Remaja pada Problem Sosial
A
A
A
Dalam beberapa hari ini kita dikejutkan dengan aksi-aksi para kelompok remaja yang justru meresahkan masyarakat. Di Depok, Jawa Barat beberapa waktu lalu kelompok remaja melakukan tawuran. Tawuran yang terjadi di Tugu AMD, Jalan Raya Arco, Bojongsari, Kota Depok mengakibatkan satu orang terluka.
Kasus ini dipicu aksi “perang” kata di WhatsApp. Ulah para remaja yang meresahkan juga terjadi di Tangerang Selatan (Tangsel), Banten. Tawuran dua kelompok remaja dari Geng Cepot melawan Geng Monas pecah di Jalan Cirendeu Raya, Ciputat.
Dalam peristiwa itu, pergelangan tangan Muhamad Zaelani, 21, warga Jalan Gunung Indah VI, RT/RW 002/003, Cirendeu, Ciputat putus disabet celurit saat duel dengan pemuda yang menjadi lawannya. Belum lagi di Bandung, seorang remaja mengacungkan pedang di jalan raya hingga meresahkan warga pengguna jalan.
Peristiwa-peristiwa di atas semakin membuat kita miris karena terjadi di saat bulan Ramadan. Bulan yang semestinya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang lebih positif (bukan berarti bulan lainnya tidak diisi dengan kegiatan positif). Dan, ini dilakukan oleh kalangan remaja yang akan menjadi generasi masa depan di lingkungan keluarga dan bangsa ini.
Sebagian pihak mungkin mengatakan hal itu sebagai kenakalan remaja, namun tampaknya peristiwa di atas sudah kelewat batas dari kenakalan remaja biasa. Para remaja yang melakukan tindakan-tindakan di atas harus benar-benar mendapat ganjaran hukuman yang setimpal sesuai undang-undang yang berlaku.
Inilah salah satu problem sosial bagi bangsa ini. Tawuran remaja hingga penyalahgunaan narkoba adalah problem sosial di kalangan remaja yang sepertinya sulit diatasi. Perlu upaya berbagai pihak untuk bisa mengentaskan persoalan ini.
Parahnya, biasanya problem sosial di kalangan remaja di atas justru terjadi di kalangan masyarakat yang memiliki ekonomi di bawah rata-rata yang hidup di kota-kota besar di Indonesia.
Kita jarang mendengar atau melihat kasus-kasus di atas terjadi di masyarakat dengan ekonomi di bawah rata-rata yang hidup di kota-kota kecil atau di sebuah kabupaten di Indonesia. Problem sosial remaja berupa tawuran dan penyalahgunaan narkoba justru banyak di kota-kota besar atau daerah-daerah yang tengah menuju kota besar.
Bisa jadi, problem sosial di kalangan remaja terjadi karena harapan sosial keluarga tidak sesuai dengan realita yang terjadi di kota-kota besar. Jika diurut lagi ini adalah persoalan urbanisasi. Kota-kota besar atau beranjak menjadi kota besar dianggap sebagai gula ekonomi bagi masyarakat desa.
Harapannya tentu dengan pindah ke kota ekonomi keluarga atau seseorang akan meningkat. Kota-kota besar dianggap akan menyediakan lapangan pekerjaan yang mudah. Selain mudah, kota besar dianggap akan menyediakan penghasilan yang besar sehingga banyak pihak yang ingin pindah ke kota besar. Padahal, tanpa modal keahlian dan ketekunan, harapan itu justru bisa menjadi petaka atau masalah.
Lalu, apakah problem sosial hanya disebabkan oleh para pendatang? Tentu bukan. Karena, penduduk asli pun bisa mengalami hal yang sama. Poinnya bukan pada penduduk pendatang atau asli. Namun, pada kesenjangan antara harapan dan realita di daerah tersebut.
Nah, pertumbuhan ekonomi di kota besar harus pula diikuti dengan perkembangan kemampuan bagi masyarakat. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM) ini harus seiring dengan kondisi ekonomi yang terjadi. Jika tidak, akan ada disparitas antara harapan dan realitas. Inilah yang memunculkan problem sosial, termasuk apa yang dialami oleh para remaja di atas.
Harus ada pemahaman pada pemerintah dan keluarga tentang disparitas harapan dan realitas. Pemerintah harus bisa mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bermuara pada pengurangan disparitas ini. Dan, keluarga tentunya harus menyadari bahwa harapan tidak seindah realitas. Jika ini tidak disadari oleh keluarga atau seseorang, justru akan memunculkan persoalan sosial.
Keluarga terkena persoalan sosial karena orang tua harus terus mengejar kebutuhan materi sehingga pengawasan sosial kepada anggota keluarga menjadi kendur. Hidup di lingkungan yang tidak bisa menyalurkan energi positif anggota-anggota keluarga juga menjadi pemicu persoalan ini.
Kasus ini dipicu aksi “perang” kata di WhatsApp. Ulah para remaja yang meresahkan juga terjadi di Tangerang Selatan (Tangsel), Banten. Tawuran dua kelompok remaja dari Geng Cepot melawan Geng Monas pecah di Jalan Cirendeu Raya, Ciputat.
Dalam peristiwa itu, pergelangan tangan Muhamad Zaelani, 21, warga Jalan Gunung Indah VI, RT/RW 002/003, Cirendeu, Ciputat putus disabet celurit saat duel dengan pemuda yang menjadi lawannya. Belum lagi di Bandung, seorang remaja mengacungkan pedang di jalan raya hingga meresahkan warga pengguna jalan.
Peristiwa-peristiwa di atas semakin membuat kita miris karena terjadi di saat bulan Ramadan. Bulan yang semestinya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang lebih positif (bukan berarti bulan lainnya tidak diisi dengan kegiatan positif). Dan, ini dilakukan oleh kalangan remaja yang akan menjadi generasi masa depan di lingkungan keluarga dan bangsa ini.
Sebagian pihak mungkin mengatakan hal itu sebagai kenakalan remaja, namun tampaknya peristiwa di atas sudah kelewat batas dari kenakalan remaja biasa. Para remaja yang melakukan tindakan-tindakan di atas harus benar-benar mendapat ganjaran hukuman yang setimpal sesuai undang-undang yang berlaku.
Inilah salah satu problem sosial bagi bangsa ini. Tawuran remaja hingga penyalahgunaan narkoba adalah problem sosial di kalangan remaja yang sepertinya sulit diatasi. Perlu upaya berbagai pihak untuk bisa mengentaskan persoalan ini.
Parahnya, biasanya problem sosial di kalangan remaja di atas justru terjadi di kalangan masyarakat yang memiliki ekonomi di bawah rata-rata yang hidup di kota-kota besar di Indonesia.
Kita jarang mendengar atau melihat kasus-kasus di atas terjadi di masyarakat dengan ekonomi di bawah rata-rata yang hidup di kota-kota kecil atau di sebuah kabupaten di Indonesia. Problem sosial remaja berupa tawuran dan penyalahgunaan narkoba justru banyak di kota-kota besar atau daerah-daerah yang tengah menuju kota besar.
Bisa jadi, problem sosial di kalangan remaja terjadi karena harapan sosial keluarga tidak sesuai dengan realita yang terjadi di kota-kota besar. Jika diurut lagi ini adalah persoalan urbanisasi. Kota-kota besar atau beranjak menjadi kota besar dianggap sebagai gula ekonomi bagi masyarakat desa.
Harapannya tentu dengan pindah ke kota ekonomi keluarga atau seseorang akan meningkat. Kota-kota besar dianggap akan menyediakan lapangan pekerjaan yang mudah. Selain mudah, kota besar dianggap akan menyediakan penghasilan yang besar sehingga banyak pihak yang ingin pindah ke kota besar. Padahal, tanpa modal keahlian dan ketekunan, harapan itu justru bisa menjadi petaka atau masalah.
Lalu, apakah problem sosial hanya disebabkan oleh para pendatang? Tentu bukan. Karena, penduduk asli pun bisa mengalami hal yang sama. Poinnya bukan pada penduduk pendatang atau asli. Namun, pada kesenjangan antara harapan dan realita di daerah tersebut.
Nah, pertumbuhan ekonomi di kota besar harus pula diikuti dengan perkembangan kemampuan bagi masyarakat. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM) ini harus seiring dengan kondisi ekonomi yang terjadi. Jika tidak, akan ada disparitas antara harapan dan realitas. Inilah yang memunculkan problem sosial, termasuk apa yang dialami oleh para remaja di atas.
Harus ada pemahaman pada pemerintah dan keluarga tentang disparitas harapan dan realitas. Pemerintah harus bisa mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bermuara pada pengurangan disparitas ini. Dan, keluarga tentunya harus menyadari bahwa harapan tidak seindah realitas. Jika ini tidak disadari oleh keluarga atau seseorang, justru akan memunculkan persoalan sosial.
Keluarga terkena persoalan sosial karena orang tua harus terus mengejar kebutuhan materi sehingga pengawasan sosial kepada anggota keluarga menjadi kendur. Hidup di lingkungan yang tidak bisa menyalurkan energi positif anggota-anggota keluarga juga menjadi pemicu persoalan ini.
(nag)