Membaca Peluang Anies dan Gatot Jadi Capres Alternatif

Minggu, 10 Juni 2018 - 20:32 WIB
Membaca Peluang Anies dan Gatot Jadi Capres Alternatif
Membaca Peluang Anies dan Gatot Jadi Capres Alternatif
A A A
JAKARTA - Dua nama kuat diprediksi akan kembali bertarung di Pemilu Presiden (Pilpres) 2019, yaitu Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai incumbent dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. Kubu pendukung Jokowi menyatakan sudah siap rematch dengan mantan Danjen Kopassus itu tahun depan. Begitu pun kubu Prabowo yang tak mau kalah gertak.

Adu kuat sudah terjadi di sosial media antar kedua pendukung, yang berdampak pada kegaduhan di dunia maya hingga aksi saling lapor akibat “perbuatan tidak menyenangkan” dari kedua kubu. Di tengah riuh rendah di atas, menguatnya popularitas hastag #2019GantiPresiden menunjukkan masyarakat ingin pilihan alternatif dari dua kubu yang ada.

Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Zaenal A Budiyono mengatakan hastag tersebut tidak bisa lagi diklaim milik pendukung Prabowo, karena sebagian besar aktivis di belakang #2019GantiPresiden justru figur alternatif. Mereka tampaknya punya hitungan matematis mengenai kemungkinan Pilpres 2019 nanti.

"Jika mereka mendukung Prabowo, hastagnya seharusnya langsung menguatkan nama Ketua Umum Partai Gerindra, sehingga berdampak pada penguatan elektabilitas Prabowo. Pasalnya karakteristik 'pesan' dalam komunikasi politik sangat menentukan peluang kandidat," ujarnya kepada SINDOnews, Minggu (10/9/2018).

Lalu bila gerakan #2019GantiPresiden membuka nama alternatif lantas siapa yang terkuat? Zaenalnya mengungkapkan setidaknya ada dua nama yang bisa dikatakan dekat secara politik dengan gerakan ini, yaitu Gatot Nurmantyo dan Anies Baswedan.

Dia menilai, Gatot memiliki modal sebagai mantan Panglima TNI, sementara Anies cukup banyak yang bisa dijual selama menjabat Gubernur DKI Jakarta. Lalu siapa yang paling berpeluang diantara keduanya?

"Sejak Pilpres langsung 2004, kita masuk ke dalam era demokrasi media. Ini bukan term akademik, melainkan fenomena empirik yang terjadi di Indonesia. SBY dan Jokowi—dua presiden hasil pilpres langsung memiliki banyak perbedaan. Namun persamaannya, keduanya mampu memanfaatkan media secara baik—yang pada akhirnya menghasilkan dampak elektoral."

"SBY dikenal sebagai sosok yang cakap saat berbicara di media. Sementara Jokowi membawa media terus memburunya karena aksi-aksinya di lapangan yang berbeda dari banyak politisi lainnya," sambung Dosen FISIP Universitas Al Azhar Indonesia ini.

Semakin ke sini, kata Zaenal, demokrasi media tak hanya menjual kemasan (pencitraan), sebaliknya masyarakat mulai menuntut substansi. Setidaknya itu yang terlihat pada Pilgub DKI Jakarta 2017, dimana debat menjadi titik tolak meroketnya elektabilitas Anies Baswedan, setelah selalu tertinggal dari Ahok dalam beberapa bulan sebelumnya.

Menurutnya debat masih akan memberi pengaruh signifikan terhadap elektabilitas kandidat di Pilpres 2019. Dalam kasus Gatot Vs Anies, tanpa mengecilkan kemampuan debat Gatot, Dia melihat Anies sedikit lebih unggul.

"Rekam jejak Anies di dunia aktivis, akademisi hingga politisi dan birokrat sangat dekat dengan tradisi debat. Sementara Gatot dengan latar belakang militer justru lebih dekat dengan tradisi komando. Kesimpulannya, sebagai aktivis Anies sedikit diuntungkan dengan sistem pemilihan langsung," Jelasnya.

Tidak hanya dalam konteks demokrasi media, lanjut Zaenal, kinerja Anies selama memimpin Jakarta juga tak bisa dipandang sebelah mata. Ia bahkan sudah menyamai keberanian Ahok dalam menantang pemain-pemain lama di Ibu Kota.

"Mulai dari menutup Alexis, menginvestigasi gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, hingga menghentikan proyek ratusan triliun, Reklamasi Teluk Jakarta. Semuanya adalah kasus-kasus raksasa yang tak mudah dilakukan oleh pemimpin kelas medioker," kata dia.

Gatot bukan tidak punya prestasi selama di Panglima TNI, namun sejauh ini dinilainya tidak ada yang benar-benar monumental dan membekas di benak publik. "Saya sebenarnya sangat tertarik dengan strategi pertahanan ala Pak Gatot yang berbasis perang memperebutkan sumber pangan dan proxy war. Ini merupakan pemikiran beyond military yang luar biasa. Namun konsep besar tersebut sepertinya belum tuntas dijalankan saat Gatot di pucuk pimpinan TNI," pungkasnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5839 seconds (0.1#10.140)