Dinilai Ada Pelanggaran Hukum di Kasus Edward Soeryadjaya
A
A
A
JAKARTA - Setara Institute menilai telah terjadi pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang dipakukan penegak hukum terhadap pengusaha Edward Soeryadjaya.
Bonar Tigor Naipospos, wakil Ketua Setara Institute menegaskan, Edward seharusnya dibebaskan setelah putusan praperadilan menyatakan status tersangka dan surat perintah dimulainya penyidikan (Sprindik) terhadap pengusaha itu gugur demi hukum.
Namun saat ini Edward masih ditahan dan menjalani persidangan. "Yang dilakukan penegak hukum terhadap Edward adalah pelanggaran," kata Bonar, di Jakarta, awal pekan ini.
"Dan pelanggaran ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi setiap warga Negara, terlebih ada pelanggaran hak azasi manusia, ada hak warga negara yang juga ikut dilanggar," tambahnya.
Pendapat senada dilontarkan praktisi hukum Maqdir Ismail. Menurut Maqdir, kasus Edward tidak bisa diadili karena penetapan tersangka atas nama Edward dinyatakan tidak sah oleh praperadilan.
"Kasus ini adalah praktik buruk penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung," kata Maqdir
Maqdir menilai, kasus Edward adalah perkara perdata yang dikriminalisasikan. Praktik buruk mengkorupsikan perkara perdata ini harus dihentikan.
"Ini perkara perdata. Selesaikan secara perdata mengingat aturan dan praktik prejudicial geschil," ujar Maqdir Ismail.
Pernyataan Bonar Tigor dan Maqdir Ismail dilontarkan setelah PN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat melanjutkan sidang korupsi dana pensiun PT Pertamina kendati Edward Soeryadjaya, yang dinyatakan sebagai terdakwa, sudah memenangkan sidang praperadilan beberapa pekan sebelumnya.
PN Tipikor untuk kali pertama membacakan dakwaan kepada Edward pada 16 Mei 2018. Padahal, pada 23 April sebelumnya, sidang praperadilan di PN Jakarta Selatan memutuskan status tersangka Edward dalam kasus ini gugur demi hukum.
Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) yang diterbitkan Kejaksaan Agung terhadap Edward dalam kasus ini juga dinyatakan batal. Hal ini pun mengundang tanya dari kalangan Dewan.
"Ini aneh. Ada apa? Komisi III DPR harus mempertanyakan persoalan ini. Harus dicari tahu kenapa sidang tetap digelar ketika sudah digugurkan praperadilan?" ujar Nasir Djamil, anggota Komisi III DPR.
Kuasa hukum Edward, Bambang Hartono, menyatakan, putusan praperadilan adalah undang-undang yang harus dilaksanakan. Namun, dalam sidang kasus Edward di PN Tipikor Jakarta Pusat, dalam agenda jawaban eksepsi Jaksa, penuntut umum justru mengkoreksi putusan praperadilan kasus Edward dan berkeras tak mau menjalankannya.
Bambang mengaku tengah mempertimbangkan untuk melaporkan aparat hukum yang mengabaikan putusan praperadilan tersebut ke Kepolisian berdasarkan pasal 421 terkait penyalahgunaan kekuasaan. "Itu masukan dari ahli hukum Hamdan Zoelva," ujar Bambang.
Bonar Tigor Naipospos, wakil Ketua Setara Institute menegaskan, Edward seharusnya dibebaskan setelah putusan praperadilan menyatakan status tersangka dan surat perintah dimulainya penyidikan (Sprindik) terhadap pengusaha itu gugur demi hukum.
Namun saat ini Edward masih ditahan dan menjalani persidangan. "Yang dilakukan penegak hukum terhadap Edward adalah pelanggaran," kata Bonar, di Jakarta, awal pekan ini.
"Dan pelanggaran ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi setiap warga Negara, terlebih ada pelanggaran hak azasi manusia, ada hak warga negara yang juga ikut dilanggar," tambahnya.
Pendapat senada dilontarkan praktisi hukum Maqdir Ismail. Menurut Maqdir, kasus Edward tidak bisa diadili karena penetapan tersangka atas nama Edward dinyatakan tidak sah oleh praperadilan.
"Kasus ini adalah praktik buruk penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung," kata Maqdir
Maqdir menilai, kasus Edward adalah perkara perdata yang dikriminalisasikan. Praktik buruk mengkorupsikan perkara perdata ini harus dihentikan.
"Ini perkara perdata. Selesaikan secara perdata mengingat aturan dan praktik prejudicial geschil," ujar Maqdir Ismail.
Pernyataan Bonar Tigor dan Maqdir Ismail dilontarkan setelah PN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat melanjutkan sidang korupsi dana pensiun PT Pertamina kendati Edward Soeryadjaya, yang dinyatakan sebagai terdakwa, sudah memenangkan sidang praperadilan beberapa pekan sebelumnya.
PN Tipikor untuk kali pertama membacakan dakwaan kepada Edward pada 16 Mei 2018. Padahal, pada 23 April sebelumnya, sidang praperadilan di PN Jakarta Selatan memutuskan status tersangka Edward dalam kasus ini gugur demi hukum.
Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) yang diterbitkan Kejaksaan Agung terhadap Edward dalam kasus ini juga dinyatakan batal. Hal ini pun mengundang tanya dari kalangan Dewan.
"Ini aneh. Ada apa? Komisi III DPR harus mempertanyakan persoalan ini. Harus dicari tahu kenapa sidang tetap digelar ketika sudah digugurkan praperadilan?" ujar Nasir Djamil, anggota Komisi III DPR.
Kuasa hukum Edward, Bambang Hartono, menyatakan, putusan praperadilan adalah undang-undang yang harus dilaksanakan. Namun, dalam sidang kasus Edward di PN Tipikor Jakarta Pusat, dalam agenda jawaban eksepsi Jaksa, penuntut umum justru mengkoreksi putusan praperadilan kasus Edward dan berkeras tak mau menjalankannya.
Bambang mengaku tengah mempertimbangkan untuk melaporkan aparat hukum yang mengabaikan putusan praperadilan tersebut ke Kepolisian berdasarkan pasal 421 terkait penyalahgunaan kekuasaan. "Itu masukan dari ahli hukum Hamdan Zoelva," ujar Bambang.
(maf)