Rekonsiliasi Sunda-Jawa
A
A
A
SUNDA dan Jawa akhirnya berdamai soal sejarah kelam 661 tahun yang lalu. Dua suku terbesar di Indonesia ini memang saling terluka akibat Perang Bubat ketika era Majapahit di Raja Hayam Wuruk.
Perseteruan itu begitu tampak pada nama-nama jalan di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, atau Jawa Timur (tiga daerah tersebut mempunyai ikatan sejarah dengan Kerajaan Majapahit) yang tak satu pun berbau Sunda. Begitu juga, jangan berharap nama berbau Kerajaan Majapahit seperti Hayam Wuruk atau Gajah Mada terdapat pada jalan-jalan di wilayah Jawa Barat.
Bahkan ada pesan dari sebagian orang tua kepada anaknya untuk tidak menikah dengan orang Sunda bagi orang Jawa, begitu juga sebaliknya. Meskipun, bagi anak-anak sekarang, pesan itu sudah tidak diindahkan lagi. Peristiwa kelam nenek moyang dua suku tersebut memang terus diturunkan hingga beberapa waktu lalu terjadi rekonsiliasi antara Sunda dan Jawa.
Hingga pada 6 Maret 2018 tiga gubernur, yaitu Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher), Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, dan Gubernur Jawa Timur Soekarwo, berkumpul untuk melakukan rekonsiliasi. Hasil konkret dari rekonsiliasi tersebut akan ada nama-nama jalan berbau Majapahit di Tanah Pasundan, begitu juga akan nama-nama berbau Pasundan di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Aher dalam pertemuan tersebut meminta semua pihak menghilangkan dendam sejarah.
“Berdamailah dengan sejarah, jadikanlah sebagai pelajaran agar kejadian buruk di masa lalu tidak terulang di masa depan,” kata Aher. Pesan yang hampir sama juga disampaikan oleh Sri Sultan dan Soekarwo.
Memang sudah sepantasnya kita semua menghilangkan dendam sejarah. Jawa dan Sunda yang mempunyai peradaban tinggi bagi Indonesia harus benar-benar menghilangkan dendam tersebut. Sejarah semestinya bisa menjadi pelajaran bagi kita semua untuk masa kini dan masa depan.
Jika kita mempunyai sejarah kelam, pelajaran yang harus kita petik adalah jangan mengulangi sejarah tersebut atau melakukan yang sama. Namun, jika ada sejarah yang positif, tentu ini bisa menjadi contoh bagi masa kini dan masa depan pula. Sejarah berguna untuk menjalani kehidupan masa kini dan masa depan dengan baik.
Bukan malah sebaliknya, sejarah justru menyulutkan dendam terus-menerus sehingga membuat masyarakat luas terbawa. Sudah banyak contoh dendam sejarah yang ada di dunia ini diselesaikan dengan baik. Dan, Indonesia yang dikenal dengan bangsa besar tentunya harus terus melakukan ini.
Sri Sultan pun mengatakan bahwa penting mengetahui sejarah dan menghilangkan sekat-sekat kesalahpahaman yang telah terjadi pada masa lalu. Setiap etnik yang ada menjadi bagian bangsa Indonesia itu sendiri.
Menurut dia, rekonsiliasi antarbudaya, antaretnik membutuhkan prasyarat utama, yakni memperbaiki hubungan antarmanusia yang sebelumnya mengalami kecelakaan sejarah. Soekarwo menyebut upaya rekonsiliasi yang diupayakan ini merupakan langkah berani dan layak ditempuh semua elemen bangsa karena keberagaman merupakan sumber kekuatan bangsa Indonesia.
Rekonsiliasi Sunda-Jawa ini bisa menjadi contoh bagi para pemimpin bangsa ini sekarang. Beberapa friksi pandangan, pemikiran, ataupun perbedaan pandangan politik semestinya bisa direkonsiliasi dengan baik. Tujuannya adalah bangsa ini menjadi semakin besar.
Bayangkan jika dendam politik masa lalu terus dipupuk, apakah akan menjadi hal yang produktif? Bukankah dendam akan memunculkan dendam yang baru? Rekonsiliasi Sunda-Jawa ini benar-benar bisa menjadi contoh kita semua dalam meninggalkan ego pribadi atau kelompok.
Sudah sepatutnya dendam masa lalu (baik sosial ataupun politik) perlu disimpan yang dalam dan membuka lembaran baru demi bangsa ini. Kita semua ingin bangsa ini menjadi besar. Bangsa besar dibangun dengan kebersamaan, bukan dengan cara memupuk dendam.
Kita semua mengapresiasi rekonsiliasi Sunda-Jawa. Ini adalah contoh kehidupan berbangsa Indonesia yang baik. Contoh sudah ada. Tinggal kita apakah memiliki kemauan tidak untuk mencontoh rekonsiliasi Sunda-Jawa.
Perseteruan itu begitu tampak pada nama-nama jalan di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, atau Jawa Timur (tiga daerah tersebut mempunyai ikatan sejarah dengan Kerajaan Majapahit) yang tak satu pun berbau Sunda. Begitu juga, jangan berharap nama berbau Kerajaan Majapahit seperti Hayam Wuruk atau Gajah Mada terdapat pada jalan-jalan di wilayah Jawa Barat.
Bahkan ada pesan dari sebagian orang tua kepada anaknya untuk tidak menikah dengan orang Sunda bagi orang Jawa, begitu juga sebaliknya. Meskipun, bagi anak-anak sekarang, pesan itu sudah tidak diindahkan lagi. Peristiwa kelam nenek moyang dua suku tersebut memang terus diturunkan hingga beberapa waktu lalu terjadi rekonsiliasi antara Sunda dan Jawa.
Hingga pada 6 Maret 2018 tiga gubernur, yaitu Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher), Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, dan Gubernur Jawa Timur Soekarwo, berkumpul untuk melakukan rekonsiliasi. Hasil konkret dari rekonsiliasi tersebut akan ada nama-nama jalan berbau Majapahit di Tanah Pasundan, begitu juga akan nama-nama berbau Pasundan di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Aher dalam pertemuan tersebut meminta semua pihak menghilangkan dendam sejarah.
“Berdamailah dengan sejarah, jadikanlah sebagai pelajaran agar kejadian buruk di masa lalu tidak terulang di masa depan,” kata Aher. Pesan yang hampir sama juga disampaikan oleh Sri Sultan dan Soekarwo.
Memang sudah sepantasnya kita semua menghilangkan dendam sejarah. Jawa dan Sunda yang mempunyai peradaban tinggi bagi Indonesia harus benar-benar menghilangkan dendam tersebut. Sejarah semestinya bisa menjadi pelajaran bagi kita semua untuk masa kini dan masa depan.
Jika kita mempunyai sejarah kelam, pelajaran yang harus kita petik adalah jangan mengulangi sejarah tersebut atau melakukan yang sama. Namun, jika ada sejarah yang positif, tentu ini bisa menjadi contoh bagi masa kini dan masa depan pula. Sejarah berguna untuk menjalani kehidupan masa kini dan masa depan dengan baik.
Bukan malah sebaliknya, sejarah justru menyulutkan dendam terus-menerus sehingga membuat masyarakat luas terbawa. Sudah banyak contoh dendam sejarah yang ada di dunia ini diselesaikan dengan baik. Dan, Indonesia yang dikenal dengan bangsa besar tentunya harus terus melakukan ini.
Sri Sultan pun mengatakan bahwa penting mengetahui sejarah dan menghilangkan sekat-sekat kesalahpahaman yang telah terjadi pada masa lalu. Setiap etnik yang ada menjadi bagian bangsa Indonesia itu sendiri.
Menurut dia, rekonsiliasi antarbudaya, antaretnik membutuhkan prasyarat utama, yakni memperbaiki hubungan antarmanusia yang sebelumnya mengalami kecelakaan sejarah. Soekarwo menyebut upaya rekonsiliasi yang diupayakan ini merupakan langkah berani dan layak ditempuh semua elemen bangsa karena keberagaman merupakan sumber kekuatan bangsa Indonesia.
Rekonsiliasi Sunda-Jawa ini bisa menjadi contoh bagi para pemimpin bangsa ini sekarang. Beberapa friksi pandangan, pemikiran, ataupun perbedaan pandangan politik semestinya bisa direkonsiliasi dengan baik. Tujuannya adalah bangsa ini menjadi semakin besar.
Bayangkan jika dendam politik masa lalu terus dipupuk, apakah akan menjadi hal yang produktif? Bukankah dendam akan memunculkan dendam yang baru? Rekonsiliasi Sunda-Jawa ini benar-benar bisa menjadi contoh kita semua dalam meninggalkan ego pribadi atau kelompok.
Sudah sepatutnya dendam masa lalu (baik sosial ataupun politik) perlu disimpan yang dalam dan membuka lembaran baru demi bangsa ini. Kita semua ingin bangsa ini menjadi besar. Bangsa besar dibangun dengan kebersamaan, bukan dengan cara memupuk dendam.
Kita semua mengapresiasi rekonsiliasi Sunda-Jawa. Ini adalah contoh kehidupan berbangsa Indonesia yang baik. Contoh sudah ada. Tinggal kita apakah memiliki kemauan tidak untuk mencontoh rekonsiliasi Sunda-Jawa.
(maf)