Polemik Daftar Mubalig
A
A
A
POLITIKUS Partai Golkar Ali Mochtar Ngabalin direkrut masuk ke lingkaran Istana untuk menjadi tenaga ahli utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Pria yang identik dengan peci dan sorban ini direkrut untuk menjadi juru bicara pemerintah.
Menarik mengetahui apa alasan sesungguhnya sehingga Moeldoko selaku Kepala Staf Kepresidenan (KSP) menunjuk mantan politikus Partai Bulan Bintang tersebut menjadi staf ahli. Sebagai politikus, Ngabalin selama ini belum dikenal memiliki reputasi sebagai seorang juru bicara yang andal. Lalu mengapa ia tiba-tiba diangkat jadi juru bicara pemerintah?
Moeldoko menyebut bahwa pertimbangan merekrut Ngabalin adalah karena pengalamannya yang banyak serta jaringannya yang kuat. Dia diharapkan bisa membantu mengomunikasikan apa yang sudah dikerjakan oleh pemerintah kepada publik.
Terlepas dari alasan yang dikemukakan Moeldoko itu, memang ada keuntungan tersendiri bagi Istana dengan keputusan merekrut Ngabalin. Untuk diketahui, Ngabalin saat ini juga menjabat sebagai ketua umum DPP Badan Koordinasi Mubalig Indonesia (Bakomubin). Jabatan ini memungkinkan dia memiliki jaringan mubalig di banyak wilayah di Tanah Air.
Lantas apa hubungan antara pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dengan Ngabalin sebagai mubalig? Sudah bukan rahasia lagi bahwa pemerintahan Jokowi sering dipersepsikan tidak cukup dekat dengan kalangan Islam. Menjelang Pemilu Presiden 2019, Jokowi memang perlu mengambil hati umat Islam untuk bisa mendapatkan dukungan.
Komunikasi yang baik antara pemerintah dengan mubalig dan ulama menjadi kian penting menyusul kebijakan kontroversial Kementerian Agama (Kemenag) yang merilis 200 nama mubalig yang jadi rujukan berceramah agama. Kebijakan Kemenag tersebut memicu kontroversi luas karena dinilai secara tidak langsung telah membanding-bandingkan para mubalig.
Sejumlah tokoh nasional juga menyayangkan langkah Lukman Hakim Saifuddin selaku menteri agama, di antaranya Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama (MUI) Din Syamsuddin. Meski Menag sudah menyampaikan permintaan maafnya, bagi Din hal itu belum cukup. Dia meminta Kemenag menarik daftar nama mubalig tersebut karena sudah menimbulkan kegaduhan di kalangan umat.
Namun sepertinya Menag bergeming. Permintaan maaf tidak berarti daftar nama tersebut akan ditarik dalam waktu dekat. Lukman menjelaskan bahwa nama mubalig yang dirilis tersebut bukan hasil seleksi, bukan pula akreditasi, apalagi standardisasi. Daftar dibuat karena merespons permintaan publik. Dia juga menepis tudingan ada tujuan politik di baliknya.
Memang hingga saat ini tidak jelas apa yang menjadi alasan utama Kemenag sehingga merilis daftar nama-nama mubalig tersebut. Kriteria penentuan nama yang masuk daftar juga tidak cukup jelas, terkesan hanya berdasarkan selera penyusunnya saja. Berhubung sejumlah nama mubalig populer yang selama ini terkenal kritis terhadap pemerintahan Jokowi tidak masuk daftar, dugaan ada unsur politik pun mencuat. Diduga ada upaya untuk mendiskreditkan mubalig atau ulama yang tidak pro-pemerintah. Perdebatan bakal tak berujung karena baik Menag maupun pihak yang memprotes sama-sama merasa berada di pihak yang benar.
Di tengah situasi Indonesia memasuki tahun politik 2018 yang puncaknya adalah Pemilihan Presiden 2019, seyogianya kebijakan yang rentan memicu kegaduhan di masyarakat dihindari. Menjadi lebih disayangkan ketika sumber kegaduhan berasal dari pemerintah sendiri. Bangsa ini sedang menghadapi banyak masalah, baik ekonomi maupun keamanan berupa ancaman terorisme. Seyogianya seluruh elemen bangsa bersatu merajut persaudaraan agar kemajuan dapat digapai. Terkhusus pemerintah, kebijakan kontroversi yang rentan memecah belah umat seharusnya bisa dihindari. *
Menarik mengetahui apa alasan sesungguhnya sehingga Moeldoko selaku Kepala Staf Kepresidenan (KSP) menunjuk mantan politikus Partai Bulan Bintang tersebut menjadi staf ahli. Sebagai politikus, Ngabalin selama ini belum dikenal memiliki reputasi sebagai seorang juru bicara yang andal. Lalu mengapa ia tiba-tiba diangkat jadi juru bicara pemerintah?
Moeldoko menyebut bahwa pertimbangan merekrut Ngabalin adalah karena pengalamannya yang banyak serta jaringannya yang kuat. Dia diharapkan bisa membantu mengomunikasikan apa yang sudah dikerjakan oleh pemerintah kepada publik.
Terlepas dari alasan yang dikemukakan Moeldoko itu, memang ada keuntungan tersendiri bagi Istana dengan keputusan merekrut Ngabalin. Untuk diketahui, Ngabalin saat ini juga menjabat sebagai ketua umum DPP Badan Koordinasi Mubalig Indonesia (Bakomubin). Jabatan ini memungkinkan dia memiliki jaringan mubalig di banyak wilayah di Tanah Air.
Lantas apa hubungan antara pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dengan Ngabalin sebagai mubalig? Sudah bukan rahasia lagi bahwa pemerintahan Jokowi sering dipersepsikan tidak cukup dekat dengan kalangan Islam. Menjelang Pemilu Presiden 2019, Jokowi memang perlu mengambil hati umat Islam untuk bisa mendapatkan dukungan.
Komunikasi yang baik antara pemerintah dengan mubalig dan ulama menjadi kian penting menyusul kebijakan kontroversial Kementerian Agama (Kemenag) yang merilis 200 nama mubalig yang jadi rujukan berceramah agama. Kebijakan Kemenag tersebut memicu kontroversi luas karena dinilai secara tidak langsung telah membanding-bandingkan para mubalig.
Sejumlah tokoh nasional juga menyayangkan langkah Lukman Hakim Saifuddin selaku menteri agama, di antaranya Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama (MUI) Din Syamsuddin. Meski Menag sudah menyampaikan permintaan maafnya, bagi Din hal itu belum cukup. Dia meminta Kemenag menarik daftar nama mubalig tersebut karena sudah menimbulkan kegaduhan di kalangan umat.
Namun sepertinya Menag bergeming. Permintaan maaf tidak berarti daftar nama tersebut akan ditarik dalam waktu dekat. Lukman menjelaskan bahwa nama mubalig yang dirilis tersebut bukan hasil seleksi, bukan pula akreditasi, apalagi standardisasi. Daftar dibuat karena merespons permintaan publik. Dia juga menepis tudingan ada tujuan politik di baliknya.
Memang hingga saat ini tidak jelas apa yang menjadi alasan utama Kemenag sehingga merilis daftar nama-nama mubalig tersebut. Kriteria penentuan nama yang masuk daftar juga tidak cukup jelas, terkesan hanya berdasarkan selera penyusunnya saja. Berhubung sejumlah nama mubalig populer yang selama ini terkenal kritis terhadap pemerintahan Jokowi tidak masuk daftar, dugaan ada unsur politik pun mencuat. Diduga ada upaya untuk mendiskreditkan mubalig atau ulama yang tidak pro-pemerintah. Perdebatan bakal tak berujung karena baik Menag maupun pihak yang memprotes sama-sama merasa berada di pihak yang benar.
Di tengah situasi Indonesia memasuki tahun politik 2018 yang puncaknya adalah Pemilihan Presiden 2019, seyogianya kebijakan yang rentan memicu kegaduhan di masyarakat dihindari. Menjadi lebih disayangkan ketika sumber kegaduhan berasal dari pemerintah sendiri. Bangsa ini sedang menghadapi banyak masalah, baik ekonomi maupun keamanan berupa ancaman terorisme. Seyogianya seluruh elemen bangsa bersatu merajut persaudaraan agar kemajuan dapat digapai. Terkhusus pemerintah, kebijakan kontroversi yang rentan memecah belah umat seharusnya bisa dihindari. *
(wib)