Puisi Sukmawati
A
A
A
SUKMAWATI akhirnya meminta maaf setelah puisinya, Ibu Indonesia, memantik kontroversi hebat dalam beberapa hari terakhir. Puisi yang ia bacakan pada acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018 pekan lalu mengundang kemarahan banyak orang. Beberapa di antaranya bahkan resmi melaporkan putri Presiden Pertama RI Soekarno itu ke polisi dengan tuduhan penodaan agama.
Kemarin Sukmawati meminta maaf sambil menangis sesenggukan di depan kamera wartawan yang menyorotnya. Namun, di balik permintaan maafnya tersebut, Sukmawati tampak mencoba “membela diri” dengan menyebut puisi itu merupakan bentuk dari refleksi keprihatinan terkait rasa wawasan kebangsaan.
Dia merangkumnya semata-mata untuk menarik perhatian anak-anak bangsa agar tidak melupakan jati dirinya sebagai Indonesia yang asli. Namun, sebagian pihak sudah telanjur marah dan tersinggung.
Permintaan maaf Sukmawati bagi sebagian pihak dinilai cukup untuk mengakhiri polemik. Namun, bagi sebagian lain ternyata itu tidak cukup. Alasannya, apa yang dihina oleh Sukmawati bukan pribadi, melainkan syariat agama.
Sukmawati dihujani kritik karena puisinya membandingkan “sari konde yang lebih cantik dari cadar”, juga “kidung Ibu Indonesia yang lebih elok dan merdu dari alunan azan”. Di sini Sukmawati membuat perbandingan yang memang terlihat menyudutkan atau menyerang satu golongan tertentu. Hal inilah yang memicu ketersinggungan dan kemarahan banyak orang.
Kasus karya sastra yang menyerempet isu agama lalu memicu kemarahan besar umat Islam sebelumnya pernah terjadi. Pada 1968 majalah Sastra memuat cerpen Langit Makin Mendung yang ditulis seseorang dengan nama pena Kipandjikusmin.
Cerpen ini mengisahkan Muhammad yang turun ke bumi bersama malaikat Jibril untuk menyelidiki sebab mengapa hanya sedikit umat muslim yang masuk surga. Cerpen itu banjir hujatan karena membuat penggambaran Allah, Muhammad, dan Jibril. Kepala editor majalah Sastra, HB Jassin diadili karena tuduhan penistaan agama dan dijatuhi hukuman percobaan satu tahun.
Pada 1988 sastrawan Inggris berdarah India Salman Rushdi juga menjadi manusia paling dicari di kolong langit. Novelnya yang berjudul, The Satanic Verses atau Ayat-ayat Setan, memicu kemarahan umat Islam. Bagian yang diyakini paling menistakan Islam adalah ketika Salman menggambarkan Nabi Muhammad SAW telah salah menerima wahyu yang ternyata datang dari setan.
Beberapa pengarang menggunakan sastra atau kesenian sebagai medium dalam mengekspresikan pikiran. Tak jarang mereka menyadari bahwa karya yang dibuatnya itu bisa memantik kontroversi.
Namun, penyair atau seniman kerap berpandangan bahwa karya sastra tak boleh diadili, apalagi dipidanakan karena itu merupakan buah imajinasi, ekspresi atas kebebasan berpikir. Sastra memiliki ruang otonom sehingga tak seharusnya disangkut-pautkan dengan nilai-nilai di luar dirinya.
Apakah ideologi berkesenian seperti ini pula yang melandasi lahirnya puisi Ibu Indonesia ? Hanya Sukmawati yang tahu. Setelah Sukmawati menyampaikan permintaan maafnya, seyogianya polemik dan kegaduhan diakhiri. Bahwa ada yang tetap membawa kasus ini ke ranah pidana itu harus dihargai, biarkanlah hukum yang menyelesaikannya.
Saat ini polemik dan kontroversi bisa dengan mudah terjadi. Terutama setelah memasuki tahun politik, apa pun menjadi sensitif dan mudah menyulut kegaduhan baru. Politik khas Indonesia tampaknya memang membutuhkan itu, apa boleh buat.
Dalam kondisi seperti ini memang dibutuhkan kebijaksanaan, termasuk dalam urusan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Di sisi lain, seyogianya muncul kesadaran semua pihak untuk memperkuat soliditas bangsa di tengah pertarungan antarbangsa yang kian keras dan ketat. Sayang jika energi anak bangsa lebih banyak terkuras untuk ihwal yang tidak produktif.
Kemarin Sukmawati meminta maaf sambil menangis sesenggukan di depan kamera wartawan yang menyorotnya. Namun, di balik permintaan maafnya tersebut, Sukmawati tampak mencoba “membela diri” dengan menyebut puisi itu merupakan bentuk dari refleksi keprihatinan terkait rasa wawasan kebangsaan.
Dia merangkumnya semata-mata untuk menarik perhatian anak-anak bangsa agar tidak melupakan jati dirinya sebagai Indonesia yang asli. Namun, sebagian pihak sudah telanjur marah dan tersinggung.
Permintaan maaf Sukmawati bagi sebagian pihak dinilai cukup untuk mengakhiri polemik. Namun, bagi sebagian lain ternyata itu tidak cukup. Alasannya, apa yang dihina oleh Sukmawati bukan pribadi, melainkan syariat agama.
Sukmawati dihujani kritik karena puisinya membandingkan “sari konde yang lebih cantik dari cadar”, juga “kidung Ibu Indonesia yang lebih elok dan merdu dari alunan azan”. Di sini Sukmawati membuat perbandingan yang memang terlihat menyudutkan atau menyerang satu golongan tertentu. Hal inilah yang memicu ketersinggungan dan kemarahan banyak orang.
Kasus karya sastra yang menyerempet isu agama lalu memicu kemarahan besar umat Islam sebelumnya pernah terjadi. Pada 1968 majalah Sastra memuat cerpen Langit Makin Mendung yang ditulis seseorang dengan nama pena Kipandjikusmin.
Cerpen ini mengisahkan Muhammad yang turun ke bumi bersama malaikat Jibril untuk menyelidiki sebab mengapa hanya sedikit umat muslim yang masuk surga. Cerpen itu banjir hujatan karena membuat penggambaran Allah, Muhammad, dan Jibril. Kepala editor majalah Sastra, HB Jassin diadili karena tuduhan penistaan agama dan dijatuhi hukuman percobaan satu tahun.
Pada 1988 sastrawan Inggris berdarah India Salman Rushdi juga menjadi manusia paling dicari di kolong langit. Novelnya yang berjudul, The Satanic Verses atau Ayat-ayat Setan, memicu kemarahan umat Islam. Bagian yang diyakini paling menistakan Islam adalah ketika Salman menggambarkan Nabi Muhammad SAW telah salah menerima wahyu yang ternyata datang dari setan.
Beberapa pengarang menggunakan sastra atau kesenian sebagai medium dalam mengekspresikan pikiran. Tak jarang mereka menyadari bahwa karya yang dibuatnya itu bisa memantik kontroversi.
Namun, penyair atau seniman kerap berpandangan bahwa karya sastra tak boleh diadili, apalagi dipidanakan karena itu merupakan buah imajinasi, ekspresi atas kebebasan berpikir. Sastra memiliki ruang otonom sehingga tak seharusnya disangkut-pautkan dengan nilai-nilai di luar dirinya.
Apakah ideologi berkesenian seperti ini pula yang melandasi lahirnya puisi Ibu Indonesia ? Hanya Sukmawati yang tahu. Setelah Sukmawati menyampaikan permintaan maafnya, seyogianya polemik dan kegaduhan diakhiri. Bahwa ada yang tetap membawa kasus ini ke ranah pidana itu harus dihargai, biarkanlah hukum yang menyelesaikannya.
Saat ini polemik dan kontroversi bisa dengan mudah terjadi. Terutama setelah memasuki tahun politik, apa pun menjadi sensitif dan mudah menyulut kegaduhan baru. Politik khas Indonesia tampaknya memang membutuhkan itu, apa boleh buat.
Dalam kondisi seperti ini memang dibutuhkan kebijaksanaan, termasuk dalam urusan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Di sisi lain, seyogianya muncul kesadaran semua pihak untuk memperkuat soliditas bangsa di tengah pertarungan antarbangsa yang kian keras dan ketat. Sayang jika energi anak bangsa lebih banyak terkuras untuk ihwal yang tidak produktif.
(whb)