Putusan Pembatalan Petahana Diminta Dicermati Ulang
A
A
A
JAKARTA - Putusan atau rekomendasi dari pengawas pemilihan yang bisa mengakibatkan calon kepala daerah (Cakada) petahana dibatalkan pencalonannya, dinilai perlu dicermati ulang.
Praktisi Hukum Pemilu Ahmad Irawan berpendapat, keputusan ataupun rekomendasi pembatalan peserta pemilihan kepala daerah (Pilkada) telah menyasar beberapa pasangan kandidat petahana yang dianggap menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pencalonan diri sendiri.
Misalnya kata Ahmad, melakukan mutasi pejabat atau mengadakan program bermuatan politis. "Rekomendasi pembatalan paling mutakhir terjadi dalam pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Pare-Pare Tahun 2018, Taufan Pawe-Andi Pangerang Rahim," ujar Irawan di Jakarta, Senin (30/4/2018).
Dia melanjutkan, rekomendasi pembatalan kepada Cakada petahana juga pernah terjadi pada pemilihan Bupati Palopo dan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang menguatkan pembatalan untuk kandidat Walikota Makassar petahana.
"Harusnya keputusan atau rekomendasi pembatalan tidak diobral seperti itu dan penanganan permasalahan hukum pemilu harus ditangani secara hati-hati dan akuntabel agar tak memicu konflik di tengah-tengah masyarakat dan dapat mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilu," imbuhnya.
Dia menambahkan, penyelenggara dan pengawas pemilihan harus hati-hati dalam mengelola tahapan atau menangani setiap permasalahan hukum pemilu yang dilaporkan.
Kata dia, norma yang mengatur larangan kepada petahana untuk melakukan mutasi enam bulan sebelum pencalonan dan setelah terpilih dalam pemilu serta menggunakan kewenangan.
"Program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon dalam waktu enam bulan sebelum penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih, merupakan sangat berlebihan alias eksesif," ucapnya.
Pasalnya, pembatasannya dianggap terlalu mencampuradukkan wilayah pemerintahan daerah dan teknis penyelenggaraan pemilu.
"Percampuran keduanya berpotensi membuat pemerintahan daerah tidak efektif dalam penyelenggaraan pemilu. Kedudukan pasangan calon petahana ditarik dalam posisi tidak setara karena posisinya berada dalam perangkap pembatalan sebagai peserta pemilu," ujarnya.
Tak hanya itu, selain mengatur secara eksesif, juga tak jelas apa yang dimaksud dan apa yang menjadi ukuran penggunaan kewenangan, program dan kegiatan telah menguntungkan calon petahana.
Dia berpendapat, definisi menguntungkan sangat subjektif, bersifat asumsi dan proses penilaiannya yang diserahkan pada pengawas pemilihan sebagai penilai tunggal berpotensi menciptakan keputusan yang otoriter dan membuat pemilu menjadi tidak demokratis.
"Seharusnya, ada ukuran objektif yang jadi alasan pembatalan. Tak hanya pembuktian terhadap ada atau tidak adanya tindakan petahana enam bulan sebelum pencalonan atau enam bulan setelah terpilih," katanya.
Tetapi lanjut dia, dasar pembuktiannya harus diletakkan pada ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang di dalamnya agar rekomendasi atau keputusan yang dikeluarkan akuntabel.
Dia menjelaskan, unsur penyalahgunaan wewenang bisa dilihat dari apakah pada saat calon petahana menjabat telah melakukan penyalahgunaan wewenang dengan melakukan tindakan melampaui wewenang, mencampuradukkan kewenangan dan sewenang-wenang dalam membuat program dan kegiatan pada rentang waktu pelarangan tersebut.
"Jika unsur tersebut tidak ada, maka seharusnya calon petahana tidak mendapatkan sanksi pembatalan," kata Irawan.
Dia juga mengingatkan bahwa program dan kegiatan pemerintah di daerah merupakan hasil rumusan bersama kepala daerah dan DPRD serta telah mendapat persetujuan pemerintah pusat. Maka itu, lanjut dia, tidak adil jika pertanggung jawaban hukumnya secara administratif hanya dibebankan pada kepala daerah saja.
Dengan demikian kata dia, Presiden dan DPR sebagai pembentuk undang-undang harus meninjau kembali norma yang bersifat eksesif dan emosional karena telah menciptakan ketidak adilan.
"Jika hal tersebut membutuhkan proses politik yang rumit, ruang pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi menjadi jalan konstitusional yang bisa ditempuh agar pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat berlangsung secara demokratis," pungkasnya.
Praktisi Hukum Pemilu Ahmad Irawan berpendapat, keputusan ataupun rekomendasi pembatalan peserta pemilihan kepala daerah (Pilkada) telah menyasar beberapa pasangan kandidat petahana yang dianggap menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pencalonan diri sendiri.
Misalnya kata Ahmad, melakukan mutasi pejabat atau mengadakan program bermuatan politis. "Rekomendasi pembatalan paling mutakhir terjadi dalam pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Pare-Pare Tahun 2018, Taufan Pawe-Andi Pangerang Rahim," ujar Irawan di Jakarta, Senin (30/4/2018).
Dia melanjutkan, rekomendasi pembatalan kepada Cakada petahana juga pernah terjadi pada pemilihan Bupati Palopo dan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang menguatkan pembatalan untuk kandidat Walikota Makassar petahana.
"Harusnya keputusan atau rekomendasi pembatalan tidak diobral seperti itu dan penanganan permasalahan hukum pemilu harus ditangani secara hati-hati dan akuntabel agar tak memicu konflik di tengah-tengah masyarakat dan dapat mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilu," imbuhnya.
Dia menambahkan, penyelenggara dan pengawas pemilihan harus hati-hati dalam mengelola tahapan atau menangani setiap permasalahan hukum pemilu yang dilaporkan.
Kata dia, norma yang mengatur larangan kepada petahana untuk melakukan mutasi enam bulan sebelum pencalonan dan setelah terpilih dalam pemilu serta menggunakan kewenangan.
"Program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon dalam waktu enam bulan sebelum penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih, merupakan sangat berlebihan alias eksesif," ucapnya.
Pasalnya, pembatasannya dianggap terlalu mencampuradukkan wilayah pemerintahan daerah dan teknis penyelenggaraan pemilu.
"Percampuran keduanya berpotensi membuat pemerintahan daerah tidak efektif dalam penyelenggaraan pemilu. Kedudukan pasangan calon petahana ditarik dalam posisi tidak setara karena posisinya berada dalam perangkap pembatalan sebagai peserta pemilu," ujarnya.
Tak hanya itu, selain mengatur secara eksesif, juga tak jelas apa yang dimaksud dan apa yang menjadi ukuran penggunaan kewenangan, program dan kegiatan telah menguntungkan calon petahana.
Dia berpendapat, definisi menguntungkan sangat subjektif, bersifat asumsi dan proses penilaiannya yang diserahkan pada pengawas pemilihan sebagai penilai tunggal berpotensi menciptakan keputusan yang otoriter dan membuat pemilu menjadi tidak demokratis.
"Seharusnya, ada ukuran objektif yang jadi alasan pembatalan. Tak hanya pembuktian terhadap ada atau tidak adanya tindakan petahana enam bulan sebelum pencalonan atau enam bulan setelah terpilih," katanya.
Tetapi lanjut dia, dasar pembuktiannya harus diletakkan pada ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang di dalamnya agar rekomendasi atau keputusan yang dikeluarkan akuntabel.
Dia menjelaskan, unsur penyalahgunaan wewenang bisa dilihat dari apakah pada saat calon petahana menjabat telah melakukan penyalahgunaan wewenang dengan melakukan tindakan melampaui wewenang, mencampuradukkan kewenangan dan sewenang-wenang dalam membuat program dan kegiatan pada rentang waktu pelarangan tersebut.
"Jika unsur tersebut tidak ada, maka seharusnya calon petahana tidak mendapatkan sanksi pembatalan," kata Irawan.
Dia juga mengingatkan bahwa program dan kegiatan pemerintah di daerah merupakan hasil rumusan bersama kepala daerah dan DPRD serta telah mendapat persetujuan pemerintah pusat. Maka itu, lanjut dia, tidak adil jika pertanggung jawaban hukumnya secara administratif hanya dibebankan pada kepala daerah saja.
Dengan demikian kata dia, Presiden dan DPR sebagai pembentuk undang-undang harus meninjau kembali norma yang bersifat eksesif dan emosional karena telah menciptakan ketidak adilan.
"Jika hal tersebut membutuhkan proses politik yang rumit, ruang pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi menjadi jalan konstitusional yang bisa ditempuh agar pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat berlangsung secara demokratis," pungkasnya.
(maf)