Utang Pemerintah Naik
A
A
A
LAJU utang pemerintah seperti tak tertahankan. Angka utang terus menggelembung hingga menembus sebesar Rp4.034,8 triliun per Februari lalu. Angka tersebut telah meningkat sekitar 13,46% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.
Adapun rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) berada dilevel 29,24%. Dari total utang pemerintah yang kini dipertanyakan oleh sejumlah kalangan sebagian besar berdenominasi rupiah sebesar Rp2.365,25 triliun atau sekitar 59%, dan selebihnya 41% dalam denominasi valuta asing (Valas) sebesar Rp1.669,54 triliun.
Utang dalam denominasi rupiah berbentuk surat berharga negara (SBN), sedang denominasi Valas terbagi dua, yakni dalam bentuk SBN sebesar Rp897,78 triliun, dan pinjaman luar negeri sebesar Rp771,76 triliun. Setiap kali jumlah utang yang nilainya nyaris dua kali lipat darinilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 dikritisi masyarakat, pemerintah selalu mencoba menenangkan bahwa utang saat ini masih wajar dan tak perlu dicemaskan.
Untuk pinjaman luar negeri yang tercatat sebesar Rp771,6 triliun bersumber dari pinjaman multilateral sebesar Rp396,02 triliun, pinjaman bilateral sekitar Rp331,24 triliun, dan pinjaman komersial sebanyak Rp43,32 trliun, serta pinjamansupplierssebesar Rp1,17 triliun. Pinjaman luar negeri, baik yang berbentuk bilateral maupun multilateral, pada umumnya memiliki jangka waktu yang panjang dengan tingkat bunga yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan pinjaman komersial.
Sejumlah negara sudah menjadi langganan tetap Indonesia terkait pinjaman bilateral, yakni Jepang tercatat diurutan pertama sebesar Rp199,57 triliun atau 60,3%, lalu Jerman sebanyak Rp32,07 triliun atau 9,7%, disusul Perancis sekitar Rp29,87 triliun atau 9%, dan China mencapai Rp18,09 triliun atau 5,5% serta Amerika Serikat tercatat Rp7,57 triliun atau 2,3%.
Adapun pinjaman multilateral berasal dari World Bank sebesar Rp249,67 triliun atau 63%, Asian Development Bank sekitar Rp130,28 triliun atau 32,9%, dan Islamic Development Bank sebanyak Rp12,7 triliun atau 3,2%.
Masih amankah dengan jumlah utang yang terus mengelembung itu? Dari suara pemerintah sudah pasti jawabannya aman. Hal itu bisadisimak penjelasan dari Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan, Kementerian Keuangan, Scenaider Siahaan, yang meminta masyarakat tak perlu khawatir meski utang pemerintah sudah bertengger di atas Rp 4.000 triliun. Alasannya, besaran cicilan utang pemerintah masih tergolong kecil dibandingkan dengan penerimaan negara setiap tahun.Masa jatuh tempo total utang pemerintah sekitar sembilan tahun.
Hitungan Scenaider begini, total utang dibagi dengan waktu jatuh tempo maka setiap tahun pemerintah harus membayar cicilan Rp450 triliun. Adapun realisasi penerimaan negara berdasarkan data Kementerian Keuangan pada 2017 tercatat sebesar Rp1.659,9 triliun atau 95,6% dari target APBN Perubahan 2017.
Artinya, besaran cicilan utang pemerintah yang mencapai Rp450 triliun per tahun hanya sekitar 27,11% terhadap penerimaan negara dari pajak dan non pajak. Karena itu, pemerintah meyakini besaran cicilan utang itu masih dalam kategori aman.
Selain itu, dilihat dari sisi rasio utang terhadap PDB yang kini tercatat sekitar 29,24%, pemerintah masih penuh percaya diri bahwa utang masih dalam batas aman. Bandingkan sejumlah negara Asia Tenggara lainnya, seperti rasio utang Vietnam sekitar 63,4%, Malaysia mencapai 52,7% dan Thailand sebesar 41,8%.
Karena itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tak bisa memahami aksi pihak-pihak tertentu yang dinilai selalu memprovokasi masyarakat dengan isu jumlah utang pemerintah. Mantan petinggi Bank Dunia itu meyakini Indonesia tidak akan runtuh dengan melihat rasio utang yang terkontrol.
Namun ada pandangan lain bahwa meningkatnya utang pemerintah tetap tidak bebas dari risiko. Utang bisa menjadi ancaman dengan melihat dari porsi kepemilikan surat utang (SBN) yang diterbitkan pemerintah. Saat ini, berdasarkan data dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) ternyata porsi kepemilikan asing pada SBN mencapai sebanyak 40%. Kalau asing yang pegang surat utang risikonya hampir sama dengan utang luar negeri. Jadi, pemerintah tetap harus waspada menarik utang.
Adapun rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) berada dilevel 29,24%. Dari total utang pemerintah yang kini dipertanyakan oleh sejumlah kalangan sebagian besar berdenominasi rupiah sebesar Rp2.365,25 triliun atau sekitar 59%, dan selebihnya 41% dalam denominasi valuta asing (Valas) sebesar Rp1.669,54 triliun.
Utang dalam denominasi rupiah berbentuk surat berharga negara (SBN), sedang denominasi Valas terbagi dua, yakni dalam bentuk SBN sebesar Rp897,78 triliun, dan pinjaman luar negeri sebesar Rp771,76 triliun. Setiap kali jumlah utang yang nilainya nyaris dua kali lipat darinilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 dikritisi masyarakat, pemerintah selalu mencoba menenangkan bahwa utang saat ini masih wajar dan tak perlu dicemaskan.
Untuk pinjaman luar negeri yang tercatat sebesar Rp771,6 triliun bersumber dari pinjaman multilateral sebesar Rp396,02 triliun, pinjaman bilateral sekitar Rp331,24 triliun, dan pinjaman komersial sebanyak Rp43,32 trliun, serta pinjamansupplierssebesar Rp1,17 triliun. Pinjaman luar negeri, baik yang berbentuk bilateral maupun multilateral, pada umumnya memiliki jangka waktu yang panjang dengan tingkat bunga yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan pinjaman komersial.
Sejumlah negara sudah menjadi langganan tetap Indonesia terkait pinjaman bilateral, yakni Jepang tercatat diurutan pertama sebesar Rp199,57 triliun atau 60,3%, lalu Jerman sebanyak Rp32,07 triliun atau 9,7%, disusul Perancis sekitar Rp29,87 triliun atau 9%, dan China mencapai Rp18,09 triliun atau 5,5% serta Amerika Serikat tercatat Rp7,57 triliun atau 2,3%.
Adapun pinjaman multilateral berasal dari World Bank sebesar Rp249,67 triliun atau 63%, Asian Development Bank sekitar Rp130,28 triliun atau 32,9%, dan Islamic Development Bank sebanyak Rp12,7 triliun atau 3,2%.
Masih amankah dengan jumlah utang yang terus mengelembung itu? Dari suara pemerintah sudah pasti jawabannya aman. Hal itu bisadisimak penjelasan dari Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan, Kementerian Keuangan, Scenaider Siahaan, yang meminta masyarakat tak perlu khawatir meski utang pemerintah sudah bertengger di atas Rp 4.000 triliun. Alasannya, besaran cicilan utang pemerintah masih tergolong kecil dibandingkan dengan penerimaan negara setiap tahun.Masa jatuh tempo total utang pemerintah sekitar sembilan tahun.
Hitungan Scenaider begini, total utang dibagi dengan waktu jatuh tempo maka setiap tahun pemerintah harus membayar cicilan Rp450 triliun. Adapun realisasi penerimaan negara berdasarkan data Kementerian Keuangan pada 2017 tercatat sebesar Rp1.659,9 triliun atau 95,6% dari target APBN Perubahan 2017.
Artinya, besaran cicilan utang pemerintah yang mencapai Rp450 triliun per tahun hanya sekitar 27,11% terhadap penerimaan negara dari pajak dan non pajak. Karena itu, pemerintah meyakini besaran cicilan utang itu masih dalam kategori aman.
Selain itu, dilihat dari sisi rasio utang terhadap PDB yang kini tercatat sekitar 29,24%, pemerintah masih penuh percaya diri bahwa utang masih dalam batas aman. Bandingkan sejumlah negara Asia Tenggara lainnya, seperti rasio utang Vietnam sekitar 63,4%, Malaysia mencapai 52,7% dan Thailand sebesar 41,8%.
Karena itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tak bisa memahami aksi pihak-pihak tertentu yang dinilai selalu memprovokasi masyarakat dengan isu jumlah utang pemerintah. Mantan petinggi Bank Dunia itu meyakini Indonesia tidak akan runtuh dengan melihat rasio utang yang terkontrol.
Namun ada pandangan lain bahwa meningkatnya utang pemerintah tetap tidak bebas dari risiko. Utang bisa menjadi ancaman dengan melihat dari porsi kepemilikan surat utang (SBN) yang diterbitkan pemerintah. Saat ini, berdasarkan data dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) ternyata porsi kepemilikan asing pada SBN mencapai sebanyak 40%. Kalau asing yang pegang surat utang risikonya hampir sama dengan utang luar negeri. Jadi, pemerintah tetap harus waspada menarik utang.
(thm)