Halangi Penyidikan, Eks Pengacara Setnov Divonis 7 Tahun Penjara
A
A
A
JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhi hukuman tujuh tahun penjara terhadap mantan pengacara Setya Novanto (Setnov), Fredrich Yunadi.
Majelis hakim menyatakan advokat sekaligus pendiri dan Managing Patners kantor hukum Yunadi & Associates Fredrich Yunadi itu terbukti bersalah menghalaningi penyidian kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang melibatkan Setya Novanto selaku Ketua DPR
Majelis hakim yang dipimpin Saifudin Zuhri meyakini perbuatan pidana Fredrich dilakukan secara bersama-sama dengan dokter Bimanesh Sutarjo selaku dokter spesialis Rumah Sakit Medika Permata Hijau (RSMPH).
Perbuatan pidana Fredrich di antaranya mengatur Setnov agar tidak hadir saat dipanggil KPK untuk diperiksa sebagai tersangka pada Rabu, 15 November 2017, mengatur Setnov agar bisa masuk menjalani perawatan dengan diagnosis hipertensi berat di RSMPH pada Kamis 16 November 2017, dan meminta dokter Bimanesh agar menjadi dokter yang menangani Setnov.
Fredrich juga melakukan pemesanan kamar perawatan VIP dengan memerintahkan anak buahnya mengintervensi dokter jaga IGD RSMPH untuk sesaat sebelum Setnov mengalami kecelakaan pada Kamis 16 November 2017 sore menjelang malam.
Dia juga dinyatakan menghalangi penyidik KPK untuk melihat kondisi Setnov setelah masuk RSMPH, hingga menghalangi penyidik memindahkan Setnov dari RSMPH ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM).
"Memutuskan, mengadili, menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa DR Fredrich Yunadi, SH, LLM, MBA dengan pidana penjara selama 7 tahun dikurangi masa penangkapan dan penahanan dan pidana denda sebesar Rp500 juta subsider lima bulan kurungan," kata Hakim Saifudin saat membacakan amar putusan atas nama Fredrich, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (28/6/2018).
Anggota Majelis Hakim Sigit Herman Binaji mengatakan, perbuatan Fredrich terbukti melanggar Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Majelis menolak keseluruhan nota pembelaan Fredrich maupun penasihat hukumnya. Majelis tidak menemukan alasan pemaaf dan pembenar atas perbuatan Fredrich.
"Tindakan terdakwa telah melanggar ruang-ruang hukum dalam penanganan kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik atas nama Setya Novanto," kata hakim Sigit.
Oleh karena itu, sambung dia, Fredrich harus dijatuhi pidana penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Hakim Sigit membeberkan, pidana setimpal yang dijatuhkan majelis hakim terhadap Fredrich bukan sebagai sarana untuk balas dendam melainkan untuk menegakkan hukum. Selain itu pemidanaan terhadap Fredrich juga bertujuan agar Fredrich memperbaiki diri dan tidak mengulangi perbuatannya.
"Di samping itu juga sebagai peringatan bagi masyarakat agar tidak melakukan perbuatan pidana pidana (yang sama-red)," tuturnya.
Hakim Sigit memaparkan, dalam menjatuhkan putusan, majelis mempertimbangkan hal-hal meringankan dan memberatkan. Pertimbangan meringankan, Fredrich belum pernah dihukum dan memiliki tanggungan keluarga.
Sementara, ada empat pertimbangan memberatkan bagi Fredrich. Pertama, tidak berterus terang atas perbuatannya. Kedua, tidak mendukung program pemerintah yang sedang gencar melakukan pemberantasan korupsi. Ketiga, menunjukkan sikap dan tutur kata yang kurang sopan selama persidangan.
"Terdakwa mencari-cari kesalahan pihak lain," ucapnya.
Selepas amar dibacakan, Hakim Saifudin menyampaikan, Fredrich memiliki hak untuk menyikapi putusan apakah menerima atau ragu-ragu dengan berpikir terlebih dahulu. Sebelum perkataan Hakim Zuhri rampung, Fredrich langsung memotongnya.
"Kami nyatakan banding. Hari ini kami bikin akte banding. Hari ini juga," ujar Fredrich dengan suara meninggi.
Anggota JPU pada KPK Roy Riyadi mengatakan, pihak JPU belum menentukan sikap dan akan pikir-pikir dulu apakah menerima atau mengajukan banding.
Majelis hakim menyatakan advokat sekaligus pendiri dan Managing Patners kantor hukum Yunadi & Associates Fredrich Yunadi itu terbukti bersalah menghalaningi penyidian kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang melibatkan Setya Novanto selaku Ketua DPR
Majelis hakim yang dipimpin Saifudin Zuhri meyakini perbuatan pidana Fredrich dilakukan secara bersama-sama dengan dokter Bimanesh Sutarjo selaku dokter spesialis Rumah Sakit Medika Permata Hijau (RSMPH).
Perbuatan pidana Fredrich di antaranya mengatur Setnov agar tidak hadir saat dipanggil KPK untuk diperiksa sebagai tersangka pada Rabu, 15 November 2017, mengatur Setnov agar bisa masuk menjalani perawatan dengan diagnosis hipertensi berat di RSMPH pada Kamis 16 November 2017, dan meminta dokter Bimanesh agar menjadi dokter yang menangani Setnov.
Fredrich juga melakukan pemesanan kamar perawatan VIP dengan memerintahkan anak buahnya mengintervensi dokter jaga IGD RSMPH untuk sesaat sebelum Setnov mengalami kecelakaan pada Kamis 16 November 2017 sore menjelang malam.
Dia juga dinyatakan menghalangi penyidik KPK untuk melihat kondisi Setnov setelah masuk RSMPH, hingga menghalangi penyidik memindahkan Setnov dari RSMPH ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM).
"Memutuskan, mengadili, menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa DR Fredrich Yunadi, SH, LLM, MBA dengan pidana penjara selama 7 tahun dikurangi masa penangkapan dan penahanan dan pidana denda sebesar Rp500 juta subsider lima bulan kurungan," kata Hakim Saifudin saat membacakan amar putusan atas nama Fredrich, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (28/6/2018).
Anggota Majelis Hakim Sigit Herman Binaji mengatakan, perbuatan Fredrich terbukti melanggar Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Majelis menolak keseluruhan nota pembelaan Fredrich maupun penasihat hukumnya. Majelis tidak menemukan alasan pemaaf dan pembenar atas perbuatan Fredrich.
"Tindakan terdakwa telah melanggar ruang-ruang hukum dalam penanganan kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik atas nama Setya Novanto," kata hakim Sigit.
Oleh karena itu, sambung dia, Fredrich harus dijatuhi pidana penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Hakim Sigit membeberkan, pidana setimpal yang dijatuhkan majelis hakim terhadap Fredrich bukan sebagai sarana untuk balas dendam melainkan untuk menegakkan hukum. Selain itu pemidanaan terhadap Fredrich juga bertujuan agar Fredrich memperbaiki diri dan tidak mengulangi perbuatannya.
"Di samping itu juga sebagai peringatan bagi masyarakat agar tidak melakukan perbuatan pidana pidana (yang sama-red)," tuturnya.
Hakim Sigit memaparkan, dalam menjatuhkan putusan, majelis mempertimbangkan hal-hal meringankan dan memberatkan. Pertimbangan meringankan, Fredrich belum pernah dihukum dan memiliki tanggungan keluarga.
Sementara, ada empat pertimbangan memberatkan bagi Fredrich. Pertama, tidak berterus terang atas perbuatannya. Kedua, tidak mendukung program pemerintah yang sedang gencar melakukan pemberantasan korupsi. Ketiga, menunjukkan sikap dan tutur kata yang kurang sopan selama persidangan.
"Terdakwa mencari-cari kesalahan pihak lain," ucapnya.
Selepas amar dibacakan, Hakim Saifudin menyampaikan, Fredrich memiliki hak untuk menyikapi putusan apakah menerima atau ragu-ragu dengan berpikir terlebih dahulu. Sebelum perkataan Hakim Zuhri rampung, Fredrich langsung memotongnya.
"Kami nyatakan banding. Hari ini kami bikin akte banding. Hari ini juga," ujar Fredrich dengan suara meninggi.
Anggota JPU pada KPK Roy Riyadi mengatakan, pihak JPU belum menentukan sikap dan akan pikir-pikir dulu apakah menerima atau mengajukan banding.
(dam)