May Day, Buruh, dan Agama

Senin, 30 April 2018 - 06:56 WIB
May Day, Buruh, dan Agama
May Day, Buruh, dan Agama
A A A
Tom SaptaatmajaTeolog

Hampir tidak ada orang yang ber­ci­ta-cita menjadi bu­ruh. Apalagi di negeri ini, istilah buruh kerap diidentikkan dengan pekerja­an level bawah dan terutama di­berlakukan untuk industri ma­nufaktur atau pekerjaan pa­brik. Di samping itu, istilah bu­ruh juga masih dianggap ber­bau 'kiri', sebab Karl Marx me­ma­kai istilah ini untuk me­ngon­traskan dengan pemilik modal atau kapitalis.

Padahal istilah buruh sama saja dengan pegawai atau kar­ya­wan karena mengandung mak­na yang sama, yakni me­nunjuk terhadap orang yang bekerja ke­pada orang lain dan mendapat gaji secara reguler entah harian, mingguan, atau bulanan.

Karena itu ada kesan men­jadi buruh itu sebuah ke­ter­pak­saan. Dipaksa untuk bekerja atas perintah orang lain, sebab kalau tidak bekerja atau meng­anggur juga menderita. Karena sesungguhnya ada yang kurang dalam kemanusiaan kita se­hingga Kahlil Gibran me­nye­but, dengan bekerja, martabat ma­nu­sia mencapai kepenuh­an­nya.

Bekerja sebagai Aktualisasi

Idealnya, kata pujangga Li­banon itu, bekerja harus men­jadi aktualisasi atau ungkapan diri. Sayang, dalam kenyataan, mayoritas buruh justru men­jalani pekerjaannya sebagai ke­terpaksaan. Maka bekerja ke­rap menjadi belenggu. Para bu­ruh sering mengalami alienasi (keterasingan diri) karena di­pi­sah­kan dari pekerjaannya. Para buruh tidak ada ikatan batin dengan hasil kerjanya, beda dengan pelukis atau penulis yang pasti dekat dengan hasil karyanya. Hasil kerja seperti tidak ada hubungan dengan diri para buruh.

Para buruh juga terasing di dunia kerja dan lingkungan ker­janya karena proses kerja ha­nya dilihat dari kacamata mo­dal, uang atau profit se­ma­ta. Padahal menurut Bertrand Russel, kepemilikan modal (kapital) tidak akan berarti tan­pa buruh (Russel, 1988).

Eksploitasi dan alienasi itu­lah yang ada di balik lahirnya pe­ra­yaan May Day di seluruh dunia. Dalam peristiwa Hay­market 1 Mei 1886, sekitar 400.000 buruh di Amerika Se­ri­kat menga­da­kan de­mons­tra­si besar-be­sar­an untuk me­nun­tut pengu­rang­an jam kerja. Po­lisi Ame­ri­ka kemudian me­nem­baki para demonstran se­hingga ratusan orang tewas dan para pemim­pin­nya di­hu­kum mati.

Pada Juli 1889, Kongres So­sialis Dunia yang diseleng­ga­ra­kan di Paris menetapkan peris­ti­wa di AS itu sebagai hari bu­ruh sedunia dan mengeluarkan resolusi bahwa 'Sebuah aksi internasional besar harus di­organisasikan pada 1 Mei dan menuntut pemerintah secara legal mengurangi jam kerja men­jadi 8 jam per hari, dan me­laksanakan semua hasil Kong­res Buruh Internasional Perancis'.

Resolusi ini mendapat sam­butan yang hangat di berbagai negara dan sejak 1890, setiap 1 Mei yang diistilahkan dengan May Day diperingati oleh kaum buruh sebagai Hari Buruh Sedunia.

Pada 2013 silam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengu­lang apa yang pernah di­tetapkan Bung Karno pada 1948 dengan mengeluarkan UU No­mor 12 tahun 2013 yang me­ne­tap­kan 1 Mei sebagai hari bu­ruh dan dinyatakan sebagai hari li­bur nasional (mulai 1 Mei 2014).

Keberadaan Hari Buruh 1 Mei hingga kini tetap memiliki relevansi. Pesan untuk me­la­wan setiap bentuk alienasi dan eksploitasi masih tetap aktual, ter­lebih di negeri ini. Nyaris tiap hari, kita mendengar atau membaca beragam berita bu­ruk terkait buruh, seperti bu­ruh migran disiksa atau tiba di Tanah Air dalam rupa jenasah, PHK massal tanpa pesangon atau kriminalisasi para buruh.

Apalagi di negeri yang ber­dasar Pancasila ini, setuju atau tidak, neoliberalisme atau ka­pi­talisme kian hari kian punya kuku, terlebih di era globalisasi ini. Istilah globalisasi sebe­nar­nya mengacu kepada makin me­nyatunya unit-unit eko­no­mi di dunia ke dalam satu unit ekonomi dunia.

Secara konkret bisa digam­bar­kan begini. Sepatu yang kita pakai bisa jadi kain atau ka­ret­nya dibuat para buruh di Su­ra­ba­ya, lemnya dari Malaysia, lam­bangnya dari Italia atau Pran­cis. Setelah jadi, sepatu di­pasarkan di Amerika atau di­beli oleh para turis dari Amerika Latin.
Para pemodal atau pengu­sa­ha mancanegara seperti itu se­ring mengukur segala hu­bungan dengan para buruhnya hanya dari sudut pandang uang saja.

Para buruh bisa diper­la­ku­kan seperti tisu, bisa dipecat se­enaknya. Maklum ideologi me­reka adalah kapital atau modal saja. Kapitalisme memang ha­nya menomorsatukan modal atau uang. Martabat manusia menjadi urusan ke sekian.

Keberadaan serikat buruh yang seharusnya bisa me­nga­yomi dan memperjuangkan nasib buruh, kadang kala justru berperan sebaliknya. Menye­dih­kan, ketika di era Orde Baru ha­nya ada satu serikat buruh, nasib buruh tampak begitu bu­ruk. Sedangkan ketika pasca Orde Baru ada ratusan serikat bu­ruh muncul namun nasib bu­ruh tetap tidak kunjung mem­baik. Maka makin leng­kap­lah penderitaan para buruh.

Keberpihakan Agama

Dalam kondisi demikian, para buruh mungkin memang tidak akan pernah berhasil bila hanya mengandalkan ke­kuat­an serikat buruh atau kekuatan dirinya sendiri. Perlu sinergi dan bantuan dari para pihak yang memiliki kepedulian. Da­lam pidato May Day 2013 si­lam, Paus Fransiskus mengu­tuk kondisi buruh di Bang­la­desh yang digaji sangat rendah, yakni sekitar USD38 atau se­ki­tar Rp362.000 per bulan de­ngan 10 jam kerja per hari.

Upah itu, menurut Paus, hanya la­yak untuk orang mati. Paus juga mengajak agar para pastor keluar menemui para buruh di lorong-lorang kota sambil me­nunjukkan solidaritas nyata dari agama bagi kaum buruh.

Agama seperti Islam juga punya keberpihakan pada na­sib buruh, sebagaimana ditulis para ulama fikih. Misalnya kita bisa membaca kitab Al-Iqna kar­ya Syaikh Muhammad al Syar­bani dan kitab hadis sahih Al-Buchori karya Imam al Buchori, yang disusun dalam bab tersendiri dengan judul “al Ijarah” (orang yang bekerja atau buruh). Demikian juga agama seperti Hindu dan Budha, juga punya kepedulian pada para buruh.

Solidaritas agama pada buruh memang perlu lebih diperjelas. Sebab selama ini ada kesan bahwa para buruh hanya berjuang sendirian. Kalau toh kaum buruh tampak dirangkul, biasanya itu hanya pada saat saat hajatan politik seperti pilkada atau pilpres. Kaum buruh pun dijadikan alat untuk meraih kekuasaan. Setelah kekuasaan diraih, buruh hanya bisa mengelus dada meratapi nasib buruknya yang tidak berubah.

Oleh sebab itu para tokoh agama tidak boleh buta terhadap derita kaum jelata seperti buruh. Para tokoh agama mungkin bisa menjadi jembatan antara pengusaha dan buruh. Silakan para pengusaha mencari untung, namun berikan juga upah yang adil dan layak untuk buruh.
Selamat Hari Buruh.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4932 seconds (0.1#10.140)