Elektabilitas Jokowi dan Prabowo Belum Terkejar
A
A
A
JAKARTA - Dominasi nama Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto hingga kini belum terkejar sebagai kandidat calon presiden (capres) yang bakal bersaing pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Sejumlah nama lain yang muncul ke permukaan seperti Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo, Anies Rasyid Baswedan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan nama-nama lain belum mampu mengejar elektabilitas dua tokoh tersebut.
Seperti hasil survei nasional terbaru yang dirilis Alvara Research Center. Dalam survei yang dilakukan pada 20 April-9 Mei 2018 itu, elektabilitas Jokowi stabil pada kisaran angka 46,8%, sementara Prabowo Subianto meraih 27,2%. Jika pertarungan head to head, Jokowi meraih 52,3% sedangkan Prabowo 33,6%, dan lainnya 14,1% belum memutuskan.
"Sementara nama-nama lain yang muncul seperti Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, AHY, dan lainnya relatif masih sangat rendah, hanya berkisar di satu hingga dua digit," ujar Founder dan CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali saat merilis hasil survei nasional bertajuk "Menuju Pilpres 2019: Mencari Penantang Jokowi" di Jakarta, Minggu (27/5/2018).
Dari sisi popularitas, angka popularitas Jokowi juga cukup tinggi yakni mencapai 95,8%, sedangkan popularitas Prabowo Subianto di urutan runner up pada persentase 91,1%. Ketika head to head dengan nama kandidat mana pun, Jokowi belum terkalahkan.
Hasil survei Alvara yang menempatkan Jokowi dan Prabowo di posisi teratas ini juga hampir mirip dengan hasil survei dua lembaga survei lain yang dirilis belum lama ini. Survei Charta Politika Indonesia yang dilakukan pada 13-19 April 2018 juga menempatkan nama Jokowi di urutan teratas dengan meraih 51,2%, disusul Prabowo Subianto di urutan 23,3%. Sementara hasil survei Indo Barometer yang dilakukan pada 15-22 April 2018, Jokowi meraih 40,7%, sementara Prabowo Subianto berada di urutan kedua pada angka 19,7%.
Kendati begitu, menurut Hasanuddin, ada hal yang harus menjadi perhatian serius Jokowi sebagai calon petahana (incumbent) sebab tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pasangan Jokowi-JK ternyata menurun sekitar 3,5% dari survei yang dilakukan Alvara pada Februari 2018. Sebelumnya tingkat kepuasan publik mencapai 68,8%, kini turun menjadi 65,9%. "Memang Pak Jokowi relatif belum terkejar dibanding kandidat lain, namun sinyal awal yang menarik tingkat kepuasan publik terhadap kepuasan kinerja Jokowi menurun dibanding survei kita sebelumnya pada Februari lalu," katanya.
Penurunan tingkat kepuasannya ini diikuti penurunan tingkat keinginan publik untuk memilih kembali Jokowi sebagai presiden. "Itu menunjukkan sinyal awal yang harus diantisipasi serius Jokowi jika ingin running di 2019," tuturnya.
Titik lemah kinerja pemerintahan Jokowi-JK yang menimbulkan penurunan tingkat kepuasan yakni dalam persoalan ekonomi, ketenagakerjaan, stabilitas harga bahan pokok, dan soal ekonomi secara keseluruhan. Namun, Hasanuddin mengatakan, karena waktu pendaftaran capres-cawapres masih cukup panjang hingga Agustus 2018, segala kemungkinan masih mungkin terjadi.
Semua nama calon yang muncul saat ini masih mempunyai peluang untuk bersaing di pilpres, termasuk kemungkinan muncul nama calon alternatif dari poros ketiga. "Tapi, kalau kita lihat sampai hari ini, memang hanya Pak Prabowo yang memiliki kans untuk menjadi penantang Jokowi," tuturnya.
Bagaimana dengan kemungkinan Prabowo Subianto hanya sebagai king maker? Hasanuddin mengatakan, dari hasil survei berdasarkan citra, nama Prabowo dan Gatot Nurmantyo mempunyai kemiripan. Keduanya dipersepsikan sebagai tokoh yang memiliki ketegasan dan berlatar belakang militer. "Kalau melihat hasil surveinya, orang melihat Pak Gatot dengan Pak Prabowo sama saja. Jadi kemungkinan (Prabowo) menjadi king maker untuk dialihkan ke orang lain masih mungkin saja," tuturnya.
Terpisah, Gatot Nurmantyo yang namanya kerap muncul dalam sejumlah survei dan angkanya tergolong masih tinggi di bawah Jokowi dan Prabowo Subianto mengaku, pihaknya terus melakukan komunikasi politik dengan sejumlah parpol seperti PKS, PAN, dan Gerindra. Bagaimana dengan Partai Demokrat? Gatot mengaku komunikasi dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) cukup baik. "Saya selalu komunikasi dengan Demokrat. Yang jadikan saya KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) Pak SBY kok. Hahaha...," ungkapnya.
Gatot mengakui hingga kini belum memiliki kendaraan politik untuk maju dalam Pilpres 2019. Namun, dia memastikan bahwa pada Pilpres 2019, dirinya optimistis bakal ikut bersaing. "Pasti ikut lah," ujarnya di sela dialog kebangsaan bertema "Umat Islam dan Masa Depan Persatuan Indonesia" yang digelar Keluarga Alumni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KA KAMMI) di Jakarta, Jumat (25/5) malam.
Menurut Gatot, saat ini peta politik masih sangat cair sehingga segala kemungkinan masih akan terjadi. "Politik ini kan cair. Kita yakin. Kita tunggu aja. Berdoa. Yang menentukan finalnya adalah 10 Agustus jam 23.59," katanya.
Disinggung elektabilitasnya yang cukup lumayan dibanding nama-nama lain selain Jokowi dan Prabowo, Gatot mengatakan, dirinya tidak mau takabur.
Seperti hasil survei nasional terbaru yang dirilis Alvara Research Center. Dalam survei yang dilakukan pada 20 April-9 Mei 2018 itu, elektabilitas Jokowi stabil pada kisaran angka 46,8%, sementara Prabowo Subianto meraih 27,2%. Jika pertarungan head to head, Jokowi meraih 52,3% sedangkan Prabowo 33,6%, dan lainnya 14,1% belum memutuskan.
"Sementara nama-nama lain yang muncul seperti Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, AHY, dan lainnya relatif masih sangat rendah, hanya berkisar di satu hingga dua digit," ujar Founder dan CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali saat merilis hasil survei nasional bertajuk "Menuju Pilpres 2019: Mencari Penantang Jokowi" di Jakarta, Minggu (27/5/2018).
Dari sisi popularitas, angka popularitas Jokowi juga cukup tinggi yakni mencapai 95,8%, sedangkan popularitas Prabowo Subianto di urutan runner up pada persentase 91,1%. Ketika head to head dengan nama kandidat mana pun, Jokowi belum terkalahkan.
Hasil survei Alvara yang menempatkan Jokowi dan Prabowo di posisi teratas ini juga hampir mirip dengan hasil survei dua lembaga survei lain yang dirilis belum lama ini. Survei Charta Politika Indonesia yang dilakukan pada 13-19 April 2018 juga menempatkan nama Jokowi di urutan teratas dengan meraih 51,2%, disusul Prabowo Subianto di urutan 23,3%. Sementara hasil survei Indo Barometer yang dilakukan pada 15-22 April 2018, Jokowi meraih 40,7%, sementara Prabowo Subianto berada di urutan kedua pada angka 19,7%.
Kendati begitu, menurut Hasanuddin, ada hal yang harus menjadi perhatian serius Jokowi sebagai calon petahana (incumbent) sebab tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pasangan Jokowi-JK ternyata menurun sekitar 3,5% dari survei yang dilakukan Alvara pada Februari 2018. Sebelumnya tingkat kepuasan publik mencapai 68,8%, kini turun menjadi 65,9%. "Memang Pak Jokowi relatif belum terkejar dibanding kandidat lain, namun sinyal awal yang menarik tingkat kepuasan publik terhadap kepuasan kinerja Jokowi menurun dibanding survei kita sebelumnya pada Februari lalu," katanya.
Penurunan tingkat kepuasannya ini diikuti penurunan tingkat keinginan publik untuk memilih kembali Jokowi sebagai presiden. "Itu menunjukkan sinyal awal yang harus diantisipasi serius Jokowi jika ingin running di 2019," tuturnya.
Titik lemah kinerja pemerintahan Jokowi-JK yang menimbulkan penurunan tingkat kepuasan yakni dalam persoalan ekonomi, ketenagakerjaan, stabilitas harga bahan pokok, dan soal ekonomi secara keseluruhan. Namun, Hasanuddin mengatakan, karena waktu pendaftaran capres-cawapres masih cukup panjang hingga Agustus 2018, segala kemungkinan masih mungkin terjadi.
Semua nama calon yang muncul saat ini masih mempunyai peluang untuk bersaing di pilpres, termasuk kemungkinan muncul nama calon alternatif dari poros ketiga. "Tapi, kalau kita lihat sampai hari ini, memang hanya Pak Prabowo yang memiliki kans untuk menjadi penantang Jokowi," tuturnya.
Bagaimana dengan kemungkinan Prabowo Subianto hanya sebagai king maker? Hasanuddin mengatakan, dari hasil survei berdasarkan citra, nama Prabowo dan Gatot Nurmantyo mempunyai kemiripan. Keduanya dipersepsikan sebagai tokoh yang memiliki ketegasan dan berlatar belakang militer. "Kalau melihat hasil surveinya, orang melihat Pak Gatot dengan Pak Prabowo sama saja. Jadi kemungkinan (Prabowo) menjadi king maker untuk dialihkan ke orang lain masih mungkin saja," tuturnya.
Terpisah, Gatot Nurmantyo yang namanya kerap muncul dalam sejumlah survei dan angkanya tergolong masih tinggi di bawah Jokowi dan Prabowo Subianto mengaku, pihaknya terus melakukan komunikasi politik dengan sejumlah parpol seperti PKS, PAN, dan Gerindra. Bagaimana dengan Partai Demokrat? Gatot mengaku komunikasi dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) cukup baik. "Saya selalu komunikasi dengan Demokrat. Yang jadikan saya KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) Pak SBY kok. Hahaha...," ungkapnya.
Gatot mengakui hingga kini belum memiliki kendaraan politik untuk maju dalam Pilpres 2019. Namun, dia memastikan bahwa pada Pilpres 2019, dirinya optimistis bakal ikut bersaing. "Pasti ikut lah," ujarnya di sela dialog kebangsaan bertema "Umat Islam dan Masa Depan Persatuan Indonesia" yang digelar Keluarga Alumni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KA KAMMI) di Jakarta, Jumat (25/5) malam.
Menurut Gatot, saat ini peta politik masih sangat cair sehingga segala kemungkinan masih akan terjadi. "Politik ini kan cair. Kita yakin. Kita tunggu aja. Berdoa. Yang menentukan finalnya adalah 10 Agustus jam 23.59," katanya.
Disinggung elektabilitasnya yang cukup lumayan dibanding nama-nama lain selain Jokowi dan Prabowo, Gatot mengatakan, dirinya tidak mau takabur.
(amm)