal ini bisa dilakukan dengan cara melakukan audit operasional pelayanan pelabuhan terlebih dahulu. Sejatinya syahbandar menjadi garda depan terpenuhinya prinsip-prinsip keselamatan dan keamanan pelayaran nasional.
Kedua, melakukan pemeriksaan dan pengujian secara berkala terhadap 20.687 unit armada kapal yang terdaftar di Indonesia, khususnya kepada 3,93% kapal yang diperuntukkan sebagai angkutan penumpang di perairan. Dengan kedua jalan inilah, niscaya pelayaran di dalam negeri tak lagi memakan korban jiwa.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan
DUKA mendalam tengah menyelimuti langit Indonesia. Hal ini dipicu oleh tenggelamnya KM Lestari Maju di perairan Kepulauan Selayar yang berhadapan langsung dengan Laut Flores pada Selasa (3/7) siang dan karamnya KM Sinar Bangun di Danau Toba, Senin (18/6) sore saat berlayar dari Simanindo ke Tigaras. Inilah kecelakaan terburuk yang kembali terulang di negeri kelautan terbesar di dunia. Pertanyaannya, apa yang sesungguhnya menjadi penyebab dari kecelakaan laut tersebut?
Tingginya mobilitas warga kepulauan telah mendorong kenaikan jumlah pengguna transportasi umum di Indonesia, meliputi angkutan di perairan, kereta api, dan kapal terbang. Kementerian Perhubungan (2017) misalnya melansir fakta bahwa jumlah penumpang angkutan laut sampai November 2016 mencapai 5,7 juta orang, terdiri atas 4 juta orang yang menggunakan angkutan Pelni dan 1,7 juta orang lainnya memakai jasa angkutan perintis.
Setali tiga uang, angkutan penyeberangan yang melintasi sungai dan danau juga terbilang tinggi, yakni mencapai 68,5 juta orang, 8,7 juta kendaraan roda dua, dan 8,9 juta kendaraan roda empat pada 2016. Dengan perkataan lain, animo publik sangat besar menyangkut layanan angkutan di perairan. Pada konteks inilah, sejatinya keselamatan dan keamanan pelayaran menjadi hal yang utama. Ironisnya, respons pemerintah justru sebatas membangun infrastruktur fisik.
Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Juni 2018) mencatat alokasi APBN Kementerian Perhubungan antara 2017-2018 terbilang sangat besar, yakni Rp48.732,2 triliun (APBN 2017), Rp44.601,9 triliun (APBN-P 2017), dan Rp48.203,1 triliun (APBN 2018). Dengan alokasi APBN ini, sudah semestinya Kementerian Perhubungan meningkatkan kualitas keamanan dan keselamatan pelayaran di laut. Faktanya, (a) di dalam APBN 2017, pembangunan 50 unit kapal perintis, 15 unit kapal kontainer, dan lima unit kapal ternak menjadi target utama; dan (b) pemberian subsidi angkutan laut perintis dengan output penyelenggaraan angkutan laut perintis sebanyak 113 trayek dijalankan selama 2017-2018.
Diabaikannya prinsip keselamatan dan keamanan pelayaran berimbas pada tingginya angka kecelakaan di laut. Menariknya, faktor manusia menduduki penyebab tertinggi ketimbang faktor alam dan lainnya. Mahkamah Pelayaran (2017) mencatat sejak 2013-2017, kecelakaan di laut yang disebabkan oleh faktor manusia sebanyak 85 kasus, disusul kecelakaan di laut yang disebabkan oleh faktor alam sebanyak 44 kasus. Sisanya 33 kasus disebabkan oleh faktor nonteknis lainnya.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran memandatkan kepada pemerintah untuk mengutamakan keselamatan dan keamanan pelayaran demi kepentingan nasional. Pada Pasal 9 ayat (7) disebutkan bahwa pengoperasian kapal pada jaringan trayek tetap dan teratur dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan mempertimbangkan (i) kelaiklautan kapal; (ii) menggunakan kapal berbendera Indonesia dan diawaki oleh warga negara Indonesia; (iii) keseimbangan permintaan dan tersedianya ruangan; (iv) kondisi alur dan fasilitas pelabuhan yang disinggahi; dan (v) tipe dan ukuran kapal sesuai dengan kebutuhan.
Tenggelamnya KM Lestari Maju dan KM Sinar Bangun merupakan potret diabaikannya mandat UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Apa saja pelanggaran yang menjadi penyebab terjadi kecelakaan di Danau Toba dan perairan Kepulauan Selayar? Pertama, diabaikannya kelaiklautan kapal yang ditentukan oleh pemeriksaan dan pengujian yang dilakukan oleh pejabat pemeriksa keselamatan kapal. Pemeriksaan ini meliputi (i) keselamatan kapal; (ii) pencegahan pencemaran dari kapal; (iii) pengawakan kapal; (iv) garis muat kapal dan pemuatan; (v) kesejahteraan awak kapal dan kesehatan penumpang; (vi) status hukum kapal; (vii) manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal; dan (viii) manajemen keamanan kapal. Hasil pemeriksaan dan pengujian kelaiklautan kapal ini ditandai dengan diterbitkannya sertifikat keselamatan kapal penumpang/ kapal barang.
Kedua, fungsi kenavigasian kapal yang tidak diperiksa secara berkala. Fungsi ini terdiri atas (a) sarana bantu navigasi pelayaran; (b) telekomunikasi pelayaran; (c) hidrografi dan meteorologi; (d) alur dan perlintasan; (e) pengerukan dan reklamasi; (f) pemanduan; (g) penanganan kerangka kapal; dan (h) salvage dan pekerjaan bawah air. Jika tidak dilakukan pengecekan secara berkala, imbasnya risiko terjadi kecelakaan di laut kian tinggi.
Ketiga, tidak berjalannya fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran di pelabuhan yang menjadi tanggung jawab syahbandar. Padahal, pelaksanaan fungsi ini didukung oleh informasi meteorologi yang dikeluarkan oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika). Hal ini diatur di dalam Pasal 80 ayat (1-4) Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Pengabaian informasi cuaca dan tinggi gelombang berakibat pada besarnya risiko kecelakaan di laut yang dihadapi oleh penumpang.
Bertolak dari ketiga penyebab utama di atas, sudah seyogianya pemerintah menjadikan kecelakaan angkutan di perairan yang terjadi di Danau Toba dan perairan Kepulauan Selayar sebagai momentum korektif untuk menata kembali penyelenggaraan seluruh angkutan di perairan, mencakup angkutan laut, angkutan sungai dan danau, serta angkutan penyeberangan. Kenapa hal ini sedemikian pentingnya?
Seperti diketahui, INSA (Mei 2016) mendata bahwa jumlah kapal nasional mengalami pertumbuhan sebesar 242% atau dari 6.041 unit (2005) menjadi 20.687 unit (2016). Tak hanya itu, dari sisi kapasitas kapal juga mengalami peningkatan, yakni dari 5,67 juta GT (2005) menjadi 26,61 juta GT (2016) atau naik sebesar 369%. Pertambahan armada dan kapasitas kapal ini sejalan dengan meningkatnya jumlah perusahaan pelayaran nasional, yakni dari 1.591 perusahaan (2005) menjadi 3.296 perusahaan (2016) atau tumbuh sebesar 107%.
Pertumbuhan jumlah kapal nasional, kapasitas, dan perusahaan yang bergerak di sektor pelayaran nasional bermakna positif apabila didukung oleh penerapan standar keselamatan dan keamanan pelayaran yang memadai. Bagaimana memastikannya? Setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, meningkatkan kapasitas syahbandar dalam menjalankan standar kinerja pelayanan operasional pelabuhan sebagaimana diatur di dalam Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor 2 Tahun 2018. Hal ini bisa dilakukan dengan cara melakukan audit operasional pelayanan pelabuhan terlebih dahulu. Sejatinya syahbandar menjadi garda depan terpenuhinya prinsip-prinsip keselamatan dan keamanan pelayaran nasional.
Kedua, melakukan pemeriksaan dan pengujian secara berkala terhadap 20.687 unit armada kapal yang terdaftar di Indonesia, khususnya kepada 3,93% kapal yang diperuntukkan sebagai angkutan penumpang di perairan. Dengan kedua jalan inilah, niscaya pelayaran di dalam negeri tak lagi memakan korban jiwa.
(pur)