Menimbang Indonesia 2030

Rabu, 28 Maret 2018 - 09:01 WIB
Menimbang Indonesia...
Menimbang Indonesia 2030
A A A
RIO CHRISTIAWAN
Dosen Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya

HARI-HARI belakangan ini kata 2030 menjadi sangat sensitif. Ihwal sensitifnya kata 2030 ini dimulai dari orasi Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto yang menyebutkan Indonesia akan bubar pada 2030.

Pernyataan tersebut menjadi sangat sensitif karena dilontarkan di tahun politik yang penuh kepentingan pragmatis. Sampailah kita pada hari ini dengan segala perdebatan tentang tahun 2030, meskipun Prabowo sudah memberi klarifikasi soal pernyataannya tersebut. Sebenarnya ramalan bubarnya sebuah negara bukan hal yang baru, Igor Panarin pernah meramalkan Amerika Serikat (AS) bubar pada 2010 dalam sebuah konferensi di Austria.

Bubarnya AS disebabkan karena krisis keuangan dan persoalan ekonomi serta problem sosial dan hukum yang menyebabkan ketidakpercayaan publik. 2010 berlalu dan AS tetap menjadi negara adikuasa, AS kembali diramalkan akan bubar pada 2012 oleh Gerald Celente dikarenakan adanya konflik vertikal dan horizontal yang tidak dapat diselesaikan oleh hukum.

Hingga kini AS tetap menjadi negara adikuasa di planet bumi ini. Selain itu, begitu banyak pengamat yang akan meramalkan India bubar, namun Pemerintah India meyakini bahwa India tidak akan bubar dengan persatuan yang solid dengan menjaga keberagaman daripada menciptakan homogenisasi. Hingga kini India tetap menjadi salah satu potensi besar di Asia.

Pernyataan Prabowo tersebut sebenarnya dapat dimaknai secara positif. Dengan pernyataan tersebut seluruh komponen bangsa menjadi terstimulasi untuk melihat dengan lebih detail parameter kesehatan bangsa Indonesia.

Melihat dengan makna positif tentu bukan dari pernyataan tersebut, tetapi dari reaksi yang ditimbulkan dari pernyataan itu. Tentu reaksi yang timbul bermacam-macam, dari mempertanyakan data, parameter maupun indika tor yang digunakan. Sebenarnya fase inilah yang dapat dimaknai secara positif, ketika seluruh elemen bangsa mengkritik dan mengecek silang data, parameter maupun indikator kesehatan bangsa Indonesia yang timbul dari pernyataan tersebut.

Introspeksi Kerapuhan Bangsa
Pernyataan tersebut membawa kesadaran pada seluruh elemen bangsa terkait seberapa rentan kondisi bangsa Indonesia saat ini sehingga akan dinyatakan bubar pada 2030 yang akan datang. Beberapa hari yang lalu sebuah media massa nasional menampilkan fragile state indeks (FSI) dan kondisi Indonesia meskipun belum dalam tahap stabil tetapi dalam tren yang membaik dalam sepuluh tahun terakhir.

Saat ini kondisi Indonesia mendekati stabil, meskipun dengan beberapa catatan utamanya persoalan multietnis di Indonesia. Persoalan multietnis di Indonesia harus dikelola dengan melestarikan keberagaman tersebut, sebagaimana belajar dari India mengelola keberagaman dalam peradaban yang panjang.

Keberagaman tersebut dikelola dengan melestarikan perbedaan tersebut menjadi satu kekuatan, ketimbang memaksakan menyatukan perbedaan tersebut. Saat ini langkah Pemerintah Indonesia sudah tepat dengan mengampanyekan satu Indonesia, satu Pancasila, satu Bhinneka Tunggal Ika untuk memberikan wawasan bahwa keberagaman tersebut harus dilestarikan dan dikelola untuk menjadi potensi bangsa.

Dalam FSI, yakni indeks kerapuhan bangsa 2017, secara total indeks Indonesia memang membaik, walaupun masih di bawah stabil, namun ada beberapa ancaman serius. Pada indikator penegakan hukum dan perilaku aparat penegak hukum negara indeks Indonesia menurun pada 2017 jika dibanding 2016.

Lalu pada indeks konflik di level elite politik posisi Indonesia selalu tetap dalam lima tahun terakhir, yakni mengkhawatirkan. Indeks kemarahan kelompok dalam masyarakat juga menunjukkan masih pada level yang mengkhawatirkan dalam lima tahun terakhir. Hal yang sama pada indeks perlindungan hak asasi manusia (HAM).

Sebagai perimbangan, sejumlah indikator Indonesia sudah membaik dalam lima tahun di antaranya telah berhasil mengatasi indeks kemunduran ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Indeks lainnya relatif sama dalam lima tahun. Penyelesaian indeks kemunduran ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang tidak merata masih menyisakan pertanyaan mendasar terkait meningkatnya utang luar negeri Indonesia hingga di atas Rp4.000 triliun.

Analisa Ekonomi dari Hukum
Mengenai utang luar negeri, batas aman pemerintah adalah mengacu pada UU Nomor 17/2017 tentang keuangan negara yang menyatakan bahwa utang pemerintah tidak boleh melebihi dari 60% PDB.

Dalam perspektif economic analysis of law UU Nomor 17/2017 bukanlah sebuah jawaban mengingat undang-undang tersebut tidak menjelaskan bagaimana utang luar negeri yang terus meningkat akan dikembalikan di tengah gangguan volatilitas seperti yang terjadi saat ini.

Bisa jadi, dalam tafsir politik, pernyataan terkait 2030 adalah sebagai bentuk upaya kampanye untuk menyoroti kinerja pemerintah setelah timbul kesadaran kolektif untuk kembali pada indeks dan kemajuan bangsa kita. Secara politis tentu dapat dipahami bahwa tujuan oposisi adalah mengajak seluruh masyarakat untuk mengkritik pemerintah.

Tujuan akhirnya adalah ketidakpercayaan publik pada pemerintah sehingga pada pemilu yang akan datang dapat memengaruhi persepsi pilihan masyarakat. Justru semakin gaduh pernyataan 2030 akan semakin menguntungkan posisi politik oposisi. Untuk menjawab pernyataan 2030 pemerintah harus kembali pada roh negara kesejahteraan yang terlihat dari konstitusi dalam Pembukaan UUD 1945.

Pada alinea keempat disebutkan bahwa memajukan kesejahteraan umum merupakan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam amendemen UUD 1945 telah terjadi perubahan dari limited positive right menjadi extensive positive right. Implikasinya adalah mengharuskan pemerintah melakukan pemberdayaan menuju kepada kemandirian untuk terwujudnya negara kesejahteraan.

Dalam konteks politik hukum saat ini, secara konkret yang dapat dilakukan pemerintah adalah membuat regulasi untuk mengatasi gap persoalan yang muncul pada indeks kerapuhan bangsa tersebut. Lalu menunjukkan kepada publik hasil nyata dari regulasi baik terkait penegakan hukum dan HAM dan persoalan indeks perekonomian yang manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia dan 2030.

Karena itu, ada baiknya pernyataan Prabowo soal Indonesia 2030 ini ditanggapi dengan kerja, kerja, kerja yang lebih efektif guna mengambil hati rakyat ketimbang memberi pertunjukan debat antarpara elite.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0712 seconds (0.1#10.140)