Rampas Hak Imunitas Anggota DPR, Langkah PKS Dinilai Langgar UU
A
A
A
JAKARTA - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dianggap telah melanggar undang-undang (UU) yang berlaku dan sebagai partai yang diktator. Pasalnya, partai yang dipimpin oleh Sohibul Iman itu dinilai sudah merampas hak imunitas yang dimiliki oleh anggota DPR sebagaimana diatur dalam konstitusi.
Pakar Hukum Tata Negara, Asep Warlan Yusuf mengatakan bahwa partai tidak bisa semena-mena memberhentikan kader yang duduk di parlemen. "Menurut saya itu bentuk kediktatoran dan melanggar UU, menabrak sistem keparlemenan, karena sistem parlemen kita itu pemilihannya kepada orang bukan kepada partai," ujar Asep dihubungi wartawan, Selasa (3/7/2018).
Dia menjelaskan, prinsip pergantian antar waktu (PAW) seorang anggota dewan hanya dapat dilakukan jika benar-benar terbukti melanggar aturan yang berlaku. Karena, anggota dewan memiliki hak imunitas yang diatur oleh konstitusi.
"Kalau dia baik-baik saja tidak bisa diganti, prinsip PAW itu kalau melanggar UU. Karena sistem kita sistem tertutup terbatas, maka tidak bisa partai semena-mena memberhentikan," katanya.
Dia juga menilai PKS tidak sejalan dengan prinsip demokrasi. Hal itu terkait aturan yang dikeluarkan PKS kepada seluruh kader yang ingin maju sebagai calon anggota legislatif (Caleg) untuk bersedia mengundurkan diri.
Aturan yang dikeluarkan PKS tersebut dianggapnya sama halnya mengesampingkan suara rakyat. Pasalnya, berdasarkan sistem parlemen di Indonesia, pemilihan dilakukan kepada orang bukan kepada partai politik.
"Mengesampingkan suara rakyat, meniadakan aspirasi pemilih. Hemat saya prinsip demokrasi tidak seperti itu. Partai (PKS) itu tidak sejalan dengan prinsip demokrasi," ujarnya.
Maka itu, setiap partai politik harus jelas dan terukur dalam mengeluarkan aturan. Sehingga, aturan yang dikeluarkan partai tidak bertabrakan dengan konstitusi yang berlaku.
"Memberi peluang kesewenang-wenangan partai, karena tidak sesuai dengan aturan yang berlaku," ucapnya.
Sekadar diketahui, DPP PKS membuat aturan baru yang mengikat, bagi kader partai yang ingin maju sebagai calon anggota DPR tingkat pusat/wilayah/daerah. Aturan tersebut tertuang dalam surat edaran bernomor surat 02/D/EDR/DPP-PKS/2018 yang ditandatangani oleh Presiden PKS Muhammad Sohibul Iman dan menggunakan kop surat berlogo PKS.
Selain ditujukan pada BCAD, surat itu juga ditujukan pada ketua bidang wilayah dakwah DPP/ketua DPW/ketua DPD. Juga kepada Tim Pemberkasan Dokumen Pendaftaran BCAD tingkat pusat/wilayah/daerah.
Dalam surat tertanggal 16 Syawal 1439 (29 Juni 2018) tersebut tercantum bahwa bakal calon anggota PKS harus bersedia mengisi dan menandatangani surat pengunduran diri bertanggal kosong. Selain itu, juga menyatakan bahwa bakal calon PKS harus melakukan hal berikut:
1. Memastikan surat pernyataan BCAD (bakal calon anggota dewan) yang telah ditandantangani sebelumnya tersampaikan di setiap level struktur yang ditetapkan.
2. Mengisi dan menandatangani surat pernyataan bersedia mengundurkan diri yang terlampir bersama surat edaran ini.
3. Mengisi dan menandatangani surat pengunduran diri bertanggal kosong yang terlampir bersama surat edaran ini.
Pakar Hukum Tata Negara, Asep Warlan Yusuf mengatakan bahwa partai tidak bisa semena-mena memberhentikan kader yang duduk di parlemen. "Menurut saya itu bentuk kediktatoran dan melanggar UU, menabrak sistem keparlemenan, karena sistem parlemen kita itu pemilihannya kepada orang bukan kepada partai," ujar Asep dihubungi wartawan, Selasa (3/7/2018).
Dia menjelaskan, prinsip pergantian antar waktu (PAW) seorang anggota dewan hanya dapat dilakukan jika benar-benar terbukti melanggar aturan yang berlaku. Karena, anggota dewan memiliki hak imunitas yang diatur oleh konstitusi.
"Kalau dia baik-baik saja tidak bisa diganti, prinsip PAW itu kalau melanggar UU. Karena sistem kita sistem tertutup terbatas, maka tidak bisa partai semena-mena memberhentikan," katanya.
Dia juga menilai PKS tidak sejalan dengan prinsip demokrasi. Hal itu terkait aturan yang dikeluarkan PKS kepada seluruh kader yang ingin maju sebagai calon anggota legislatif (Caleg) untuk bersedia mengundurkan diri.
Aturan yang dikeluarkan PKS tersebut dianggapnya sama halnya mengesampingkan suara rakyat. Pasalnya, berdasarkan sistem parlemen di Indonesia, pemilihan dilakukan kepada orang bukan kepada partai politik.
"Mengesampingkan suara rakyat, meniadakan aspirasi pemilih. Hemat saya prinsip demokrasi tidak seperti itu. Partai (PKS) itu tidak sejalan dengan prinsip demokrasi," ujarnya.
Maka itu, setiap partai politik harus jelas dan terukur dalam mengeluarkan aturan. Sehingga, aturan yang dikeluarkan partai tidak bertabrakan dengan konstitusi yang berlaku.
"Memberi peluang kesewenang-wenangan partai, karena tidak sesuai dengan aturan yang berlaku," ucapnya.
Sekadar diketahui, DPP PKS membuat aturan baru yang mengikat, bagi kader partai yang ingin maju sebagai calon anggota DPR tingkat pusat/wilayah/daerah. Aturan tersebut tertuang dalam surat edaran bernomor surat 02/D/EDR/DPP-PKS/2018 yang ditandatangani oleh Presiden PKS Muhammad Sohibul Iman dan menggunakan kop surat berlogo PKS.
Selain ditujukan pada BCAD, surat itu juga ditujukan pada ketua bidang wilayah dakwah DPP/ketua DPW/ketua DPD. Juga kepada Tim Pemberkasan Dokumen Pendaftaran BCAD tingkat pusat/wilayah/daerah.
Dalam surat tertanggal 16 Syawal 1439 (29 Juni 2018) tersebut tercantum bahwa bakal calon anggota PKS harus bersedia mengisi dan menandatangani surat pengunduran diri bertanggal kosong. Selain itu, juga menyatakan bahwa bakal calon PKS harus melakukan hal berikut:
1. Memastikan surat pernyataan BCAD (bakal calon anggota dewan) yang telah ditandantangani sebelumnya tersampaikan di setiap level struktur yang ditetapkan.
2. Mengisi dan menandatangani surat pernyataan bersedia mengundurkan diri yang terlampir bersama surat edaran ini.
3. Mengisi dan menandatangani surat pengunduran diri bertanggal kosong yang terlampir bersama surat edaran ini.
(kri)