Kasus Century, Putusan PN Jaksel Dinilai Tamparan Buat KPK
A
A
A
YOGYAKARTA - Putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) yang memerintahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono menjadi tersangka kasus korupsi dana Bank Century dinilai sebagai sebuah tamparan keras bagi lembaga super bodi tersebut.
Seharusnya tanpa putusan praperadilan ini, KPK dinilai wajib menuntaskan kasus ini. “Putusan praperadilan ini menampar KPK. Akan tetapi tanpa putusan itu, KPK wajib untuk menuntaskan kasus ini karena di dalam dakwaan Budi Mulia, KPK sudah cantumkan nama-nama yang diduga terlibat dan turut serta melakukan di antaranya Boediono, Mulia Hadad dan lainnya,” kata peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainur Rohman di Yogyakarta, Senin (16/4/2018).
Menurut Zainur, sebenarnya putusan praperadilan ini melampaui kewenangan. Sesuai Pasal 77 KHUP, kewenangan praperadilan tidak termasuk hal itu, meski demikian dalam kasus ini KPK punya kewajiban untuk memperjelas kasus Bank Century.
Oleh karena itu, jika ada pihak lain yang diduga turut serta dalam kasus tersebut maka harus diproses hukum hingga dilimpahkan ke pengadilan.
Dia menilai putusan praperadilan itu tidak bisa dijadikan dasar pijakan oleh KPK untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka.
“Namun KPK bisa menetapkan sesorang menjadi tersangka dengan alat bukti yang cukup. Artinya KPK perlu melakukan proses penyidikan dan penyelidikan kepada masing-masing terduga supaya bisa dikumpulkan alat bukti dan konstruksi hukumnya agar bisa diproses hukum,” tandasnya.
Lulusan Fakultas Hukum UGM ini menyebut bisa atau tidaknya Boediono dijadikan tersangka menurutnya hanya KPK yang tahu, namun nama Boediono sejak awal telah disebut-sebut oleh KPK dalam dakwaan Budi Mulya dan juga dalam putusan Budi Mulya.
“Artinya sejak awal KPK sudah yakin Boediyono ikut terlibat dalam kasus Bank Century,” katanya.
Sebelumnya dalam acara Bincang dengan Jurnalis Yogya di RM Pelem Golek, Minggu 15 April malam, mantan Ketua KPK Abraham Samad menyebut KPK sedang mengalami pertarungan luar biasa dalam kasus ini.
Menurut dia, KPK tengah diuji kredibilitas dan muruwahnya apakah masih bisa dipercaya sebagai lembaga yang independen atau lembaga yang tidak bisa dintervensi atau sebaliknya.
“Ini ujian terbesar di KPK," tandasnya.
Samad menyebut lambatnya kasus penanganan Bank Century ini lantaran KPK kekurangan penyidik. Untuk menangani seluruh kasus yang ada di Indonesia. KPK hanya memiliki beberapa ratus penyidik. Kondisi ini sangat mempengaruhi kinerja KPK.
“Saya yakin kasus ini bisa ditangani, cuma waktunya tidak yakin bisa ditangani sesuai dengan pikiran kita, kalau menurut saya ini hanya karena kekurangan penyidik,” tuturnya.
Samad juga menyakinkan KPK tidak perlu mencekal mantan Wakil Presiden Boediono. Dia yakin bersangkutan tidak mungkin untuk melarikan diri.
Samad juga menyakini keterlibatan Boediono dalam kasus ini lantaran sedang berada di dalam rezim yang tidak terlalu tepat, bukan semata-mata keterlibatan pribadi.
“Saya juga yakin, keterlibatan dia bukan seorang diri tapi keterlibatannya karena dia berada di rezim yang tidak terlalu tepat. Dia berada di rezim yang tidak terlalu tepat yang kadang-kadang dia terpaksa melakukan itu, tapi keterpaksaan itu tidak bisa dijadikan justifikasi tidak boleh dibenarkan,” tuturnya.
Seharusnya tanpa putusan praperadilan ini, KPK dinilai wajib menuntaskan kasus ini. “Putusan praperadilan ini menampar KPK. Akan tetapi tanpa putusan itu, KPK wajib untuk menuntaskan kasus ini karena di dalam dakwaan Budi Mulia, KPK sudah cantumkan nama-nama yang diduga terlibat dan turut serta melakukan di antaranya Boediono, Mulia Hadad dan lainnya,” kata peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainur Rohman di Yogyakarta, Senin (16/4/2018).
Menurut Zainur, sebenarnya putusan praperadilan ini melampaui kewenangan. Sesuai Pasal 77 KHUP, kewenangan praperadilan tidak termasuk hal itu, meski demikian dalam kasus ini KPK punya kewajiban untuk memperjelas kasus Bank Century.
Oleh karena itu, jika ada pihak lain yang diduga turut serta dalam kasus tersebut maka harus diproses hukum hingga dilimpahkan ke pengadilan.
Dia menilai putusan praperadilan itu tidak bisa dijadikan dasar pijakan oleh KPK untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka.
“Namun KPK bisa menetapkan sesorang menjadi tersangka dengan alat bukti yang cukup. Artinya KPK perlu melakukan proses penyidikan dan penyelidikan kepada masing-masing terduga supaya bisa dikumpulkan alat bukti dan konstruksi hukumnya agar bisa diproses hukum,” tandasnya.
Lulusan Fakultas Hukum UGM ini menyebut bisa atau tidaknya Boediono dijadikan tersangka menurutnya hanya KPK yang tahu, namun nama Boediono sejak awal telah disebut-sebut oleh KPK dalam dakwaan Budi Mulya dan juga dalam putusan Budi Mulya.
“Artinya sejak awal KPK sudah yakin Boediyono ikut terlibat dalam kasus Bank Century,” katanya.
Sebelumnya dalam acara Bincang dengan Jurnalis Yogya di RM Pelem Golek, Minggu 15 April malam, mantan Ketua KPK Abraham Samad menyebut KPK sedang mengalami pertarungan luar biasa dalam kasus ini.
Menurut dia, KPK tengah diuji kredibilitas dan muruwahnya apakah masih bisa dipercaya sebagai lembaga yang independen atau lembaga yang tidak bisa dintervensi atau sebaliknya.
“Ini ujian terbesar di KPK," tandasnya.
Samad menyebut lambatnya kasus penanganan Bank Century ini lantaran KPK kekurangan penyidik. Untuk menangani seluruh kasus yang ada di Indonesia. KPK hanya memiliki beberapa ratus penyidik. Kondisi ini sangat mempengaruhi kinerja KPK.
“Saya yakin kasus ini bisa ditangani, cuma waktunya tidak yakin bisa ditangani sesuai dengan pikiran kita, kalau menurut saya ini hanya karena kekurangan penyidik,” tuturnya.
Samad juga menyakinkan KPK tidak perlu mencekal mantan Wakil Presiden Boediono. Dia yakin bersangkutan tidak mungkin untuk melarikan diri.
Samad juga menyakini keterlibatan Boediono dalam kasus ini lantaran sedang berada di dalam rezim yang tidak terlalu tepat, bukan semata-mata keterlibatan pribadi.
“Saya juga yakin, keterlibatan dia bukan seorang diri tapi keterlibatannya karena dia berada di rezim yang tidak terlalu tepat. Dia berada di rezim yang tidak terlalu tepat yang kadang-kadang dia terpaksa melakukan itu, tapi keterpaksaan itu tidak bisa dijadikan justifikasi tidak boleh dibenarkan,” tuturnya.
(dam)