Polemik Kenaikan Tunjangan

Kamis, 07 Juni 2018 - 07:00 WIB
Polemik Kenaikan Tunjangan
Polemik Kenaikan Tunjangan
A A A
Kenaikan pendapatan operasional bagi personel bintara pembina desa (babinsa) TNI di seluruh Indonesia sebesar 771% dan kenaikan tunjangan kinerja (tukin) bagi personel TNI/Polri adalah kabar yang meng­gembirakan. Kenaikan ini akan berlaku mulai bulan depan. Di bulan depan juga akan ada gaji ke-13. Sebelumnya pegawai negeri sipil (PNS) mendapat tunjangan hari raya (THR). Sekali lagi, ini adalah kabar gembira bagi personel TNI/Polri dan para PNS.

Melihat rendahnya tunjangan personel babinsa, wajar jika perlu ada kenaikan tunjangan sehingga diharapkan meningkatkan kinerja mereka. Gaji operasional terendah babinsa hanya Rp310.000 per bulan, dengan kenaikan ini mereka akan mendapatkan Rp2.700.00. Untuk gaji tertinggi akan dinaikkan dari Rp1.335.000 menjadi Rp3.600.000. Pemerintah beralasan kenaikan tunjangan tersebut karena babinsa bekerja di pelosok-pelosok Tanah Air. Selain itu, mereka menjadi garda terdepan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Namun, lagi-lagi kebijakan ini dinilai politis oleh berbagai pihak, terutama kelompok oposisi pemerintah. Semenjak adanya THR bagi PNS hingga kemarin kenaikan tunjangan personel babinsa dan TNI/Polri dianggap langkah politik pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk Pemilihan Presiden 2019 nanti. Sederhananya, kebijakan pemerintah menaikkan tunjangan di atas untuk menarik simpati masyarakat. Oposisi pemerintah mempertanyakan kenapa kenaikan baru dilakukan sekarang, tidak sebelumnya. Namun dalam kesempatan yang sama dengan pengumuman kenaikan tunjangan, pemerintah membantah ada niat politis dalam kebijakan tersebut. Bahkan Presiden Jokowi mengatakan personel TNI/Polri tidak melakukan politik praktis.

Lalu mana yang benar? Kelompok masyarakat yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintahan tentu sepakat bahwa ini adalah langkah politik dari Presiden Jokowi. Namun, bagi masyarakat yang sejalan dengan kebijakan pemerintah menganggap apa yang telah dilakukan pemerintah bentuk kepedulian terhadap rakyat. Memang, setahun menjelang Pemilu 2019 ini ada dua arus besar di dalam masyarakat. Satu kelompok menginginkan Presiden Jokowi tidak mene­ruskan pemerintahannya pada 2019 nanti, satunya lagi meng­inginkan mantan wali kota Solo itu melanjutkan pemerintahan ke periode kedua. Perang komentar di dunia media sosial atau bahkan di obrolan sehari-hari selalu terjadi. Tentu harapan kita, perbedaan pandangan ini tidak menjadikan perseteruan yang mengarah ke hal-hal negatif. Kita berharap perbedaan pendapat ini masih dalam koridor demokrasi.

Tentang polemik kenaikan tunjangan, kelompok oposisi pun tidak salah. Karena dengan kondisi menjelang Pemilu 2019 apa pun kebijakan pemerintah akan dianggap sebagai politis. Bukankah ini yang terus dilakukan oleh oposisi ketika melawan incumbent pada pemilu-pemilu sebelumnya? Bak irama, itu adalah irama yang wajar dan boleh dikatakan lagu lama. Jadi, pemerintah sebenarnya tidak perlu risau dengan kritikan tersebut. Memang benar pertanyaan para oposan, kenapa kenaikan tidak dilakukan secara bertahap tiap tahunnya? Apalagi kenaikan sekaligus tahun begitu fantastis sehingga memunculkan kecurigaan dari kelompok oposisi.

Begitu juga dengan jawaban dari pemerintah, bak irama lama atau lagu lama. Pemerintah akan membantah bahwa itu tidak berkaitan dengan politik. Pun pemerintah tidak bisa disalahkan karena memang yang mempunyai kewenangan kebijakan adalah pemerintah. Toh, bukannya juga kenaikan tunjangan ini pasti sudah dikonsultasikan dengan parlemen (termasuk kelompok oposisi). Artinya ada peran kelompok oposisi dalam kenaikan tunjangan ini. Kenapa proses pengajuan kenaikan tunjangan ini tidak dipersoalkan jauh-jauh hari sebelumnya?

Selamat datang di perang komentar menjelang Pemilu 2019. Kondisi ini akan terus berlangsung hingga pasca-Pemilu 2019. Sekali lagi, perbedaan pandangan adalah hal yang lumrah dalam demokrasi. Menjadi tidak lumrah ketika norma-norma dan etika berpolitik telah ditabrak. Masyarakat pun bisa belajar dengan perang komentar selama ini, sehingga para hari-hari ke depan semakin bijak menyikapi polemik kebijakan atau perang komentar menjelang Pemilu 2019.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1591 seconds (0.1#10.140)