Kemajukan Menjadikan Indonesia Kuat
A
A
A
JAKARTA - Indonesia sebagai negara majemuk sangat rentan untuk diadu domba melalui ujaran kebencian (hate speech) dan berita bohong (hoaks).
Apalagi jika ujaran kebencian dan hoaks itu digunakan untuk kepentingan politik, dan kepentingan kaum radikal terorisme. Karena itu dalam momentum Ramadhan ini, bangsa Indonesia wajib terus memperkuat toleransi dan solidaritas kebangsaan, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
“Ini menjadi tantangan berat bagi bangsa Indonesia. Tapi saya optimis kita pasti bisa karena kemajemukan dan perbedaan inilah yang membuat Indonesia kuat, asalkan semua bisa saling menerima dan menghormati,” kata tokoh kebangsaan, Romo Franz Magnis Suseno di Jakarta, Selasa 22 Mei 2018.
Apalagi, kata Magnis, saat ini bulan puasa. Tentunya ini bisa menjadi momentum terbaik bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk memerangi hal-hal negatif dengan saling menghormati dan menjaga toleransi.
Dia juga menyarankan kepada semua pihak untuk bisa menahan diri dan membuang perasaan menang sendiri. Itu penting karena bila ujaran kebencian, hoaks, radikalisme itu dimainkan secara politik maka dampaknya sangat berbahaya.
Menurut dia, hal-hal negatif itu kalau dipolitisasi bisa dipakai untuk mengadu domba, bisa untuk fake news, hoaks, dan hal-hal emosional lainnya yang bisa menyulut permusuhan.
Apalagi, sambung dia, bila politisasi itu sudah menggunakan unsur agama, itu sangat mengancam persatuan bangsa ini. Maka itu solidaritas langsung dan saat beraktivitas di media sosial harus ditingkatkan untuk meminimalisasi hal-hal tersebut.
Secara pribadi, Magnis optimistis bangsa Indonesia mampu menghalau berbagai hal negatif perusak persatuan. Terlebih, selama kurun 30 tahun terakhir, hubungan antar umat beragama di Indonesia justru semakin kuat dan positif.
Dia mencontohkan saat terjadi serangan teroris di sebuah gereja di Yogyakarta, besoknya putra-putri muslim turun membantu membersihkan gereja. Begitu juga saat terjadi teror bom di Surabaya dan Sidoarjo beberapa hari lalu.
“Itu memang menggembirakan untuk menumbuhkan harmoni dan solidaritas. Tapi lebih penting lagi adalah kesediaan untuk saling menerima dan menghormati, yang akhirnya bisa saling menghargai sehingga terbangun hubungan yang positif,” tutur pria kelahiran Polandia ini.
Ditilik dari sisi sejarah, kata dia, Indonesia adalah negara kuat dan kokoh. Kemerdekaan negara ini bukan dari hadiah negara lain, tapi hasil perjuangan para pahlawan bangsa. Kemudian jiwa persatuan dengan Sumpah Pemuda 1928, dan kemajemukan saat memutuskan ideologi negara, terbukti menjadi pondasi kokoh yang mampu menjaga bangsa dari berbagai gangguan.
Bahkan saat Reformasi 1998, ungkap dia, saat itu banyak pengamat yang meramal Indonesia akan pecah seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Tapi nyatanya, itu tidak terjadi dan Indonesia tetap jaya dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya.
“Indonesia negara yang sangat berdaulat dalam menangani dirinya sendiri. Dari sejak merdeka, banyak masalah terjadi, tapi tidak sampai mengancam kebangsaan,” tuturnya.
Apalagi jika ujaran kebencian dan hoaks itu digunakan untuk kepentingan politik, dan kepentingan kaum radikal terorisme. Karena itu dalam momentum Ramadhan ini, bangsa Indonesia wajib terus memperkuat toleransi dan solidaritas kebangsaan, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
“Ini menjadi tantangan berat bagi bangsa Indonesia. Tapi saya optimis kita pasti bisa karena kemajemukan dan perbedaan inilah yang membuat Indonesia kuat, asalkan semua bisa saling menerima dan menghormati,” kata tokoh kebangsaan, Romo Franz Magnis Suseno di Jakarta, Selasa 22 Mei 2018.
Apalagi, kata Magnis, saat ini bulan puasa. Tentunya ini bisa menjadi momentum terbaik bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk memerangi hal-hal negatif dengan saling menghormati dan menjaga toleransi.
Dia juga menyarankan kepada semua pihak untuk bisa menahan diri dan membuang perasaan menang sendiri. Itu penting karena bila ujaran kebencian, hoaks, radikalisme itu dimainkan secara politik maka dampaknya sangat berbahaya.
Menurut dia, hal-hal negatif itu kalau dipolitisasi bisa dipakai untuk mengadu domba, bisa untuk fake news, hoaks, dan hal-hal emosional lainnya yang bisa menyulut permusuhan.
Apalagi, sambung dia, bila politisasi itu sudah menggunakan unsur agama, itu sangat mengancam persatuan bangsa ini. Maka itu solidaritas langsung dan saat beraktivitas di media sosial harus ditingkatkan untuk meminimalisasi hal-hal tersebut.
Secara pribadi, Magnis optimistis bangsa Indonesia mampu menghalau berbagai hal negatif perusak persatuan. Terlebih, selama kurun 30 tahun terakhir, hubungan antar umat beragama di Indonesia justru semakin kuat dan positif.
Dia mencontohkan saat terjadi serangan teroris di sebuah gereja di Yogyakarta, besoknya putra-putri muslim turun membantu membersihkan gereja. Begitu juga saat terjadi teror bom di Surabaya dan Sidoarjo beberapa hari lalu.
“Itu memang menggembirakan untuk menumbuhkan harmoni dan solidaritas. Tapi lebih penting lagi adalah kesediaan untuk saling menerima dan menghormati, yang akhirnya bisa saling menghargai sehingga terbangun hubungan yang positif,” tutur pria kelahiran Polandia ini.
Ditilik dari sisi sejarah, kata dia, Indonesia adalah negara kuat dan kokoh. Kemerdekaan negara ini bukan dari hadiah negara lain, tapi hasil perjuangan para pahlawan bangsa. Kemudian jiwa persatuan dengan Sumpah Pemuda 1928, dan kemajemukan saat memutuskan ideologi negara, terbukti menjadi pondasi kokoh yang mampu menjaga bangsa dari berbagai gangguan.
Bahkan saat Reformasi 1998, ungkap dia, saat itu banyak pengamat yang meramal Indonesia akan pecah seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Tapi nyatanya, itu tidak terjadi dan Indonesia tetap jaya dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya.
“Indonesia negara yang sangat berdaulat dalam menangani dirinya sendiri. Dari sejak merdeka, banyak masalah terjadi, tapi tidak sampai mengancam kebangsaan,” tuturnya.
(dam)