KPU Bersama Rakyat
A
A
A
Liska Fauziah
Pegiat Antikorupsi Indonesia Corruption Watch (ICW)
DEMI mendorong Pemilihan Umum 2019 yang lebih demokratis dan berintegritas, belum lama ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengusulkan ketentuan yang progresif dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Anggota Legislatif pada Pemilu 2019. Ketentuan tersebut adalah larangan mantan terpidana kasus korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (caleg).
Sayangnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) sepakat menolak usulan KPU tersebut. Penolakan ini ditegaskan dalam rapat dengar pendapat (RDP) di DPR pada Selasa (22/5) lalu.
Berdasarkan hasil pertemuan tersebut diputuskan mantan narapidana korupsi diperbolehkan mengikuti Pemilihan Legislatif 2019 nanti.
DPR menyatakan, tidak ada alasan bahwa mantan narapidana kejahatan luar biasa tidak ikut kontestasi ini karena tidak ada aturannya dalam Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Begitu pula Kemendagri dan Bawaslu sepakat dengan alasan DPR asalkan caleg tersebut mengakui kepada publik bahwa dirinya pernah menjadi narapidana.
Banyak pihak yang mempertanyakan penolakan DPR, Bawaslu, dan Kemendagri atas usulan KPU yang melarang mantan narapidana korupsi menjadi caleg. Mereka dinilai tidak mendengar harapan masyarakat yang sesungguhnya dan tidak bisa mewakili suara masyarakat.
Sikap ini pun menunjukkan ketidakkonsistenan dalam upaya pemerintah memerangi korupsi. Meskipun korupsi dianggap kejahatan yang luar biasa, mereka masih membolehkan koruptor menjadi caleg.
Koruptor tetaplah koruptor. Walaupun pelaku telah menyelesaikan masa hukumannya sebagai koruptor, peluang untuk melakukannya kembali tentu sangat besar. Apalagi hukuman di negeri ini belum memberikan efek jera terhadap pelaku korupsi.
Hal ini sudah terbukti dengan beberapa orang yang pernah menjadi narapidana korupsi kemudian kembali melakukan hal yang sama saat menjadi pejabat publik. Istilahnya dalam ilmu hukum adalah residivis korupsi.
Salah satu contoh residivis korupsi adalah Mochammad Basuki, Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur. Pada 6 Juni 2017 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Basuki karena terlibat dalam kasus suap pengawasan kegiatan anggaran dan revisi peraturan daerah di Provinsi Jawa Timur.
Sebelumnya pada 2002, ketika menjadi ketua DPRD Surabaya, Basuki terlibat dalam kasus korupsi tunjangan kesehatan dan biaya operasional DPRD Surabaya yang merugikan negara senilai Rp1,2 miliar. Basuki mendapatkan hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 1 bulan kurungan.
Kasus lainnya menyeret Abdul Latif, Bupati Hulu Sungai Tengah. Pada 4 Januari 2017 dia terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK atas kasus suap proyek pembangunan RSUD Damanhuri.
Ternyata sebelumnya Latif tersangkut kasus korupsi pembangunan unit sekolah baru saat ia menjadi pengusaha pada 2005-2006. Kala itu ia mendapat hukuman 1 tahun 6 bulan penjara, denda serta uang pengganti.
Kedua kasus tersebut menjadi bukti nyata bahwa betapa bahayanya mantan narapidana korupsi kembali diikutsertakan dalam pemilu atau kelak menjadi pejabat publik. Terutama bagi para calon legislator yang ketika menjabat di parlemen akan sangat rentan terhadap perilaku korupsi. Tentu masyarakat tidak ingin residivis korupsi ini terus ber-ulang lagi di masa mendatang.
Sebenarnya KPU hanya ingin menutup celah bagi koruptor yang akan mengikuti kontestasi elektoral ini. KPU berupaya merujuk pada sejumlah regulasi tentang pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah serta berupaya membatasi eksistensi dari para koruptor.
Pasal 169 huruf D UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan bahwa seorang calon presiden dan wakil presiden dipersyaratkan tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya.
Pasal 7 ayat 2 UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah menyatakan bahwa seorang calon kepala daerah dipersyaratkan tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Seharusnya semangat KPU untuk menyelenggarakan pemilu yang berintegritas perlu didukung semua pihak. Bukan hanya dari publik, tetapi juga pemerintah dan lembaga terkait. Mereka mesti memiliki pandangan yang sama. Undang-undang tidak tepat jika dijadikan alasan untuk menolak karena hakikatnya Peraturan KPU ini dibuat untuk menutupi celah terjadinya korupsi yang berulang.
Upaya masyarakat mendukung langkah KPU telah terbukti dengan adanya petisi dari Koalisi Masyarakat Sipil. Hingga saat ini sedikitnya 67.000 orang menandatangani petisi ini di change.org/koruptorkoknyaleg. Petisi ini menunjukkan besarnya dukungan masyarakat terhadap KPU dan besar pula harapan publik untuk memiliki caleg atau wakil rakyat yang berintegritas.
Maka dari itu, masyarakat menaruh harapan yang besar kepada KPU untuk tetap melanjutkan peraturan tersebut. Hal ini penting karena KPU memiliki peran besar dalam menyaring calon-calon pemimpin antikorupsi. Selain itu peraturan ini membantu masyarakat dalam memilih calon legislator dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap para anggota legislatif.
Peraturan ini juga berperan penting bagi partai politik untuk menyiapkan kandidatnya yang memiliki rekam jejak yang baik sehingga masyarakat pun yakin bahwa para kandidat ini memiliki latar belakang yang baik pula. Kekhawatiran akan adanya calon yang residivis korupsi akan sirna.
Tak perlu lagi ada keraguan bagi KPU untuk mempertahankan aturan tersebut, sebab hasil RDP sesungguhnya bersifat tidak mengikat. Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016. Putusan MK tersebut menegaskan bahwa KPU adalah lembaga yang independen, khususnya dalam penyusunan Peraturan KPU.
Langkah progresif dari KPU sangat dinantikan masyarakat. Dukungan publik tentu akan terus mengalir selama KPU mau bersama-sama menjadikan kontestasi pemilu yang lebih berintegritas dan demokratis.
Pegiat Antikorupsi Indonesia Corruption Watch (ICW)
DEMI mendorong Pemilihan Umum 2019 yang lebih demokratis dan berintegritas, belum lama ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengusulkan ketentuan yang progresif dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Anggota Legislatif pada Pemilu 2019. Ketentuan tersebut adalah larangan mantan terpidana kasus korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (caleg).
Sayangnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) sepakat menolak usulan KPU tersebut. Penolakan ini ditegaskan dalam rapat dengar pendapat (RDP) di DPR pada Selasa (22/5) lalu.
Berdasarkan hasil pertemuan tersebut diputuskan mantan narapidana korupsi diperbolehkan mengikuti Pemilihan Legislatif 2019 nanti.
DPR menyatakan, tidak ada alasan bahwa mantan narapidana kejahatan luar biasa tidak ikut kontestasi ini karena tidak ada aturannya dalam Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Begitu pula Kemendagri dan Bawaslu sepakat dengan alasan DPR asalkan caleg tersebut mengakui kepada publik bahwa dirinya pernah menjadi narapidana.
Banyak pihak yang mempertanyakan penolakan DPR, Bawaslu, dan Kemendagri atas usulan KPU yang melarang mantan narapidana korupsi menjadi caleg. Mereka dinilai tidak mendengar harapan masyarakat yang sesungguhnya dan tidak bisa mewakili suara masyarakat.
Sikap ini pun menunjukkan ketidakkonsistenan dalam upaya pemerintah memerangi korupsi. Meskipun korupsi dianggap kejahatan yang luar biasa, mereka masih membolehkan koruptor menjadi caleg.
Koruptor tetaplah koruptor. Walaupun pelaku telah menyelesaikan masa hukumannya sebagai koruptor, peluang untuk melakukannya kembali tentu sangat besar. Apalagi hukuman di negeri ini belum memberikan efek jera terhadap pelaku korupsi.
Hal ini sudah terbukti dengan beberapa orang yang pernah menjadi narapidana korupsi kemudian kembali melakukan hal yang sama saat menjadi pejabat publik. Istilahnya dalam ilmu hukum adalah residivis korupsi.
Salah satu contoh residivis korupsi adalah Mochammad Basuki, Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur. Pada 6 Juni 2017 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Basuki karena terlibat dalam kasus suap pengawasan kegiatan anggaran dan revisi peraturan daerah di Provinsi Jawa Timur.
Sebelumnya pada 2002, ketika menjadi ketua DPRD Surabaya, Basuki terlibat dalam kasus korupsi tunjangan kesehatan dan biaya operasional DPRD Surabaya yang merugikan negara senilai Rp1,2 miliar. Basuki mendapatkan hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 1 bulan kurungan.
Kasus lainnya menyeret Abdul Latif, Bupati Hulu Sungai Tengah. Pada 4 Januari 2017 dia terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK atas kasus suap proyek pembangunan RSUD Damanhuri.
Ternyata sebelumnya Latif tersangkut kasus korupsi pembangunan unit sekolah baru saat ia menjadi pengusaha pada 2005-2006. Kala itu ia mendapat hukuman 1 tahun 6 bulan penjara, denda serta uang pengganti.
Kedua kasus tersebut menjadi bukti nyata bahwa betapa bahayanya mantan narapidana korupsi kembali diikutsertakan dalam pemilu atau kelak menjadi pejabat publik. Terutama bagi para calon legislator yang ketika menjabat di parlemen akan sangat rentan terhadap perilaku korupsi. Tentu masyarakat tidak ingin residivis korupsi ini terus ber-ulang lagi di masa mendatang.
Sebenarnya KPU hanya ingin menutup celah bagi koruptor yang akan mengikuti kontestasi elektoral ini. KPU berupaya merujuk pada sejumlah regulasi tentang pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah serta berupaya membatasi eksistensi dari para koruptor.
Pasal 169 huruf D UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan bahwa seorang calon presiden dan wakil presiden dipersyaratkan tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya.
Pasal 7 ayat 2 UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah menyatakan bahwa seorang calon kepala daerah dipersyaratkan tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Seharusnya semangat KPU untuk menyelenggarakan pemilu yang berintegritas perlu didukung semua pihak. Bukan hanya dari publik, tetapi juga pemerintah dan lembaga terkait. Mereka mesti memiliki pandangan yang sama. Undang-undang tidak tepat jika dijadikan alasan untuk menolak karena hakikatnya Peraturan KPU ini dibuat untuk menutupi celah terjadinya korupsi yang berulang.
Upaya masyarakat mendukung langkah KPU telah terbukti dengan adanya petisi dari Koalisi Masyarakat Sipil. Hingga saat ini sedikitnya 67.000 orang menandatangani petisi ini di change.org/koruptorkoknyaleg. Petisi ini menunjukkan besarnya dukungan masyarakat terhadap KPU dan besar pula harapan publik untuk memiliki caleg atau wakil rakyat yang berintegritas.
Maka dari itu, masyarakat menaruh harapan yang besar kepada KPU untuk tetap melanjutkan peraturan tersebut. Hal ini penting karena KPU memiliki peran besar dalam menyaring calon-calon pemimpin antikorupsi. Selain itu peraturan ini membantu masyarakat dalam memilih calon legislator dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap para anggota legislatif.
Peraturan ini juga berperan penting bagi partai politik untuk menyiapkan kandidatnya yang memiliki rekam jejak yang baik sehingga masyarakat pun yakin bahwa para kandidat ini memiliki latar belakang yang baik pula. Kekhawatiran akan adanya calon yang residivis korupsi akan sirna.
Tak perlu lagi ada keraguan bagi KPU untuk mempertahankan aturan tersebut, sebab hasil RDP sesungguhnya bersifat tidak mengikat. Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016. Putusan MK tersebut menegaskan bahwa KPU adalah lembaga yang independen, khususnya dalam penyusunan Peraturan KPU.
Langkah progresif dari KPU sangat dinantikan masyarakat. Dukungan publik tentu akan terus mengalir selama KPU mau bersama-sama menjadikan kontestasi pemilu yang lebih berintegritas dan demokratis.
(sms)