May Day, Buruh, dan Agama
A
A
A
Tom SaptaatmajaTeolog
Hampir tidak ada orang yang bercita-cita menjadi buruh. Apalagi di negeri ini, istilah buruh kerap diidentikkan dengan pekerjaan level bawah dan terutama diberlakukan untuk industri manufaktur atau pekerjaan pabrik. Di samping itu, istilah buruh juga masih dianggap berbau 'kiri', sebab Karl Marx memakai istilah ini untuk mengontraskan dengan pemilik modal atau kapitalis.
Padahal istilah buruh sama saja dengan pegawai atau karyawan karena mengandung makna yang sama, yakni menunjuk terhadap orang yang bekerja kepada orang lain dan mendapat gaji secara reguler entah harian, mingguan, atau bulanan.
Karena itu ada kesan menjadi buruh itu sebuah keterpaksaan. Dipaksa untuk bekerja atas perintah orang lain, sebab kalau tidak bekerja atau menganggur juga menderita. Karena sesungguhnya ada yang kurang dalam kemanusiaan kita sehingga Kahlil Gibran menyebut, dengan bekerja, martabat manusia mencapai kepenuhannya.
Bekerja sebagai Aktualisasi
Idealnya, kata pujangga Libanon itu, bekerja harus menjadi aktualisasi atau ungkapan diri. Sayang, dalam kenyataan, mayoritas buruh justru menjalani pekerjaannya sebagai keterpaksaan. Maka bekerja kerap menjadi belenggu. Para buruh sering mengalami alienasi (keterasingan diri) karena dipisahkan dari pekerjaannya. Para buruh tidak ada ikatan batin dengan hasil kerjanya, beda dengan pelukis atau penulis yang pasti dekat dengan hasil karyanya. Hasil kerja seperti tidak ada hubungan dengan diri para buruh.
Para buruh juga terasing di dunia kerja dan lingkungan kerjanya karena proses kerja hanya dilihat dari kacamata modal, uang atau profit semata. Padahal menurut Bertrand Russel, kepemilikan modal (kapital) tidak akan berarti tanpa buruh (Russel, 1988).
Eksploitasi dan alienasi itulah yang ada di balik lahirnya perayaan May Day di seluruh dunia. Dalam peristiwa Haymarket 1 Mei 1886, sekitar 400.000 buruh di Amerika Serikat mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja. Polisi Amerika kemudian menembaki para demonstran sehingga ratusan orang tewas dan para pemimpinnya dihukum mati.
Pada Juli 1889, Kongres Sosialis Dunia yang diselenggarakan di Paris menetapkan peristiwa di AS itu sebagai hari buruh sedunia dan mengeluarkan resolusi bahwa 'Sebuah aksi internasional besar harus diorganisasikan pada 1 Mei dan menuntut pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Perancis'.
Resolusi ini mendapat sambutan yang hangat di berbagai negara dan sejak 1890, setiap 1 Mei yang diistilahkan dengan May Day diperingati oleh kaum buruh sebagai Hari Buruh Sedunia.
Pada 2013 silam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengulang apa yang pernah ditetapkan Bung Karno pada 1948 dengan mengeluarkan UU Nomor 12 tahun 2013 yang menetapkan 1 Mei sebagai hari buruh dan dinyatakan sebagai hari libur nasional (mulai 1 Mei 2014).
Keberadaan Hari Buruh 1 Mei hingga kini tetap memiliki relevansi. Pesan untuk melawan setiap bentuk alienasi dan eksploitasi masih tetap aktual, terlebih di negeri ini. Nyaris tiap hari, kita mendengar atau membaca beragam berita buruk terkait buruh, seperti buruh migran disiksa atau tiba di Tanah Air dalam rupa jenasah, PHK massal tanpa pesangon atau kriminalisasi para buruh.
Apalagi di negeri yang berdasar Pancasila ini, setuju atau tidak, neoliberalisme atau kapitalisme kian hari kian punya kuku, terlebih di era globalisasi ini. Istilah globalisasi sebenarnya mengacu kepada makin menyatunya unit-unit ekonomi di dunia ke dalam satu unit ekonomi dunia.
Secara konkret bisa digambarkan begini. Sepatu yang kita pakai bisa jadi kain atau karetnya dibuat para buruh di Surabaya, lemnya dari Malaysia, lambangnya dari Italia atau Prancis. Setelah jadi, sepatu dipasarkan di Amerika atau dibeli oleh para turis dari Amerika Latin.
Para pemodal atau pengusaha mancanegara seperti itu sering mengukur segala hubungan dengan para buruhnya hanya dari sudut pandang uang saja.
Para buruh bisa diperlakukan seperti tisu, bisa dipecat seenaknya. Maklum ideologi mereka adalah kapital atau modal saja. Kapitalisme memang hanya menomorsatukan modal atau uang. Martabat manusia menjadi urusan ke sekian.
Keberadaan serikat buruh yang seharusnya bisa mengayomi dan memperjuangkan nasib buruh, kadang kala justru berperan sebaliknya. Menyedihkan, ketika di era Orde Baru hanya ada satu serikat buruh, nasib buruh tampak begitu buruk. Sedangkan ketika pasca Orde Baru ada ratusan serikat buruh muncul namun nasib buruh tetap tidak kunjung membaik. Maka makin lengkaplah penderitaan para buruh.
Keberpihakan Agama
Dalam kondisi demikian, para buruh mungkin memang tidak akan pernah berhasil bila hanya mengandalkan kekuatan serikat buruh atau kekuatan dirinya sendiri. Perlu sinergi dan bantuan dari para pihak yang memiliki kepedulian. Dalam pidato May Day 2013 silam, Paus Fransiskus mengutuk kondisi buruh di Bangladesh yang digaji sangat rendah, yakni sekitar USD38 atau sekitar Rp362.000 per bulan dengan 10 jam kerja per hari.
Upah itu, menurut Paus, hanya layak untuk orang mati. Paus juga mengajak agar para pastor keluar menemui para buruh di lorong-lorang kota sambil menunjukkan solidaritas nyata dari agama bagi kaum buruh.
Agama seperti Islam juga punya keberpihakan pada nasib buruh, sebagaimana ditulis para ulama fikih. Misalnya kita bisa membaca kitab Al-Iqna karya Syaikh Muhammad al Syarbani dan kitab hadis sahih Al-Buchori karya Imam al Buchori, yang disusun dalam bab tersendiri dengan judul “al Ijarah” (orang yang bekerja atau buruh). Demikian juga agama seperti Hindu dan Budha, juga punya kepedulian pada para buruh.
Solidaritas agama pada buruh memang perlu lebih diperjelas. Sebab selama ini ada kesan bahwa para buruh hanya berjuang sendirian. Kalau toh kaum buruh tampak dirangkul, biasanya itu hanya pada saat saat hajatan politik seperti pilkada atau pilpres. Kaum buruh pun dijadikan alat untuk meraih kekuasaan. Setelah kekuasaan diraih, buruh hanya bisa mengelus dada meratapi nasib buruknya yang tidak berubah.
Oleh sebab itu para tokoh agama tidak boleh buta terhadap derita kaum jelata seperti buruh. Para tokoh agama mungkin bisa menjadi jembatan antara pengusaha dan buruh. Silakan para pengusaha mencari untung, namun berikan juga upah yang adil dan layak untuk buruh.
Selamat Hari Buruh.
Hampir tidak ada orang yang bercita-cita menjadi buruh. Apalagi di negeri ini, istilah buruh kerap diidentikkan dengan pekerjaan level bawah dan terutama diberlakukan untuk industri manufaktur atau pekerjaan pabrik. Di samping itu, istilah buruh juga masih dianggap berbau 'kiri', sebab Karl Marx memakai istilah ini untuk mengontraskan dengan pemilik modal atau kapitalis.
Padahal istilah buruh sama saja dengan pegawai atau karyawan karena mengandung makna yang sama, yakni menunjuk terhadap orang yang bekerja kepada orang lain dan mendapat gaji secara reguler entah harian, mingguan, atau bulanan.
Karena itu ada kesan menjadi buruh itu sebuah keterpaksaan. Dipaksa untuk bekerja atas perintah orang lain, sebab kalau tidak bekerja atau menganggur juga menderita. Karena sesungguhnya ada yang kurang dalam kemanusiaan kita sehingga Kahlil Gibran menyebut, dengan bekerja, martabat manusia mencapai kepenuhannya.
Bekerja sebagai Aktualisasi
Idealnya, kata pujangga Libanon itu, bekerja harus menjadi aktualisasi atau ungkapan diri. Sayang, dalam kenyataan, mayoritas buruh justru menjalani pekerjaannya sebagai keterpaksaan. Maka bekerja kerap menjadi belenggu. Para buruh sering mengalami alienasi (keterasingan diri) karena dipisahkan dari pekerjaannya. Para buruh tidak ada ikatan batin dengan hasil kerjanya, beda dengan pelukis atau penulis yang pasti dekat dengan hasil karyanya. Hasil kerja seperti tidak ada hubungan dengan diri para buruh.
Para buruh juga terasing di dunia kerja dan lingkungan kerjanya karena proses kerja hanya dilihat dari kacamata modal, uang atau profit semata. Padahal menurut Bertrand Russel, kepemilikan modal (kapital) tidak akan berarti tanpa buruh (Russel, 1988).
Eksploitasi dan alienasi itulah yang ada di balik lahirnya perayaan May Day di seluruh dunia. Dalam peristiwa Haymarket 1 Mei 1886, sekitar 400.000 buruh di Amerika Serikat mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja. Polisi Amerika kemudian menembaki para demonstran sehingga ratusan orang tewas dan para pemimpinnya dihukum mati.
Pada Juli 1889, Kongres Sosialis Dunia yang diselenggarakan di Paris menetapkan peristiwa di AS itu sebagai hari buruh sedunia dan mengeluarkan resolusi bahwa 'Sebuah aksi internasional besar harus diorganisasikan pada 1 Mei dan menuntut pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Perancis'.
Resolusi ini mendapat sambutan yang hangat di berbagai negara dan sejak 1890, setiap 1 Mei yang diistilahkan dengan May Day diperingati oleh kaum buruh sebagai Hari Buruh Sedunia.
Pada 2013 silam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengulang apa yang pernah ditetapkan Bung Karno pada 1948 dengan mengeluarkan UU Nomor 12 tahun 2013 yang menetapkan 1 Mei sebagai hari buruh dan dinyatakan sebagai hari libur nasional (mulai 1 Mei 2014).
Keberadaan Hari Buruh 1 Mei hingga kini tetap memiliki relevansi. Pesan untuk melawan setiap bentuk alienasi dan eksploitasi masih tetap aktual, terlebih di negeri ini. Nyaris tiap hari, kita mendengar atau membaca beragam berita buruk terkait buruh, seperti buruh migran disiksa atau tiba di Tanah Air dalam rupa jenasah, PHK massal tanpa pesangon atau kriminalisasi para buruh.
Apalagi di negeri yang berdasar Pancasila ini, setuju atau tidak, neoliberalisme atau kapitalisme kian hari kian punya kuku, terlebih di era globalisasi ini. Istilah globalisasi sebenarnya mengacu kepada makin menyatunya unit-unit ekonomi di dunia ke dalam satu unit ekonomi dunia.
Secara konkret bisa digambarkan begini. Sepatu yang kita pakai bisa jadi kain atau karetnya dibuat para buruh di Surabaya, lemnya dari Malaysia, lambangnya dari Italia atau Prancis. Setelah jadi, sepatu dipasarkan di Amerika atau dibeli oleh para turis dari Amerika Latin.
Para pemodal atau pengusaha mancanegara seperti itu sering mengukur segala hubungan dengan para buruhnya hanya dari sudut pandang uang saja.
Para buruh bisa diperlakukan seperti tisu, bisa dipecat seenaknya. Maklum ideologi mereka adalah kapital atau modal saja. Kapitalisme memang hanya menomorsatukan modal atau uang. Martabat manusia menjadi urusan ke sekian.
Keberadaan serikat buruh yang seharusnya bisa mengayomi dan memperjuangkan nasib buruh, kadang kala justru berperan sebaliknya. Menyedihkan, ketika di era Orde Baru hanya ada satu serikat buruh, nasib buruh tampak begitu buruk. Sedangkan ketika pasca Orde Baru ada ratusan serikat buruh muncul namun nasib buruh tetap tidak kunjung membaik. Maka makin lengkaplah penderitaan para buruh.
Keberpihakan Agama
Dalam kondisi demikian, para buruh mungkin memang tidak akan pernah berhasil bila hanya mengandalkan kekuatan serikat buruh atau kekuatan dirinya sendiri. Perlu sinergi dan bantuan dari para pihak yang memiliki kepedulian. Dalam pidato May Day 2013 silam, Paus Fransiskus mengutuk kondisi buruh di Bangladesh yang digaji sangat rendah, yakni sekitar USD38 atau sekitar Rp362.000 per bulan dengan 10 jam kerja per hari.
Upah itu, menurut Paus, hanya layak untuk orang mati. Paus juga mengajak agar para pastor keluar menemui para buruh di lorong-lorang kota sambil menunjukkan solidaritas nyata dari agama bagi kaum buruh.
Agama seperti Islam juga punya keberpihakan pada nasib buruh, sebagaimana ditulis para ulama fikih. Misalnya kita bisa membaca kitab Al-Iqna karya Syaikh Muhammad al Syarbani dan kitab hadis sahih Al-Buchori karya Imam al Buchori, yang disusun dalam bab tersendiri dengan judul “al Ijarah” (orang yang bekerja atau buruh). Demikian juga agama seperti Hindu dan Budha, juga punya kepedulian pada para buruh.
Solidaritas agama pada buruh memang perlu lebih diperjelas. Sebab selama ini ada kesan bahwa para buruh hanya berjuang sendirian. Kalau toh kaum buruh tampak dirangkul, biasanya itu hanya pada saat saat hajatan politik seperti pilkada atau pilpres. Kaum buruh pun dijadikan alat untuk meraih kekuasaan. Setelah kekuasaan diraih, buruh hanya bisa mengelus dada meratapi nasib buruknya yang tidak berubah.
Oleh sebab itu para tokoh agama tidak boleh buta terhadap derita kaum jelata seperti buruh. Para tokoh agama mungkin bisa menjadi jembatan antara pengusaha dan buruh. Silakan para pengusaha mencari untung, namun berikan juga upah yang adil dan layak untuk buruh.
Selamat Hari Buruh.
(nag)