Rupiah Belum Bangkit
A
A
A
AKHIRNYA Presiden Joko Widodo (Jokowi) angkat bicara juga soal pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Orang nomor satu di negeri ini mengingatkan kepada para anggota Kabinet Kerja untuk mengantisipasi perkembangan dinamika global yang bisa mengganggu roda pertumbuhan ekonomi nasional di antaranya posisi rupiah yang terus tertekan hingga sempat menyentuh level Rp13.800 per dolar AS.
Pada sidang kabinet paripurna yang digelar kemarin, Jokowi memang tidak khusus membahas soal rupiah yang sedang terpuruk, tetapi jauh lebih luas tentang kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal 2019. Sejumlah dinamika global harus diwaspadai mulai dari perkembangan suku bunga (Fed Fund Rate/FFR), arus modal masuk dan keluar, harga komoditas, serta nilai tukar rupiah.
Pelemahan rupiah terhadap dolar AS kembali terjadi pada penutupan perdagangan kemarin, rupiah berada di level Rp13.755 per USD, bandingkan pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu di mana rupiah masih sedikit berotot di posisi Rp13.650 per USD. Rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG) kompak melemah.
Pada penutupan perdagangan sesi kedua, IHSG melorot sebanyak 31,723 poin atau 0,48% ke level 6.550,593. Pada pembukaan perdagangan sesi pertama indeks masih berada di teritori positif, namun tak bertahan lama. Indeks sempat bertengger pada posisi tertinggi di level 6.607,166 dan level terendah 6.543,661.
Meski indeks sepanjang perdagangan mengalami tekanan, namun transaksi terpantau ramai. Frekuensi perdagangan saham tercatat 361.342 kali sebanyak 9,1 miliar lembar saham atau senilai Rp7,3 triliun.
Mengapa rupiah tidak berotot menghadapi dolar AS? Salah satunya dipicu pidato Gubernur Bank Sentral (Federal Reserve/The Fed) Jerome Powell yang optimistis terhadap perekonomian AS dan tingkat inflasi yang masih dapat meningkat di Negeri Paman Sam. Para pelaku pasar pun berspekulasi akan terjadi beberapa kali kenaikan suku bunga The Fed sepanjang tahun ini.
Didukung data-data positif di AS yang dipublikasi sejak awal Februari lalu di antaranya soal upah, tenaga kerja, dan produksi. Sejak sebulan terakhir ini dolar AS tidak hanya perkasa pada rupiah, tetapi juga hampir pada semua mata uang di berbagai negara, termasuk mata uang yang selama ini perkasa terhadap dolar AS.
Meski kondisi rupiah terus tiarap, sejumlah analis ekonomi memprediksi tidak akan melewati level psikologis, yakni Rp14.000 per USD. Namun, rupiah diperkirakan masih loyo dan tertekan hingga penyelenggaraan Federal Open Market Committee (FOMC) oleh The Fed pada pekan ketiga Maret ini.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) meminta masyarakat tak terprovokasi oleh pelemahan rupiah. Anjloknya rupiah terhadap dolar AS tidak mencerminkan fundamental perekonomian Indonesia dilihat dari pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, neraca pembayaran, dan cadangan devisa.
Suara senada juga dilontarkan Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Darmin Nasution yang menilai penguatan dolar AS terhadap rupiah masih dalam kontrol. Kali ini mantan gubernur BI itu menilai pelemahan rupiah karena faktor global bukan karena situasi perekonomian dalam negeri.
Walau pemerintah berusaha untuk tidak panik menyikapi pelemahan rupiah dengan berdalih fundamental perekonomian nasional cukup kuat, tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi tersebut bakal berdampak pada laju inflasi. Sebab, pelemahan rupiah akan berpengaruh langsung pada harga makanan, terutama yang menggunakan bahan baku impor.
Yang pasti, pekerjaan rumah pemerintah yakni bagaimana segera “mengobati” rupiah agar tidak terpuruk lebih lama. Pihak BPS belum berani memberi prediksi seberapa besar andil pelemahan rupiah terhadap laju inflasi pada Maret ini. Di sisi lain, penguatan dolar AS atas rupiah adalah peluang bagi kalangan eksportir.
Pelemahan rupiah secara signifikan sejak awal Maret ini tercatat paling tajam dalam dua tahun terakhir ini. Pemerintah tidak boleh lengah mengantisipasi kemungkinan terburuk, termasuk dampak langsung terhadap laju inflasi yang sudah di depan mata. Sebab, fundamental ekonomi dalam negeri yang cukup kuat bisa saja tersapu oleh dinamika global yang sulit diprediksi.
Pada sidang kabinet paripurna yang digelar kemarin, Jokowi memang tidak khusus membahas soal rupiah yang sedang terpuruk, tetapi jauh lebih luas tentang kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal 2019. Sejumlah dinamika global harus diwaspadai mulai dari perkembangan suku bunga (Fed Fund Rate/FFR), arus modal masuk dan keluar, harga komoditas, serta nilai tukar rupiah.
Pelemahan rupiah terhadap dolar AS kembali terjadi pada penutupan perdagangan kemarin, rupiah berada di level Rp13.755 per USD, bandingkan pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu di mana rupiah masih sedikit berotot di posisi Rp13.650 per USD. Rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG) kompak melemah.
Pada penutupan perdagangan sesi kedua, IHSG melorot sebanyak 31,723 poin atau 0,48% ke level 6.550,593. Pada pembukaan perdagangan sesi pertama indeks masih berada di teritori positif, namun tak bertahan lama. Indeks sempat bertengger pada posisi tertinggi di level 6.607,166 dan level terendah 6.543,661.
Meski indeks sepanjang perdagangan mengalami tekanan, namun transaksi terpantau ramai. Frekuensi perdagangan saham tercatat 361.342 kali sebanyak 9,1 miliar lembar saham atau senilai Rp7,3 triliun.
Mengapa rupiah tidak berotot menghadapi dolar AS? Salah satunya dipicu pidato Gubernur Bank Sentral (Federal Reserve/The Fed) Jerome Powell yang optimistis terhadap perekonomian AS dan tingkat inflasi yang masih dapat meningkat di Negeri Paman Sam. Para pelaku pasar pun berspekulasi akan terjadi beberapa kali kenaikan suku bunga The Fed sepanjang tahun ini.
Didukung data-data positif di AS yang dipublikasi sejak awal Februari lalu di antaranya soal upah, tenaga kerja, dan produksi. Sejak sebulan terakhir ini dolar AS tidak hanya perkasa pada rupiah, tetapi juga hampir pada semua mata uang di berbagai negara, termasuk mata uang yang selama ini perkasa terhadap dolar AS.
Meski kondisi rupiah terus tiarap, sejumlah analis ekonomi memprediksi tidak akan melewati level psikologis, yakni Rp14.000 per USD. Namun, rupiah diperkirakan masih loyo dan tertekan hingga penyelenggaraan Federal Open Market Committee (FOMC) oleh The Fed pada pekan ketiga Maret ini.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) meminta masyarakat tak terprovokasi oleh pelemahan rupiah. Anjloknya rupiah terhadap dolar AS tidak mencerminkan fundamental perekonomian Indonesia dilihat dari pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, neraca pembayaran, dan cadangan devisa.
Suara senada juga dilontarkan Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Darmin Nasution yang menilai penguatan dolar AS terhadap rupiah masih dalam kontrol. Kali ini mantan gubernur BI itu menilai pelemahan rupiah karena faktor global bukan karena situasi perekonomian dalam negeri.
Walau pemerintah berusaha untuk tidak panik menyikapi pelemahan rupiah dengan berdalih fundamental perekonomian nasional cukup kuat, tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi tersebut bakal berdampak pada laju inflasi. Sebab, pelemahan rupiah akan berpengaruh langsung pada harga makanan, terutama yang menggunakan bahan baku impor.
Yang pasti, pekerjaan rumah pemerintah yakni bagaimana segera “mengobati” rupiah agar tidak terpuruk lebih lama. Pihak BPS belum berani memberi prediksi seberapa besar andil pelemahan rupiah terhadap laju inflasi pada Maret ini. Di sisi lain, penguatan dolar AS atas rupiah adalah peluang bagi kalangan eksportir.
Pelemahan rupiah secara signifikan sejak awal Maret ini tercatat paling tajam dalam dua tahun terakhir ini. Pemerintah tidak boleh lengah mengantisipasi kemungkinan terburuk, termasuk dampak langsung terhadap laju inflasi yang sudah di depan mata. Sebab, fundamental ekonomi dalam negeri yang cukup kuat bisa saja tersapu oleh dinamika global yang sulit diprediksi.
(whb)