Kekerasan yang Terus Mengintai Anak
A
A
A
Sepekan ini pemberitaan kembali diramaikan oleh kasus kekerasan terhadap anak. Setidaknya ada tiga kasus yang menyita perhatian dan viral di media sosial. Pertama, kasuspria yang diduga menendang seorang bocah berusia tujuh tahun di Mal Kepala Gading, Rabu (25/4/2018). Pelaku bernama Jonathan Dunan membantah secara sengaja melakukan kekerasan terhadap anak laki-laki yang tengah bermain ayunan. Dia hanya berniat melindungi putrinya berusia dua tahun yang terpental akibat tertabrak ayunan.
Kasus kedua, seorang bocah mendapatkan hukuman mandi oli bekas karena dituduh mencuri onderdil di sebuah bengkel sepeda motor di Dusun Sangurejo, Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, DIY. Kejadian tersebut terjadi Kamis (26/4), namun baru ramai diberitakan pada akhir pekan lalu. Bocah tersebut diminta mandi oli oleh Arif Alfian, pemilik bengkel.Peristiwa mandi oli terjadi pada siang hari. Setelah panen kecaman, Arif kemudian meminta maaf dan berjanji akan membiayai sekolah si anak yang ternyata yatim piatu.
Kasus ketiga, seorang anak diduga mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan bersama ibunya saat menghadiri acara Car Free Day di Bundaran HI Jakarta pada Minggu (29/4). Dalam video yang beredar si anak terlihat menangis ketika sang ibu yang mengenakan kaos #DiaSibukKerja dikerubuti dan diduga diintimidasi oleh sekelompok orang berkaos #2019GantiPresiden. Kasus dugaan intimidasi ini sudah ditangani pihak kepolisian.
Sebelum kejadian ini berbagai jenis kekerasan terhadap anak juga banyak diberitakan. Salah satu kasus tertinggi adalah kekerasan seksual. Ironisnya, tak jarang pelaku adalah orang terdekat korban. Maraknya kejadian kekerasan terhadap anak menandakan masih lemahnya pemahaman orang dewasa akan pentingnya anak dilindungi baik ketika sedang di dalam maupun di luar rumah.
Regulasi untuk melindungi anak dari bahaya kekerasan sebenarnya sudah sangat baik. Pasal 13 ayat (1)Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anaksebagaimana telah diubah menegaskan perlindungan tersebut. Dinyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi;eksploitasi baik ekonomi maupun seksual; penelantaran; kekejaman, kekerasan, danpenganiayaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya.
Penganiayaan dalam UU ini adalah tindakan sengaja yang menyebabkan anak mengalami perasaan tidak enak, rasa sakit, atau luka. Jika merujuk pada pasal ini, para pelaku kekerasan terhadap anak pada tiga contoh kasus di atas jelas telah melanggar aturan pada Pasal 13 UU Perlindungan Anak ini. Pada Pasal 80 UU ini dijelaskan ancaman hukuman bagi pelaku jika korban meninggal adalah 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar. Hukuman tersebut ditambah sepertiga dari ketentuan apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Pada kasus anak yang diduga ditendang dan anak yang dihukum mandi oli sepertinya tidak berlanjut ke ranah hukum karena ada perdamaian yang dicapai oleh masing-masing pihak. Namun, kekerasanterhadap anak tentu tidak melulu masalah hukum.
Kekerasan yang dialami anak bisa menimbulkan trauma mendalam. Ditambah lagi jika kasus yang dialami anak menjadi perhatian publik dan si anak tahu dirinya jadi objek pemberitaan. Dampak lebih jauh pada masa depan anak sangat besar di antaranya depresi, stres, dan gangguan psikologis lain yang dapat mengganggu kehidupan sosial serta aktivitasnya di kemudian hari. Dampak lain yakni kepercayaan diri anak yang rendah karena ketakutan melakukan kesalahan sehingga akan mengalami kekerasan lagi. Ini akan membuat perkembangannya terhambat. Anak bahkan bisa mengalami kesulitan bergaul.
Untuk mencegah tindak kekerasan terhadap anak, baik fisik maupun psikis, perlu penegakan hukum yang tegas. Sanksi pidana yang berat terhadap pelaku bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku agar tidakmengulang kesalahan, juga efek jeri bagi orang lain agar tidak melakukan kekerasan yang sama. Orang dewasa harus menyadari bahwa anak dilindungi undang-undang sehingga konsekuensi atas kekerasan yang dilakukan terhadapnya adalah pidana.
Masyarakat juga perlu lebih peduli pada lingkungannya. Perlu identifikasi apakah di lingkungan mereka terdapat anak yang rentan menjadi korban kekerasan baik oleh keluarga sendiri maupun pihak lain. Jika melihat seorang anak mengalami kekerasan fisik, psikis, ataupun seksual harus segera melaporkan kepada pihak berwajib.
Kasus kedua, seorang bocah mendapatkan hukuman mandi oli bekas karena dituduh mencuri onderdil di sebuah bengkel sepeda motor di Dusun Sangurejo, Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, DIY. Kejadian tersebut terjadi Kamis (26/4), namun baru ramai diberitakan pada akhir pekan lalu. Bocah tersebut diminta mandi oli oleh Arif Alfian, pemilik bengkel.Peristiwa mandi oli terjadi pada siang hari. Setelah panen kecaman, Arif kemudian meminta maaf dan berjanji akan membiayai sekolah si anak yang ternyata yatim piatu.
Kasus ketiga, seorang anak diduga mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan bersama ibunya saat menghadiri acara Car Free Day di Bundaran HI Jakarta pada Minggu (29/4). Dalam video yang beredar si anak terlihat menangis ketika sang ibu yang mengenakan kaos #DiaSibukKerja dikerubuti dan diduga diintimidasi oleh sekelompok orang berkaos #2019GantiPresiden. Kasus dugaan intimidasi ini sudah ditangani pihak kepolisian.
Sebelum kejadian ini berbagai jenis kekerasan terhadap anak juga banyak diberitakan. Salah satu kasus tertinggi adalah kekerasan seksual. Ironisnya, tak jarang pelaku adalah orang terdekat korban. Maraknya kejadian kekerasan terhadap anak menandakan masih lemahnya pemahaman orang dewasa akan pentingnya anak dilindungi baik ketika sedang di dalam maupun di luar rumah.
Regulasi untuk melindungi anak dari bahaya kekerasan sebenarnya sudah sangat baik. Pasal 13 ayat (1)Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anaksebagaimana telah diubah menegaskan perlindungan tersebut. Dinyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi;eksploitasi baik ekonomi maupun seksual; penelantaran; kekejaman, kekerasan, danpenganiayaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya.
Penganiayaan dalam UU ini adalah tindakan sengaja yang menyebabkan anak mengalami perasaan tidak enak, rasa sakit, atau luka. Jika merujuk pada pasal ini, para pelaku kekerasan terhadap anak pada tiga contoh kasus di atas jelas telah melanggar aturan pada Pasal 13 UU Perlindungan Anak ini. Pada Pasal 80 UU ini dijelaskan ancaman hukuman bagi pelaku jika korban meninggal adalah 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar. Hukuman tersebut ditambah sepertiga dari ketentuan apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Pada kasus anak yang diduga ditendang dan anak yang dihukum mandi oli sepertinya tidak berlanjut ke ranah hukum karena ada perdamaian yang dicapai oleh masing-masing pihak. Namun, kekerasanterhadap anak tentu tidak melulu masalah hukum.
Kekerasan yang dialami anak bisa menimbulkan trauma mendalam. Ditambah lagi jika kasus yang dialami anak menjadi perhatian publik dan si anak tahu dirinya jadi objek pemberitaan. Dampak lebih jauh pada masa depan anak sangat besar di antaranya depresi, stres, dan gangguan psikologis lain yang dapat mengganggu kehidupan sosial serta aktivitasnya di kemudian hari. Dampak lain yakni kepercayaan diri anak yang rendah karena ketakutan melakukan kesalahan sehingga akan mengalami kekerasan lagi. Ini akan membuat perkembangannya terhambat. Anak bahkan bisa mengalami kesulitan bergaul.
Untuk mencegah tindak kekerasan terhadap anak, baik fisik maupun psikis, perlu penegakan hukum yang tegas. Sanksi pidana yang berat terhadap pelaku bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku agar tidakmengulang kesalahan, juga efek jeri bagi orang lain agar tidak melakukan kekerasan yang sama. Orang dewasa harus menyadari bahwa anak dilindungi undang-undang sehingga konsekuensi atas kekerasan yang dilakukan terhadapnya adalah pidana.
Masyarakat juga perlu lebih peduli pada lingkungannya. Perlu identifikasi apakah di lingkungan mereka terdapat anak yang rentan menjadi korban kekerasan baik oleh keluarga sendiri maupun pihak lain. Jika melihat seorang anak mengalami kekerasan fisik, psikis, ataupun seksual harus segera melaporkan kepada pihak berwajib.
(mhd)