Ghost Fleet dan Prabowo
A
A
A
Syaefudin Simon Alumnus UGM/Associate Leadership for Environment
and Development, New York/Tim Ahli Fraksi PPP DPR RI
JIKA sastra dan politik menyatu—kata Kennedy—dunia makin santun. Tapi bila dunia sastra Amerika dan politik Indonesia menyatu, apakah kesantunan itu terjadi?
Itulah yang terjadi hari-hari ini ketika Prabowo Subianto mengutip sebagian narasi dari sastra Amerika dalam novel Ghost Fleet : A Novel of The Next World War karya Peter Warren Singer dan August Cole. Prabowo mengutip sebagian narasi novel itu yang menceritakan Indonesia akan bubar tahun 2030. Kutipan kecil dari novel Ghost Fleet itu langsung memicu kontroversi di dunia nyata dan maya. Hal yang jadi pertanyaan publik, kenapa narasi fiksi novel Ghost Fleet dikutip seakan-akan Indonesia akan bubar tahun 2030?
Jika saja Prabowo menyampaikan “Indonesia bubar tahun 2030” ketika ngobrol di warung kopi dengan teman-temannya sambil bercanda, mungkin masalahnya tak seserius ini. Masalahnya, Prabowo menyampaikan di acara konferensi nasional dan temu kader Partai Gerindra yang diunggah dalam akun resmi Gerindra, Senin (19/3/2018).
Prabowo juga pernah menyatakan hal sama di depan sivitas akademika Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (18/9/2017) saat tampil menjadi pembicara pada seminar bertema masa depan Indonesia. Saat itu, Prabowo bahkan menyerahkan buku novel Ghost Fleet yang dibelinya di New York kepada FEB UI. Sebuah sikap meyakinkan bahwa apa yang dikatakannya bersumber dari prediksi yahud.
Kenapa imajinasi dalam novel Ghost Fleet itu dapat dipercaya orang selevel Prabowo? Alasannya, Peter Warren Singer bukan orang sembarangan. PW Singer adalah ahli ilmu politik luar negeri yang mendapatkan gelar PhD dari Harvard University—sebuah universitas terbaik di Amerika. Mengomentari fiksi yang menjadi rujukan, teman saya Ir Masduki—pensiunan pejabat tinggi di Kementerian Dalam Negeri menyatakan, “Sangat kecil kemungkinan fiksi menjadi kenyataan. Namun sangat mungkin, rekayasa nyata ditulis bergaya fiksi.” Tampaknya, Ir Masduki meyakini betul bahwa fiksi dari PW Singer dan August Cole itu akan terealisasi.
Tak hanya Ir Masduki yang menganggap prediksi imajinatif Singer dan Comte akan benar-benar terjadi. Dr James G Stavridis, pensiunan Laksamana Angkatan Laut Amerika Serikat yang kini menjadi dekan di Fakultas Hubungan Internasional di Tufts University, juga menganggap hal sama. Stavridis menyebutkan buku Ghost Fleet bisa menjadi blue print untuk memahami perang masa depan. “Pemimpin militer di Amerika kudu mewajibkan para tentara membacanya,” ujarnya.
Langit Makin Mendung
Setengah abad sebelum geger novel Ghost Fleet, Indonesia pernah juga digegerkan narasi cerpen Langit Makin Mendung (LMM) karya Ki Panji Kusmin. Ceritanya, majalah Sastra yang dipimpin HB Jassin, tahun 1968 memuat cerpen berjudul Langit Makin Mendung yang narasinya mengupas kemunculan Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril di Senen, Jakarta.
Alkisah, tulis Ki Panji Kusmin, Allah mengizinkan Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril untuk turun ke bumi. Tujuannya: menyelidiki kenapa umat Islam makin banyak yang dijebloskan ke neraka.
Berkendaraan buroq, Muhammad yang didamping Jibril turun ke bumi Indonesia. Tapi celaka! Di tengah jalan, kendaraannya bertabrakan dengan Sputnik, satelit milik Rusia. Sputnik hancur. Buroq juga hancur. Muhammad dan Jibril terlempar ke awan. Lalu keduanya turun ke bumi, menyamar jadi elang. Kedua elang itu bertengger di Monas dan mengunjungi lokalisasi pelacuran di Senen untuk mengamati kelakuan manusia. Kedua makhluk suci itu akhirnya tahu, kenapa manusia akhir-akhir ini banyak dijebloskan ke neraka. Penyebabnya prostitusi.
Umat Islam marah. Mereka menganggap Ki Panji Kusmin menghina Islam. Mereka menuntut Ki Panji Kusmin diadili. Namun, HB Jassin pasang badan. Ia menyembunyikan jati diri Ki Panji Kusmin.
Siapa Ki Panji Kusmin penulis cerpen itu? Sampai hari ini tak ada yang tahu. Jassin sebagai pimpinan redaksi majalah Sastra yang bertanggung jawab atas pemuatan cerpen tersebut, saat diadili, tak mau memberitahukan hakim, siapa gerangan Ki Panji Kusmin. Jassin pun divonis bersalah: satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Sampai Jassin wafat, 11 Maret 2000, sang Paus Sastra itu tetap menyembunyikan siapa gerangan Ki Panji Kusmin.
Gambaran kisah fiksi di atas sekadar menunjukkan betapa liarnya imajinasi Ki Panji Kusmin yang menulis cerpen LMM. Jelas imajinasi Ki Panji Kusmin tak patut, bahkan haram jadi rujukan ilmiah. Dalam perspektif sama, apakah narasi novel Ghost Fleet yang menyatakan Indonesia bubar tahun 2030 patut dikutip dan diunggah dalam situs resmi Gerindra, partai oposisi terbesar Rezim Jokowi? Anda pasti tahu jawabannya.
Topik utama novel Ghost Fleet sebenarnya lebih mengulas bangkitnya China selaku superpower yang akan melampaui Amerika Serikat. Soal Indonesia sendiri sebenarnya hanya disinggung sambil lalu. Saat itu, dalam novel Ghost Fleet, China dipimpin “kelas baru” yang disebutnya sebagai directorate. Ini elite gabungan antara kelas pengusaha kakap bersama para pemimpin tentara. Elite ini menggantikan pemimpin partai komunis yang sudah usang.
China selain lebih kaya sumber dayanya dari AS, juga lebih cepat menemukan persenjataan supramodern. Di antaranya senjata “cyber attack” yang mampu melumpuhkan aneka sistem elektronik, bahkan paling canggih di Amerika sekali pun. Indonesia saat itu, tahun 2030, menjadi negara gagal (failed state). Sebuah kondisi yang membuatnya bubar seperti Uni Soviet dan Yugoslavia, dua negara yang hilang dalam peta (Denny, 2018).
Imajinasi Ghost Fleet ini jelas jauh bertentangan dengan prediksi lembaga pemeringkat Pricewaterhouse Coopers (PwC). PwC meramalkan bahwa Indonesia pada 2030 menjadi big emerging market. Menurut prediksi (catat: bukan imajinasi karena analisisnya berdasarkan data dan fakta) Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian terkuat di Asia Tenggara. Indonesia, catat PwC, setelah 2030, mempunyai kekuatan ekonomi nomor empat di dunia setelah China, Amerika, dan India.
Sekarang kembali ke negara gagal. Jika saja narasi novel Ghost Fleet yang dikutip Prabowo bahwa Indonesia menjadi negara gagal dan bubar tahun 2030, maka dari aspek mana imajinasinya?
Negara gagal adalah sebuah kondisi ketika kemampuan pemerintah mengelola kompleksitas negara berada pada titik nadir. Indikatornya, ekonomi hancur, kemiskinan bertambah, kerusuhan dan anarkisme meruyak di mana-mana. Pusat kehilangan legitimasi karena korupsi dan pembusukan moral terjadi di semua sistem kenegaraan, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Bagaimana faktanya Indonesia? Dalam Fragile State Index 2017, ternyata peringkat Indonesia tetap berada di posisi aman. Kondisi Indonesia, misalnya, lebih baik dibandingkan dengan Iran dan Pakistan, meski lebih rentan dari Singapura, Malaysia, dan Brunei. Rangking Indonesia berada di nomor 94 dari 178 negara yang diukur. Dari data kuantitatif di atas, prediksi novel Ghost Fleet itu agak berlebihan.
Dengan mengambil sisi positifnya, anggap saja prediksi novel itu sebagai wake up call. Namun, jangan dijadikan alat kampanye untuk mendiskreditkan pemerintah. Bila ini terjadi, hanya akan memanaskan suhu politik yang merugikan kita semua.
Pada akhirnya, heboh Ghost Fleet sampai juga kepada penulisnya, PW Singer dan August Cole. Singer dalam cuitannya di Twitter menulis: kehebohan ini sungguh tak terduga. Cole juga mencuit: This is fiction, not prediction.
Pada tahun politik memang banyak hal aneh. Fiksi tiba-tiba dianggap prediksi. Sementara realitas dianggap imajinasi. Eh, imajinasi malah dianggap realitas! Catat, seperti halnya Langit Makin Mendung, Ghost Fleet hanya imajinasi. Tak lebih dari itu!
and Development, New York/Tim Ahli Fraksi PPP DPR RI
JIKA sastra dan politik menyatu—kata Kennedy—dunia makin santun. Tapi bila dunia sastra Amerika dan politik Indonesia menyatu, apakah kesantunan itu terjadi?
Itulah yang terjadi hari-hari ini ketika Prabowo Subianto mengutip sebagian narasi dari sastra Amerika dalam novel Ghost Fleet : A Novel of The Next World War karya Peter Warren Singer dan August Cole. Prabowo mengutip sebagian narasi novel itu yang menceritakan Indonesia akan bubar tahun 2030. Kutipan kecil dari novel Ghost Fleet itu langsung memicu kontroversi di dunia nyata dan maya. Hal yang jadi pertanyaan publik, kenapa narasi fiksi novel Ghost Fleet dikutip seakan-akan Indonesia akan bubar tahun 2030?
Jika saja Prabowo menyampaikan “Indonesia bubar tahun 2030” ketika ngobrol di warung kopi dengan teman-temannya sambil bercanda, mungkin masalahnya tak seserius ini. Masalahnya, Prabowo menyampaikan di acara konferensi nasional dan temu kader Partai Gerindra yang diunggah dalam akun resmi Gerindra, Senin (19/3/2018).
Prabowo juga pernah menyatakan hal sama di depan sivitas akademika Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (18/9/2017) saat tampil menjadi pembicara pada seminar bertema masa depan Indonesia. Saat itu, Prabowo bahkan menyerahkan buku novel Ghost Fleet yang dibelinya di New York kepada FEB UI. Sebuah sikap meyakinkan bahwa apa yang dikatakannya bersumber dari prediksi yahud.
Kenapa imajinasi dalam novel Ghost Fleet itu dapat dipercaya orang selevel Prabowo? Alasannya, Peter Warren Singer bukan orang sembarangan. PW Singer adalah ahli ilmu politik luar negeri yang mendapatkan gelar PhD dari Harvard University—sebuah universitas terbaik di Amerika. Mengomentari fiksi yang menjadi rujukan, teman saya Ir Masduki—pensiunan pejabat tinggi di Kementerian Dalam Negeri menyatakan, “Sangat kecil kemungkinan fiksi menjadi kenyataan. Namun sangat mungkin, rekayasa nyata ditulis bergaya fiksi.” Tampaknya, Ir Masduki meyakini betul bahwa fiksi dari PW Singer dan August Cole itu akan terealisasi.
Tak hanya Ir Masduki yang menganggap prediksi imajinatif Singer dan Comte akan benar-benar terjadi. Dr James G Stavridis, pensiunan Laksamana Angkatan Laut Amerika Serikat yang kini menjadi dekan di Fakultas Hubungan Internasional di Tufts University, juga menganggap hal sama. Stavridis menyebutkan buku Ghost Fleet bisa menjadi blue print untuk memahami perang masa depan. “Pemimpin militer di Amerika kudu mewajibkan para tentara membacanya,” ujarnya.
Langit Makin Mendung
Setengah abad sebelum geger novel Ghost Fleet, Indonesia pernah juga digegerkan narasi cerpen Langit Makin Mendung (LMM) karya Ki Panji Kusmin. Ceritanya, majalah Sastra yang dipimpin HB Jassin, tahun 1968 memuat cerpen berjudul Langit Makin Mendung yang narasinya mengupas kemunculan Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril di Senen, Jakarta.
Alkisah, tulis Ki Panji Kusmin, Allah mengizinkan Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril untuk turun ke bumi. Tujuannya: menyelidiki kenapa umat Islam makin banyak yang dijebloskan ke neraka.
Berkendaraan buroq, Muhammad yang didamping Jibril turun ke bumi Indonesia. Tapi celaka! Di tengah jalan, kendaraannya bertabrakan dengan Sputnik, satelit milik Rusia. Sputnik hancur. Buroq juga hancur. Muhammad dan Jibril terlempar ke awan. Lalu keduanya turun ke bumi, menyamar jadi elang. Kedua elang itu bertengger di Monas dan mengunjungi lokalisasi pelacuran di Senen untuk mengamati kelakuan manusia. Kedua makhluk suci itu akhirnya tahu, kenapa manusia akhir-akhir ini banyak dijebloskan ke neraka. Penyebabnya prostitusi.
Umat Islam marah. Mereka menganggap Ki Panji Kusmin menghina Islam. Mereka menuntut Ki Panji Kusmin diadili. Namun, HB Jassin pasang badan. Ia menyembunyikan jati diri Ki Panji Kusmin.
Siapa Ki Panji Kusmin penulis cerpen itu? Sampai hari ini tak ada yang tahu. Jassin sebagai pimpinan redaksi majalah Sastra yang bertanggung jawab atas pemuatan cerpen tersebut, saat diadili, tak mau memberitahukan hakim, siapa gerangan Ki Panji Kusmin. Jassin pun divonis bersalah: satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Sampai Jassin wafat, 11 Maret 2000, sang Paus Sastra itu tetap menyembunyikan siapa gerangan Ki Panji Kusmin.
Gambaran kisah fiksi di atas sekadar menunjukkan betapa liarnya imajinasi Ki Panji Kusmin yang menulis cerpen LMM. Jelas imajinasi Ki Panji Kusmin tak patut, bahkan haram jadi rujukan ilmiah. Dalam perspektif sama, apakah narasi novel Ghost Fleet yang menyatakan Indonesia bubar tahun 2030 patut dikutip dan diunggah dalam situs resmi Gerindra, partai oposisi terbesar Rezim Jokowi? Anda pasti tahu jawabannya.
Topik utama novel Ghost Fleet sebenarnya lebih mengulas bangkitnya China selaku superpower yang akan melampaui Amerika Serikat. Soal Indonesia sendiri sebenarnya hanya disinggung sambil lalu. Saat itu, dalam novel Ghost Fleet, China dipimpin “kelas baru” yang disebutnya sebagai directorate. Ini elite gabungan antara kelas pengusaha kakap bersama para pemimpin tentara. Elite ini menggantikan pemimpin partai komunis yang sudah usang.
China selain lebih kaya sumber dayanya dari AS, juga lebih cepat menemukan persenjataan supramodern. Di antaranya senjata “cyber attack” yang mampu melumpuhkan aneka sistem elektronik, bahkan paling canggih di Amerika sekali pun. Indonesia saat itu, tahun 2030, menjadi negara gagal (failed state). Sebuah kondisi yang membuatnya bubar seperti Uni Soviet dan Yugoslavia, dua negara yang hilang dalam peta (Denny, 2018).
Imajinasi Ghost Fleet ini jelas jauh bertentangan dengan prediksi lembaga pemeringkat Pricewaterhouse Coopers (PwC). PwC meramalkan bahwa Indonesia pada 2030 menjadi big emerging market. Menurut prediksi (catat: bukan imajinasi karena analisisnya berdasarkan data dan fakta) Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian terkuat di Asia Tenggara. Indonesia, catat PwC, setelah 2030, mempunyai kekuatan ekonomi nomor empat di dunia setelah China, Amerika, dan India.
Sekarang kembali ke negara gagal. Jika saja narasi novel Ghost Fleet yang dikutip Prabowo bahwa Indonesia menjadi negara gagal dan bubar tahun 2030, maka dari aspek mana imajinasinya?
Negara gagal adalah sebuah kondisi ketika kemampuan pemerintah mengelola kompleksitas negara berada pada titik nadir. Indikatornya, ekonomi hancur, kemiskinan bertambah, kerusuhan dan anarkisme meruyak di mana-mana. Pusat kehilangan legitimasi karena korupsi dan pembusukan moral terjadi di semua sistem kenegaraan, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Bagaimana faktanya Indonesia? Dalam Fragile State Index 2017, ternyata peringkat Indonesia tetap berada di posisi aman. Kondisi Indonesia, misalnya, lebih baik dibandingkan dengan Iran dan Pakistan, meski lebih rentan dari Singapura, Malaysia, dan Brunei. Rangking Indonesia berada di nomor 94 dari 178 negara yang diukur. Dari data kuantitatif di atas, prediksi novel Ghost Fleet itu agak berlebihan.
Dengan mengambil sisi positifnya, anggap saja prediksi novel itu sebagai wake up call. Namun, jangan dijadikan alat kampanye untuk mendiskreditkan pemerintah. Bila ini terjadi, hanya akan memanaskan suhu politik yang merugikan kita semua.
Pada akhirnya, heboh Ghost Fleet sampai juga kepada penulisnya, PW Singer dan August Cole. Singer dalam cuitannya di Twitter menulis: kehebohan ini sungguh tak terduga. Cole juga mencuit: This is fiction, not prediction.
Pada tahun politik memang banyak hal aneh. Fiksi tiba-tiba dianggap prediksi. Sementara realitas dianggap imajinasi. Eh, imajinasi malah dianggap realitas! Catat, seperti halnya Langit Makin Mendung, Ghost Fleet hanya imajinasi. Tak lebih dari itu!
(kri)