Sertifikasi Halal dan Sengketa Perdagangan Internasional

Rabu, 09 Mei 2018 - 08:15 WIB
Sertifikasi Halal dan Sengketa Perdagangan Internasional
Sertifikasi Halal dan Sengketa Perdagangan Internasional
A A A
Ikhsan Abdullah
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch

Undang-Undang Nomor 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal belum lagi diimplementasikan namun sudah mendapatkan tantangan dalam perdagangan internasional, khususnya dari negara- negara yang meratifikasi World Trade Organization (WTO). Indonesia dianggap menerapkan sistem Non-Tarif Barriers yang berpotensi mengakibatkan tindakan diskriminatif dalam perdagangan internasional.

Non-Tariff Barriers atau Non-Tariff Measures adalah kebijakan-kebijakan non-tarif yang diberlakukan oleh pemerintah dalam rangka mendukung dan melindungi produsen domestik yang mampu menghambat masuknya produk asing ke dalam pasar domestik. Hambatan-hambatan tersebut berupa persyaratan-persyaratan teknis yang harus dipenuhi oleh suatu produk sebelum memasuki pasar Indonesia, termasuk kewajiban sertifikasi halal untuk semua produk asing yang akan masuk ke Indonesia.

Indonesia telah meratifikasi pembentukan World Trade Organization (WTO) menjadi UU Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Di dalam UU Nomor 7/1994 dijelaskan bahwa salah satu pembahasan dalam Putaran Uruguay 1986 sampai dengan 1994 adalah mengenai Non-Tariff Measures (Tindakan Non-Tarif) yang bertujuan untuk mengurangi atau menghapus berbagai hambatan perdagangan yang bersifat non-tarif, dengan tetap memperhatikan komitmen untuk mengurangi sebanyak mungkin hambatan perdagangan sejenis (Standstill and Rollback Principles).

Dengan adanya UU tersebut maka secara otomatis Indonesia menjadi anggota WTO dan tunduk pada semua peraturan dan ketentuan yang diberlakukan oleh WTO, termasuk The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)

Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal XI GATT: "Setiap pihak dalam perjanjian, artinya negara yang telah meratifikasi, tidak diperbolehkan untuk memberlakukan atau menegakkan larangan atau pembatasan selain dalam bentuk bea masuk, pajak atau pungutan lainnya, baik itu yang diberlakukan melalui kuota, lisensi impor atau ekspor atau tindakan lainnya, dalam hal importasi produk apa pun dari wilayah pihak lainnya atau dalam hal eksportasi atau penjualan untuk tujuan ekspor dari produk apa pun yang ditujukan bagi wilayah pihak lainnya."

Namun, pada Pasal XX GATT huruf a dan b mengatur pemberian pegecualian yakni bahwa peraturan dan tindakan larangan atau pembatasan yang dilarang dalam GATT dapat dibenarkan, antara lain dengan alasan sebagai berikut:
a. Diperlukan untuk melindungi moral publik; b. Diperlukan untuk melindungi hidup atau kesehatan manusia, binatang atau tumbuhan;bila ketentuan dalam GATT ini kita hubungkan dengan Pasal 4 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang menyatakan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

Lebih lanjut, Pasal 67 UU JPH mengatur bahwa:(1) Kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku lima tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan.(2) Sebelum kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku, jenis produk yang bersertifikat halal diatur secara bertahap. (3) Ketentuan mengenai jenis Produk yang bersertifikat halal secara bertahap sebagaimana diatur pada ayat (2) diatur dalam peraturan pemerintah.Ketentuan inilah yang berpotensi menjadi sengketa dalam rangka perdagangan internasional dalam kerangka WTO.

Salah satu kendala dalam pemberlakuan UU JPH dalam perdagangan internasional ini adalah BPJPH yang dibentuk pemerintah, dan di bawah kementerian yang pada pelaksanaan tugas, wewenang, dan fungsinya, dapat dianggap sebagai “pembatasan” impor yang diberlakukan oleh pemerintah RI yang dapat berakibat pada tindakan diskriminatif dalam pelaksanaan ekspor-impor di Indonesia.

Dengan kedudukan BPJPH sebagai suatu institusi pemerintahan yang berada di bawah Kementerian Agama maka hal ini dapat menjadi pemicu negara internasional untuk mengajukan isu tersebut menjadi sengketa perdagangan internasional dalam bentuk gugatan kepada WTO atas tindakan yang dianggap melanggar ketentuan perdagangan bebas yang selama ini telah diterapkan pada hampir seluruh negara di dunia.

Untuk menghindari adanya gugatan dan sengketa lebih banyak lagi terhadap Indonesia maka sebaiknya campur tangan pemerintah dalam melaksanakan sertifikasi halal harus dibatasi. Hal ini untuk menghindarkan Indonesia dari sengketa dan gugatan-gugatan yang diajukan oleh negara lain, yang pada akhirnya Indonesia harus menyesuaikan kembali semua regulasi dan peraturan yang sudah ada dan berlaku, sehingga kepentingan Indonesia terakomodasi dengan baik.

Contoh kasus yang termutahir terjadi dapat dilihat pada gugatan Brazil kepada Indonesia dalam sengketa di WTO mengenai pengimporan daging ayam dan produk-produk dari ayam potong ke Indonesia. Salah satu poin gugatanya yaitu bahwa UU Nomor 33 /2014 tentang Jaminan Produk Halal dan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 139/Permentan/PD.410/12/2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging, dan/atau Olahannya ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.

Brazil menganggap bahwa kedua peraturan perundang-udangan tersebut dianggap sebagai cara untuk melarang impor daging ayam dan produk-produk ayam, dan bahwa persyaratan penyembelihan dan pelabelan halal bersifat diskriminatif.

Pemberlakuan UU JPH dinilai telah membatasi impor dari negara lainsehingga diperlukan solusi lain agar UU tersebut dapat berjalan tanpa dianggap sebagai regulasi yang diskriminatif. Salah satunya yaitu dengan menyerahkan tugas, fungsi, dan wewenang sertifikasi halal kepada lembaga non-pemerintah (non-governmental organization). Organisasi tersebut bukan menjadi bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan salah satu NGO yang membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia, yang memiliki tujuan:a. untuk membantu pemerintah dalam melakukan hal-hal yang menyangkut dengan umat Islam, seperti mengeluarkan fatwa mengenai kehalalan sebuah produk makanan, b. penentuan kebenaran sebuah aliran dalam agama Islam, c. dan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan seorang penganut agama Islam dengan lingkungannya.

Sebagai suatu lembaga yang membantu pemerintah dalam penyelenggaraan Sistem Jaminan Produk Halal, maka sebaiknya sertifikasi halal di Indonesia maupun kerja sama dengan lembaga sertifikasi halal di luar negeri sebaiknya dilaksanakan oleh MUI.

Selain itu, sesuai dengan Pasal 60 UU JPH maka MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang sertifikasi halal sampai dengan BPJPH dibentuk. Dengan keberadaan BPJPH yang sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah yang mengatur tugas, fungsi, kewenangan yang jelas, maka sebaiknya Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal dilaksanakan oleh MUI.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwauntuk menghindari sistem Jaminan Produk Halal yang diberlakukan pemerintah tidak dianggap sebagai Non-Tariff Barrier atau Non-Tariff Measure sehingga dinilai diskriminatif terhadap negara lain, maka sebaiknya MUI selaku lembaga non-pemerintah (NGO) tetap dapat melakukan sertifikasi halal atas produk yang beredar di Indonesia.

Sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI sebaiknya tetap berjalan dan campur tangan pemerintah dibatasi. Hal ini bertujuan untuk menghindari sengketa perdagangan internasional dan tuduhan dunia internasional bahwa pemerintah Indonesia diskriminatif.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4497 seconds (0.1#10.140)