Penunjukan Iriawan Dinilai Langgar Konstitusi dan Ciderai UU Pilkada
A
A
A
JAKARTA - Langkah Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo menunjuk dan melantik Sekretaris Utama Lemhanas, Komjen Pol M Iriawan menjadi Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat terus menuai sorotan berbagai pihak. Penunjukan itu dianggap sebagian kalangan tidak tepat.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai, Mendagri telah melanggar kontitusi dan menciderai Undang-Undang Pilkada dengan melantik Pati Polri yang akrab disapa Iwan Bule tersebut.
"Ketentuan UU Pilkada telah diatur secara limitatif bahwa hanya pejabat pimpinan tinggi madya saja yang bisa menjadi Penjabat Gubernur. Bagaimana mungkin kemudian perwira tinggi Polri aktif bisa disetarakan dengan pimpinan tinggi madya dan ini terkesan dipaksakan," ujar Pangi kepada SINDOnews, Jumat (22/6/2018).
Pangi menduga, Mendagri melanggar peraturan dan regulasi yang dibuat sendiri, keputusan menteri yang mengejutkan yaitu Penjabat Gubernur dijabat perwira tinggi (Pati) Polri. Pertanyaannya apakah memang betul tidak ada lagi pejabat karir dan profesional di Kemendagri dan pejabat tingkat provinsi mengisi posisi pos Pj Gubernur.
Dia menjelaskan, dalam Permendagri Nomor 74 Tahun 2016, Pasal 4 ayat (2), menyebutkan Penjabat Gubernur harus diisi pejabat pimpinan tinggi madya Kemendagri atau pemerintah provinsi. Selanjutnya jabatan pelaksana tugas atau Pj Gubernur harus berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya yang berasal dari kalangan sipil sebagaimana diatur di dalam Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada.
Menurutnya, alasan Tjahjo sebelumnya menempatkan Pati Polri sebagai Pj Gubernur di Jawa Barat diperbolehkan. Pertama karena pilkada serentak di 17 provinsi sehingga menyebabkan persediaan pejabat tinggi pimpinan madya di Kemendagri habis. Kedua, Jawa Barat merupakan daerah dengan jumlah pemilih terbesar di Jawa dan di pulau Sumatera yang rawan konflik (chaos) sehingga menempatkan pati Polri sebagai Pj Gubernur merupakan pilihan terbaik.
"Memang itu hak prerogatif dari Mendagri, namun jangan sampai terkesan pemerintah suka-suka dalam mengelola negara, dan dikelola secara amatiran. Mengelola negara harus berbasiskan koridor hukum dan sesuai aturan main konstitusi, bukan regulasi yang dilanggar sesuka hati," tegasnya.
Masih kata dia, akibat dari penunjukan ini jangan sampai terkesan Polri terjebak dalam politik praktis. Kecurigaan itu pantas dan kira-kira wajar-wajar saja (seun seun). Karenanya, harapan publik tetap meminta agar TNI dan Polri netral sebagai prajurit aktif menjaga trayek (khitah) sebagai prajurit profesional bukan prajurit pretorian atau prajurit kuda besi.
Dia pun meminta masyarakat mengawasi TNI dan Polri agar tidak diseret-seret ke gelanggang ranah politik praktis. Sebab sudah ada sinyal dan koding dugaan ke arah sana, ada risiko yang tak main-main yaitu mengganggu kualitas demokrasi itu sendiri (fair play).
Pangi memandang semua masyarakat ingin memastikan jangan sampai demokrasi dan pilkada dibajak oleh oknum yang punya niat untuk curang dalam kontestasi elektoral Pilkada Serentak 2018. Baginya, jika polisi dan tentara sudah jadi rebutan lapak politisi, ini jelas membahayakan demokrasi kita.
Ditambahkannya, konsekuensi dihapusnya dwifungsi ABRI, memastikan netralitas Polri yang bertanggung jawab terhadap keamanan negara. Reformasi yang telah berhasil memisahkan dan menjaga netralitas kedua institusi tersebut jangan digoda-goda terjun ke politik praktis.
"Para kontestan baik calon bupati, wali kota dan gubernur jangan salahkan mereka nanti menolak hasil proses pemilu karena tidak menjunjung semangat jujur dan adil (jurdil). Jangan paksa dan berharap mereka menerima hasil dengan legowo, apabila diduga ada yang ganjil dan tak beres dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018," pungkasnya.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai, Mendagri telah melanggar kontitusi dan menciderai Undang-Undang Pilkada dengan melantik Pati Polri yang akrab disapa Iwan Bule tersebut.
"Ketentuan UU Pilkada telah diatur secara limitatif bahwa hanya pejabat pimpinan tinggi madya saja yang bisa menjadi Penjabat Gubernur. Bagaimana mungkin kemudian perwira tinggi Polri aktif bisa disetarakan dengan pimpinan tinggi madya dan ini terkesan dipaksakan," ujar Pangi kepada SINDOnews, Jumat (22/6/2018).
Pangi menduga, Mendagri melanggar peraturan dan regulasi yang dibuat sendiri, keputusan menteri yang mengejutkan yaitu Penjabat Gubernur dijabat perwira tinggi (Pati) Polri. Pertanyaannya apakah memang betul tidak ada lagi pejabat karir dan profesional di Kemendagri dan pejabat tingkat provinsi mengisi posisi pos Pj Gubernur.
Dia menjelaskan, dalam Permendagri Nomor 74 Tahun 2016, Pasal 4 ayat (2), menyebutkan Penjabat Gubernur harus diisi pejabat pimpinan tinggi madya Kemendagri atau pemerintah provinsi. Selanjutnya jabatan pelaksana tugas atau Pj Gubernur harus berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya yang berasal dari kalangan sipil sebagaimana diatur di dalam Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada.
Menurutnya, alasan Tjahjo sebelumnya menempatkan Pati Polri sebagai Pj Gubernur di Jawa Barat diperbolehkan. Pertama karena pilkada serentak di 17 provinsi sehingga menyebabkan persediaan pejabat tinggi pimpinan madya di Kemendagri habis. Kedua, Jawa Barat merupakan daerah dengan jumlah pemilih terbesar di Jawa dan di pulau Sumatera yang rawan konflik (chaos) sehingga menempatkan pati Polri sebagai Pj Gubernur merupakan pilihan terbaik.
"Memang itu hak prerogatif dari Mendagri, namun jangan sampai terkesan pemerintah suka-suka dalam mengelola negara, dan dikelola secara amatiran. Mengelola negara harus berbasiskan koridor hukum dan sesuai aturan main konstitusi, bukan regulasi yang dilanggar sesuka hati," tegasnya.
Masih kata dia, akibat dari penunjukan ini jangan sampai terkesan Polri terjebak dalam politik praktis. Kecurigaan itu pantas dan kira-kira wajar-wajar saja (seun seun). Karenanya, harapan publik tetap meminta agar TNI dan Polri netral sebagai prajurit aktif menjaga trayek (khitah) sebagai prajurit profesional bukan prajurit pretorian atau prajurit kuda besi.
Dia pun meminta masyarakat mengawasi TNI dan Polri agar tidak diseret-seret ke gelanggang ranah politik praktis. Sebab sudah ada sinyal dan koding dugaan ke arah sana, ada risiko yang tak main-main yaitu mengganggu kualitas demokrasi itu sendiri (fair play).
Pangi memandang semua masyarakat ingin memastikan jangan sampai demokrasi dan pilkada dibajak oleh oknum yang punya niat untuk curang dalam kontestasi elektoral Pilkada Serentak 2018. Baginya, jika polisi dan tentara sudah jadi rebutan lapak politisi, ini jelas membahayakan demokrasi kita.
Ditambahkannya, konsekuensi dihapusnya dwifungsi ABRI, memastikan netralitas Polri yang bertanggung jawab terhadap keamanan negara. Reformasi yang telah berhasil memisahkan dan menjaga netralitas kedua institusi tersebut jangan digoda-goda terjun ke politik praktis.
"Para kontestan baik calon bupati, wali kota dan gubernur jangan salahkan mereka nanti menolak hasil proses pemilu karena tidak menjunjung semangat jujur dan adil (jurdil). Jangan paksa dan berharap mereka menerima hasil dengan legowo, apabila diduga ada yang ganjil dan tak beres dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018," pungkasnya.
(kri)