KPU Bersama Rakyat

Senin, 28 Mei 2018 - 07:25 WIB
KPU Bersama Rakyat
KPU Bersama Rakyat
A A A
Liska Fauziah
Pegiat Antikorupsi Indonesia Corruption Watch (ICW)

DEMI mendorong Pemilihan Umum 2019 yang lebih demokratis dan berintegritas, belum lama ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengusulkan ketentu­an yang progresif dalam Per­aturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Anggota Legislatif pada Pemilu 2019. Ketentuan tersebut adalah larangan man­tan terpidana kasus korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (caleg).

Sayangnya Dewan Per­wakil­an Rakyat (DPR), Kemen­teri­an Dalam Negeri (Kemen­dagri), dan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) sepakat menolak usul­an KPU tersebut. Penolakan ini ditegaskan dalam rapat dengar pendapat (RDP) di DPR pada Selasa (22/5) lalu.

Berdasarkan hasil pertemuan tersebut di­putuskan mantan narapidana korupsi diperbolehkan meng­ikuti Pemilihan Legislatif 2019 nanti.

DPR menyatakan, tidak ada alasan bahwa mantan nara­pidana kejahatan luar biasa tidak ikut kontestasi ini karena tidak ada aturannya dalam Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Begitu pula ­Kemen­dagri dan Bawaslu sepakat dengan alasan DPR asalkan caleg tersebut meng­akui kepada publik bahwa dirinya pernah menjadi narapidana.

Banyak pihak yang mem­per­tanyakan penolakan DPR, Bawaslu, dan Kemendagri atas usulan KPU yang melarang mantan narapidana korupsi menjadi caleg. Mereka dinilai tidak mendengar harapan ma­syarakat yang sesungguhnya dan tidak bisa mewakili suara masyarakat.

Sikap ini pun menunjukkan ketidakkon­sis­tenan dalam upaya pemerintah memerangi korupsi. Meskipun korupsi dianggap kejahatan yang luar biasa, mereka masih membolehkan koruptor men­jadi caleg.

Koruptor tetaplah korup­tor. Walaupun pelaku telah menye­le­saikan masa hukumannya se­bagai koruptor, peluang untuk melakukannya kembali tentu sangat besar. Apalagi hukuman di negeri ini belum mem­beri­kan efek jera terhadap pelaku korupsi.

Hal ini sudah terbukti dengan beberapa orang yang pernah menjadi narapidana korupsi kemudian kembali melakukan hal yang sama saat menjadi pejabat publik. Istilahnya dalam ilmu hukum adalah residivis korupsi.

Salah satu contoh residivis korupsi adalah Mochammad Basuki, Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur. Pada 6 Juni 2017 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Basuki kare­na terlibat dalam kasus suap pengawasan kegiatan anggar­an dan revisi peraturan daerah di Provinsi Jawa Timur.

Sebe­lumnya pada 2002, ketika men­jadi ketua DPRD Surabaya, Basuki terlibat dalam kasus korupsi tunjangan kesehatan dan biaya operasional DPRD Surabaya yang merugikan ne­gara senilai Rp1,2 miliar. Basuki mendapatkan hukum­an 1 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 1 bulan kurungan.

Kasus lainnya menyeret Abdul Latif, Bupati Hulu Sungai Tengah. Pada 4 Januari 2017 dia terkena operasi tang­kap tangan (OTT) KPK atas kasus suap proyek pem­bangunan RSUD Damanhuri.

Ternyata sebelum­nya Latif tersangkut kasus ko­rupsi pembangunan unit seko­lah baru saat ia menjadi peng­usaha pada 2005-2006. Kala itu ia mendapat hukuman 1 tahun 6 bulan penjara, denda serta uang pengganti.

Kedua kasus tersebut men­jadi bukti nyata bahwa betapa bahayanya mantan nara­pi­dana korupsi kembali diikut­sertakan dalam pemilu atau kelak menjadi pejabat publik. Terutama bagi para calon legislator yang ketika menjabat di parlemen akan sangat ren­tan terhadap perilaku korupsi. Tentu masyarakat tidak ingin residivis korupsi ini terus ber-ulang lagi di masa mendatang.

Sebenarnya KPU hanya ingin menutup celah bagi korup­tor yang akan mengikuti kontestasi elektoral ini. KPU ber­upaya merujuk pada sejum­lah regulasi tentang pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah serta berupaya mem­batasi eksistensi dari para ko­ruptor.

Pasal 169 huruf D UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan bahwa seorang calon presiden dan wakil presiden dipersyaratkan tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya.

Pasal 7 ayat 2 UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Ke­pala Daerah menyatakan bah­wa seorang calon kepala daerah dipersyaratkan tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Seharusnya semangat KPU untuk menyelenggarakan pe­milu yang berintegritas perlu didukung semua pihak. Bukan hanya dari publik, tetapi juga pemerintah dan lembaga ter­kait. Mereka mesti memiliki pan­dangan yang sama. Undang-undang tidak tepat jika dijadikan alasan untuk me­nolak karena hakikatnya Pe­raturan KPU ini dibuat untuk menutupi celah terjadinya korupsi yang berulang.

Upaya masyarakat men­dukung langkah KPU telah ter­bukti dengan adanya petisi dari Koalisi Masyarakat Sipil. Hingga saat ini sedikitnya 67.000 orang menanda­tangani petisi ini di change.org/koruptorkoknyaleg. Petisi ini menunjukkan besar­nya dukungan masyarakat ter­hadap KPU dan besar pula harap­an publik untuk memiliki caleg atau wakil rakyat yang ber­integritas.

Maka dari itu, masyarakat menaruh harapan yang besar kepada KPU untuk tetap me­lanjutkan peraturan tersebut. Hal ini penting karena KPU me­miliki peran besar dalam me­nyaring calon-calon pemimpin antikorupsi. Selain itu per­aturan ini membantu masya­ra­kat dalam memilih calon legislator dan meningkatkan kepercayaan masyarakat ter­hadap para anggota legislatif.

Peraturan ini juga berperan penting bagi partai politik un­tuk menyiapkan kandidatnya yang memiliki rekam jejak yang baik sehingga masyarakat pun yakin bahwa para kandidat ini memiliki latar belakang yang baik pula. Kekhawatiran akan adanya calon yang residivis korupsi akan sirna.

Tak perlu lagi ada keraguan bagi KPU untuk mem­per­tahan­kan aturan tersebut, sebab hasil RDP sesungguhnya bersifat tidak mengikat. Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016. Putusan MK ter­sebut menegaskan bahwa KPU adalah lembaga yang indepen­den, khususnya dalam penyu­sun­an Peraturan KPU.

Langkah progresif dari KPU sangat dinantikan masyarakat. Dukungan publik tentu akan terus mengalir selama KPU mau bersama-sama menjadi­kan kon­­­testasi pemilu yang lebih berintegritas dan demokratis.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7567 seconds (0.1#10.140)