Potret Buram Kebijakan BBM

Kamis, 19 April 2018 - 08:01 WIB
Potret Buram Kebijakan BBM
Potret Buram Kebijakan BBM
A A A
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI

TAK ada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik sampai 2019. Itulah pesan paling gamblang dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada masya­rakat Indonesia. Boleh jadi kabar itu disambut gegap-gempita oleh sebagian masyarakat Indonesia.

Alasan Presiden pun tampak po­p­ulis dan berpihak pada ma­syarakat: ingin menjaga daya beli. Tetapi, jika dirunut secara men­dalam pernyataan itu merupa­kan antiklimaks dari ke­bijak­an BBM di era Jokowi. Beberapa catat­an berikut ini mem­buk­ti­kan hal itu. Pertama, pada akhir­­­nya Presiden Jokowi ti­dak ada be­da­­nya d­e­ngan presiden-presi­den se­belumnya. Ia telah men­jadi­kan sektor energi sebagai san­dera politik jangka pendek, yakni pe­mi­lih­an presiden (pil­pres).

Jokowi tidak ingin elek­tabili­tas­nya terjun bebas lanta­ran me­naikkan har­ga BBM dan tarif listrik di tahun politik ini. Alas­an ingin men­jaga daya beli ma­syarakat adalah alas­an klise belaka. Benar bah­wa kenaik­an harga BBM akan diikuti laju inflasi. Tetapi data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pe­micu utama inflasi dan mere­duksi daya beli adalah lonjakan harga bahan pangan.

Kedua, Presiden Jokowi juga melakukan pembiaran BUMN di bidang energi merugi. Bayang­kan saja, asumsi makro harga minyak mentah pada APBN hanya USD48 per barel. Padahal, posisi sekarang minyak mentah sudah mencapai USD63 per barel. Pembiaran ini jelas me­lang­gar undang-undang ten­tang BUMN yang mengatur bah­wa BUMN tidak boleh menjual rugi produknya.

Kalaupun men­jual rugi harus dalam konteks penugasan oleh pemerintah dan karena itu pemerintah harus membayar selisihnya, baik berupa subsidi maupun public service obligation (PSO). Lha, ini bergeming, BUMN energi se­perti PT PLN dan PT Pertamina jungkir balik menomboki selisih harga minyak itu. Mana tahan?

Ketiga, pemerintah me­wajib­kan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Pulau Jawa kembali menjual pre­mium. Pada­hal, seharusnya roadmap distri­busi premium adalah un­tuk di luar Pulau Jawa, Madura, dan Bali (Jamali), bahkan se­harusnya untuk area terluar, ter­depan, dan tertinggal (T3).

Di Pulau Jawa, ibarat sambil me­rem pun ma­syarakat bisa men­dapatkan BBM dengan gampang dan harganya masih terjangkau. Bandingkan de­ngan area T3, untuk men­dapat­kan BBM harus menempuh ratus­an kilometer, dengan harga mahal pula. Lalu di mana keadilan ekonomi dan sosialnya?

Keempat, kebijakan BBM satu harga juga terbilang lips service. Terbukti harga BBM hanya sampai di SPBU dan atau lembaga penyalur resmi. Itu pun dalam hitungan jam BBM di SPBU dan lembaga penyalur resmi ludes diborong “oknum”. Akhirnya, masyarakat gigit jari, membeli BBM dengan harga normal: mahal! Padahal, sejati­nya, masya­rakat (di Papua) sen­diri tidak me­nuntut kebijakan satu harga itu harus sama persis dengan di Pulau Jawa.

Mereka ikhlas harga BBM lebih mahal beberapa ribu rupiah dari Pulau Jawa. Bagi mereka, yang pen­ting barangnya ada. Dan, dalam hal ini pemerintah mau me­nangnya sendiri, mau manis di depan ma­syarakat, tapi ingin­nya “gratis­an”. Sebab, untuk mewujudkan BBM satu harga di 160 titik, diperlukan tambahan anggaran sebesar Rp3 triliun dan menjadi beban operator (PT Per­ta­mi­na). Pada­hal, Per­ta­mi­na sudah ter­gen­cet har­ga mi­nyak men­tah dunia pula. Alamak.

Kelima, meminjam istilah ekonom Faisal Basri, premium itu “barang busuk”. Termino­logi “barang busuk” itu ada benar­nya. Sebab premium adalah BBM de­ngan kualitas rendah, nilai RON-nya hanya 88. Tak ada negara lain di dunia yang ma­sih meng­guna­kan BBM de­ngan RON 88. Se­harusnya, de­ngan basis Euro2 standard, mini­mal BBM yang dijual di Indonesia adalah RON 92.

Bahkan standar yang dite­tap­­kan oleh KLHK (Kemen­teri­an Lingkungan Hidup dan Ke­hutan­an) adalah Euro 4, alias RON 95. Bandingkan dengan di Malaysia RON terendah BBM-nya sudah mencapai RON 95, sekelas pertamaks turbo. Ciamik nian? Lingkungan ber­sih dan nirpolusi menjadi per­tim­bang­an utama.

Keenam, mengizinkan ber­operasinya SPBU swasta (SPBU “Vivo”) untuk men­distri­busi­kan/menjual BBM bersubsidi. Bahkan, Menteri ESDM me­nyatakan SPBU Vivo bisa men­jual BBM sejenis premium lebih murah karena lebih efisien, daripada Pertamina. Sebuah pernyataan yang absurd dan meng­gelikan. Sebuah perban­ding­an yang tak masuk akal.

Dan, pada akhirnya mem­buk­ti­kan hal sebaliknya, bahwa yang tidak efisien adalah pernyataan Menteri ESDM. Sebab, beberapa pekan kemudian SPBU Vivo menjual BBM sejenis pre­mium, harganya lebih mahal de­n­gan premiumnya SPBU Per­tamina. Jadi, itu hanyalah marketing gimmick saja. Kok di­beri­kan label lebih efisien. “Ora mutu blas,“ kata orang Jawa.

Kesimpulan
Nyali politik Pre­siden Jokowi da­lam me­laku­kan reformasi da­lam kebijakan BBM hanya berjalan 1,5 tahun saja, sejak kepemimpin­an­nya. Hal itu diwujud­k­an de­ngan keberani­an­n­ya mencabut subsidi di bidang energi, khusus­nya pre­mium dan listrik golongan 900 va. Juga men­jadi­kan perubahan harga BBM atas dasar minyak mentah dunia, plus menjadikan premium ha­nya untuk area ter­luar, ter­depan, dan tertinggal. Setelah itu reformasi mandek, berhenti total, bahkan meng­alami ke­munduran yang sangat se­bagai­mana keenam poin tersebut. Semangat reformasi yang di­torehkan luntur, nyaris tak ber­bekas.

Pernyataan bahwa tak ada kenaikan harga BBM dan tarif listrik hingga 2019 tak ubah­nya sebuah bom waktu dan “jebakan Batman” bagi masyarakat. Jika tahun politik telah usai, presiden baru telah terpilih, masyarakat jus­tru akan dieksploitasi dengan ke­naik­an harga yang sangat tinggi. Sungguh ironis dan bah­kan tragis, jika pada akhirnya Presiden Joko Widodo me­waris­kan sebuah kebijakan yang kontraproduktif baik dari sisi ekonomi, sosial, energi, bahkan lingkungan.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7589 seconds (0.1#10.140)
pixels