E-KTP dan Pilkada

Senin, 26 Maret 2018 - 08:00 WIB
E-KTP dan Pilkada
E-KTP dan Pilkada
A A A
HARI pencoblosan Pilkada Serentak 2018 tersisa tiga bulan. Namun sejumlah soal belum juga terselesaikan. Salah satunya menyangkut jutaan warga yang terancam kehi­langan hak pilihnya.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengungkap data bahwa hingga kini masih ada 6.768.025 pemilih yang belum memiliki KTP elektronik (e-KTP). Mereka ini bagian dari 152,9 juta pemilih di 171 daerah yang masuk daftar pemilih sementara (DPS).

Tidak hanya itu, 6,7 juta pemilih tersebut juga belum mengantongi surat keterangan (suket) yang berfungsi sebagai pengganti e-KTP dan bisa dibawa ke TPS pada 27 Juni nanti.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) buru-buru meng­klarifikasi pernyataan KPU dan menyebut bahwa jumlah pemilih yang belum memiliki e-KTP dan suket hanya 4,6 juta karena ada 2,1 juta pemilih pemula yang baru saja berusia 17 tahun. Sesuai dengan aturan Undang-Undang No 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, penduduk yang belum berusia 17 tahun memang belum di­perbolehkan me­miliki e-KTP.

Jumlah warga yang tak mengantongi e-KTP sebanyak 4,6 juta ini setara 2,6% dari seluruh penduduk Indonesia wajib KTP yang jum­lahnya 185.249.711 jiwa. Dari segi persentase angka 2,6% memang kecil.

Namun jika bicara data pemilih itu tidak melulu soal besar ke­cilnya angka. Satu suara pun sangat berarti karena itu menyangkut hak pilih warga yang dijamin konstitusi. Sangat disayangkan jika banyak warga yang kembali harus golput hanya karena terkendala syarat administrasi.

Artinya jika kembali terjadi, pemerintah tidak be­lajar dari pengalaman di dua pilkada serentak sebelumnya, yakni pada 2015 dan 2017. Saat itu kasus warga yang kehilangan hak pilih­n­ya karena tak mengantongi e-KTP sudah mencuat.

Pemerintah sebenarnya memiliki waktu yang cukup panjang untuk menyelesaikan perekaman e-KTP ini. Namun, sayang, persoalan ini harus berulang di pilkada serentak tahap ketiga ini. Melihat kondisi ini, Kemendagri tidak punya pilihan selain berpacu dengan waktu.

Jumlah warga yang tidak mengantongi e-KTP hingga hari pencoblosan harus bisa ditekan seminimal mungkin. Dengan kata lain, harus ada upaya keras untuk mendorong warga melakukan perekaman data di sisa waktu yang ada.

Langkah Kemendagri yang merespons “peringatan” dari KPU dengan cara menjemput bola sudah tepat. Saat ini pelayanan pembuatan e-KTP keliling di sekolah, kampus, perkantoran, pusat perbelanjaan hingga pesantren-pesantren dan desa kembali digenjot.

Dengan diungkapnya data oleh KPU ini, Kemendagri seharusnya bisa lebih mudah melakukan perekaman karena bisa mengetahui lokasi keberadaan pemilih yang tidak memiliki e-KTP.

Namun upaya menyelamatkan suara pemilih di pilkada tentu bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Seluruh stakeholder pilkada, termasuk masyarakat, harus ikut mendukung.

KPU di 514 kabupaten/kota dan 31 provinsi harus mendukung dengan cara menuntaskan verifikasi data secara digital untuk me­nge­tahui apakah calon pemilih di daerahnya sudah memiliki e-KTP dan melakukan perekaman atau belum. KPU seyogianya me­man­faatkan akses ke data kependudukan yang diberikan Ke­mendagri.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) selaku pengawas juga perlu terlibat dengan memperbanyak posko pelayanan. Ini juga akan sangat membantu calon pemilih yang belum melakukan pe­rekaman.

Terakhir, diperlukan kesadaran dari warga untuk proaktif mendatangi tempat-tempat pelayanan perekaman, baik yang ada di desa/kelurahan, tempat perbelanjaan, kantor kecamatan atau kantor dinas dukcapil. Upaya keras pemerintah seyogianya didukung warga dengan proaktif melaporkan dirinya jika belum terdata.

Langkah ini tentu jauh lebih menyelesaikan masalah ketimbang ramai-ramai protes karena tak bisa mencoblos saat pemungutan suara digelar.
Proyek e-KTP ini ibarat benang kusut yang tidak juga kunjung terurai.

Untuk itu kerja sama semua pihak sangat diperlukan. Perlu ada komitmen bahwa kasus warga terancam kehilangan hak pilih di pilkada ini adalah yang terakhir. Diharapkan masalah e-KTP tidak lagi ditemui pada pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden (pileg dan pilpres) yang akan digelar pada April 2019. Peringatan ini penting karena data pemilih akan jauh lebih sensitif jika itu menyangkut pelaksanaan pilpres.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4758 seconds (0.1#10.140)