Niat Jokowi Terbitkan Perppu MD3 Menuai Pro dan Kontra di DPR
A
A
A
JAKARTA - Niat Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk membatalkan sejumlah pasal kontroversial di Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) menuai pro dan kontra.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah berpendapat, tidak ada kegentingan yang memaksa untuk menerbitkan Perppu MD3 itu. "Ya enggak ada. Apa masalahnya?" ujar Fahri Hamzah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (7/3/2018).
Fahri menyarankan Presiden Jokowi untuk mengumpulkan partai politik (parpol) pendukung pemerintah untuk membahas Undang-undang MD3 yang disahkan melalui rapat paripurna beberapa minggu lalu.
"Sebab, hampir semua partai pendukung beliau juga menyetujui perubahan (UU MD3) itu. Dan perubahan itu saya bisa jelaskan sampai Presiden ngerti," katanya.
Namun, dia melihat Presiden Jokowi enggan mendengarkan penjelasan DPR mengenai pengesahan Undang-undang MD3 itu. Fahri menilai Presiden Jokowi lebih mendengarkan aspirasi sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menolak beberapa pasal di UU MD3 itu.
"Saya kan ingin presiden mendengarnya resmi dari kita, apa sih maksudnya. Ya kita jelasin," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Sementara itu, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mendukung Presiden Jokowi untuk menerbitkan Perppu MD3 itu. "Jadi kalau harapannya PPP keluarkan Perppu untuk meluruskan membetulkan, bukan membatalkan total," kata Penasehat Fraksi PPP di DPR Arsul Sani.
Arsul menilai opsi menerbitkan Perppu MD3 itu bukan sesuatu yang luar biasa. "Kenapa kok bukan sesuatu yang luar biasa? Karena dalam sejarah republik ini juga Pak SBY kan pernah juga Undang-undang disahkan dan dikeluarkan Perppu," kata Arsul yang juga sebagai Sekretaris Jenderal PPP ini.
Adapun kegentingan memaksa, menurut dia, subjektifnya seorang presiden. "Nah tentu kemudian kalau pun dikeluarkan Perppu, kan di dalam revisi Undang-undang MD3 itu kan tidak semua hal juga jelek. Ada yang harus diluruskan," kata anggota komisi III DPR ini.
Sedangkan salah satu pasal di Undang-undang MD3 yang dianggap kontroversial oleh PPP mengenai penambahan kursi pimpinan MPR. "Ya itu yg dianulir adalah cara pengisiannya saja agar disesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi," tuturnya.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah berpendapat, tidak ada kegentingan yang memaksa untuk menerbitkan Perppu MD3 itu. "Ya enggak ada. Apa masalahnya?" ujar Fahri Hamzah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (7/3/2018).
Fahri menyarankan Presiden Jokowi untuk mengumpulkan partai politik (parpol) pendukung pemerintah untuk membahas Undang-undang MD3 yang disahkan melalui rapat paripurna beberapa minggu lalu.
"Sebab, hampir semua partai pendukung beliau juga menyetujui perubahan (UU MD3) itu. Dan perubahan itu saya bisa jelaskan sampai Presiden ngerti," katanya.
Namun, dia melihat Presiden Jokowi enggan mendengarkan penjelasan DPR mengenai pengesahan Undang-undang MD3 itu. Fahri menilai Presiden Jokowi lebih mendengarkan aspirasi sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menolak beberapa pasal di UU MD3 itu.
"Saya kan ingin presiden mendengarnya resmi dari kita, apa sih maksudnya. Ya kita jelasin," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Sementara itu, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mendukung Presiden Jokowi untuk menerbitkan Perppu MD3 itu. "Jadi kalau harapannya PPP keluarkan Perppu untuk meluruskan membetulkan, bukan membatalkan total," kata Penasehat Fraksi PPP di DPR Arsul Sani.
Arsul menilai opsi menerbitkan Perppu MD3 itu bukan sesuatu yang luar biasa. "Kenapa kok bukan sesuatu yang luar biasa? Karena dalam sejarah republik ini juga Pak SBY kan pernah juga Undang-undang disahkan dan dikeluarkan Perppu," kata Arsul yang juga sebagai Sekretaris Jenderal PPP ini.
Adapun kegentingan memaksa, menurut dia, subjektifnya seorang presiden. "Nah tentu kemudian kalau pun dikeluarkan Perppu, kan di dalam revisi Undang-undang MD3 itu kan tidak semua hal juga jelek. Ada yang harus diluruskan," kata anggota komisi III DPR ini.
Sedangkan salah satu pasal di Undang-undang MD3 yang dianggap kontroversial oleh PPP mengenai penambahan kursi pimpinan MPR. "Ya itu yg dianulir adalah cara pengisiannya saja agar disesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi," tuturnya.
(maf)