Pilpres 2019: Mampukah Prabowo Bangkit?
A
A
A
Dedy Abdullah
Wakil Ketua DPD Gerindra Jawa Barat
GENDERANG perang pemilihan presiden (pilpres) sudah dimulai. Hal ini antara lain ditandai dengan diumumkannya secara resmi calon presiden dari PDI Perjuangan (PDIP) oleh Megawati Sukarnoputri dalam pembukaan Rakernas III PDIP di Bali, Jumat (23/2). PDIP akan kembali mencalonkan Presiden Joko Widodo sebagai capres di Pilpres 2019.
Pengumuman ini tidak begitu mengagetkan karena sebelumnya beberapa partai pendukung pemerintah telah mendeklarasikan terlebih dahulu. Namun pengumuman tersebut bisa dibaca sebagai sikap lebih percaya diri PDIP untuk bisa memenangi kontestasi pada 2019. Dengan tambahan dukungan PDIP, total dukungan untuk Jokowi dari kelima partai, yaitu NasDem 6,72%, Golkar 14,75%, Hanura 5,26%, PPP 6,53%, dan PDIP 18,95%, menjadi 52,21%.
Tingginya kepercayaan diri PDIP untuk mendorong Jokowi kembali sebagai capres tentu selain karena sebagai petahana, juga karena dalam beberapa survei lembaga independen Jokowi selalu lebih unggul daripada tokoh lain. Poltracking, misalnya, hasil surveinya yang diumumkan pada Kamis (22/2) menempatkan elektabilitas Jokowi tertinggi, termasuk atas rivalnya di Pilpres 2014, Prabowo Subianto.
Dari 33 tokoh yang disodorkan, elektabilitas Jokowi sebesar 35%, Prabowo 21,2%, dan jauh di bawahnya ada Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, Agus Harimurti Yudhoyono. Adapun secara popularitas, Jokowi 95%, Prabowo Subianto 86%, dan beberapa tokoh lain menyusul di belakang mereka.
Untuk Prabowo, apakah akan kembali bertarung dalam kontestasi lima tahunan ini dengan rival yang sama pada periode sebelumnya atau Gerindra mencari kader lain? Sampai saat ini Gerindra maupun mitra koalisi abadinya, yakni PKS dan PAN, belum menyatakan secara resmi siapa capres yang akan diusung.
Apabila ketiga partai ini berkoalisi mengusung Prabowo sebagai capres, modal kursi di DPR sudah lebih dari cukup dan melampaui batas minimum presidential threshold. Gerindra punya 73 kursi, PKS 40, dan PAN 49 kursi. Namun pertanyaan besarnya sekarang, mampukah Prabowo mengatasi ketertinggalan atau bahkan mengalahkan kandidat yang saat ini sedang berkuasa? Kesimpulan yang dirilis Poltracking menyatakan masih terbuka peluang Prabowo untuk bisa rebound karena sebenarnya kedua kandidat ini, yakni Jokowi dan Prabowo, sama-sama mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan survei pada November 2017. Ditambah lagi dengan pelaksanaan pilpres masih tersisa 15 bulan, potensi perubahan persentase masih sangat terbuka.
Faktor Pendorong Elektabilitas Prabowo
Setidaknya ada tiga hal pokok yang bisa mendongkrak elektabilitas dan popularitas Prabowo, bahkan sampai bisa memenangi Pilpres 2019. Pertama, seberapa besar kemenangan kader-kadernya di pilkada, baik untuk menjadi gubernur, bupati maupun wali kota, yang akan digelar Juni nanti. Kedua, kemampuan mengelola isu terkini hingga 15 bulan ke depan. Ketiga, Gerindra dan mitra koalisi menyegerakan untuk mendeklarasikan Prabowo.
Pilkada serentak mendatang menjadi faktor penting bagi Prabowo untuk bisa memperkuat akar pengaruhnya sampai ke daerah-daerah. Terutama daerah yang memiliki pemilih besar seperti Jabar, Jateng, Jatim, Sumut. Gerindra sebagai partai pengusung Prabowo harus bisa memenangkan kandidatnya di daerah strategis ini.
Di Jabar, Gerindra dan koalisinya mengusung Mayjen (Purn) Sudrajat-Mohammad Saikhu, tetapi hal itu dinilai banyak kalangan terlalu berisiko karena keduanya memiliki popularitas dan elektabilitas rendah. Namun memang inilah salah satu kelebihan Prabowo yang memiliki intuisi dalam menempatkan orang untuk posisi dan kedudukan. Sama halnya ketika dia memilih Anies Baswedan-Sandiaga Uno di Pilkada DKI Jakarta. Dengan banyaknya pasangan calon yang bertarung di Jabar, yakni empat pasangan, kemungkinan perolehan suara kandidat akan terpecah dan berada dalam range yang sempit. Maka dengan soliditas dari mesin partai yang dimiliki, terutama PKS, pasangan yang diusung tetap berpeluang menang.
Di Jateng, peluang untuk bisa menang mudah sangat sulit. Selain kandidat yang maju hanya ada dua pasangan calon, PDIP di daerah ini mengusung gubernur petahana, Ganjar Pranowo, yang dipasangkan dengan Gus Yasin. Gerindra mengusung Sudirman Said berpasangan dengan Ida Fauziah yang merupakan kader PKB.
Namun bagi pendukung pasangan Sudirman-Ida, mereka tetap yakin memenangi kontestasi karena merasa akan diuntungkan dengan kasus korupsi e-KTP yang ikut menyeret nama Ganjar.
Di Jatim, walaupun Gerindra dan mitra koalisi abadinya hanya sebagai partai pendukung pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Elistianto Dardak, mereka berharap di Pilpres 2019 peluang dukungan lebih besar jika Khofifah-Emil Dardak jadi pemenang.
Adapun di Sumut, Gerindra yang mengusung Edi Rahmayadi-Musa Rajekshah akan bertarung head to head dengan pasangan Jarot Saeful Hidayat- Sihar Sitorus yang diusung PDIP. Tampaknya Gerindra dan mitra koalisi akan menang di Sumut.
Kedua, hal yang bisa memengaruhi elektabilitas dan popularitas Prabowo dalam 15 bulan ke depan adalah kemampuan mengelola dan menyikapi berbagai polemik serta isu strategis saat ini maupun yang akan berkembang nanti. Setidaknya ada beberapa isu penting yang bisa dimanfaatkan sekaligus jadi landasan untuk melemahkan kubu Jokowi. Salah satunya isu gizi buruk yang menimpa warga suku Asmat Papua. Banyak pihak meyakini ini terjadi karena kesalahan pemerintah dalam hal kebijakan pangan. Alih fungsi lahan yang dilakukan pemerintah saat ini bahkan dari pemerintahan sebelumnya terus dilakukan. Dari lahan pangan lokal menjadi lahan padi. Presiden Jokowi pada Mei 2015 mendukung konversi lahan 1,2 juta hektare untuk program The Merauke Integrated Food and Energy Estate. Program ini hanya membuahkan hilangnya kawasan hutan, ekosistem, potensi pangan lokal, serta tersingkirnya penduduk lokal dari tanah sendiri. Data Kementerian Sosial, sejak September 2017 hingga Januari 2018 ada 63 anak meninggal akibat campak dan gizi buruk, 393 jiwa menjalani rawat jalan, 175 menjalani rawat inap. Isu ini tidak mudah dilupakan begitu saja.
Kecelakaan akibat dikebutnya berbagai proyek infrastruktur juga merupakan isu yang bisa dimanfaatkan. Berdasarkan catatan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, ada 9 kecelakaan sampai menelan korban jiwa sejak akhir 2017 hingga awal 2018. Bahkan Presiden KSPI menduga upaya ngebut ini sebagai strategi untuk meraih citra baik di mata masyarakat menjelang pilpres. Isu ini tampaknya juga akan terus menggelinding menjadi isu politik.
Isu sensitif yang mengarah ke unsur SARA tampaknya juga akan mewarnai pilpres tahun depan. Setidaknya hal ini dipicu dengan banyaknya tindak pidana penganiayaan dan pembunuhan yang menimpa tokoh agama. Juga isu lain seperti perppu ormas, kebangkitan PKI, penegakan HAM, dan tingginya indeks korupsi di pemerintahan Jokowi bisa menjadi polemik yang merepotkan petahana.
Ketiga, hal yang sebenarnya paling mudah dilakukan adalah mendorong partai pendukung Prabowo maupun pendukung calon lain untuk segera mendeklarasikan calon yang akan diusung. Bagi Prabowo, ini penting karena akan memberikan keyakinan kepada pendukung loyalis yang memberikan suaranya saat Pilpres 2014 untuk tidak beralih ke pemilih lain.
Akankah Gerindra, PKS, PAN segera mendeklarasikan siapa calon presidennya untuk bertarung di Pilpres 2019? Saya menduga langkah ini segera diambil. Terutama Gerindra. Deklarasi dukungan akan didahului dari daerah-daerah di seluruh Indonesia. Puncak deklarasi dukungan ini dilakukan pada 11 Maret 2018 di Jateng.
Wakil Ketua DPD Gerindra Jawa Barat
GENDERANG perang pemilihan presiden (pilpres) sudah dimulai. Hal ini antara lain ditandai dengan diumumkannya secara resmi calon presiden dari PDI Perjuangan (PDIP) oleh Megawati Sukarnoputri dalam pembukaan Rakernas III PDIP di Bali, Jumat (23/2). PDIP akan kembali mencalonkan Presiden Joko Widodo sebagai capres di Pilpres 2019.
Pengumuman ini tidak begitu mengagetkan karena sebelumnya beberapa partai pendukung pemerintah telah mendeklarasikan terlebih dahulu. Namun pengumuman tersebut bisa dibaca sebagai sikap lebih percaya diri PDIP untuk bisa memenangi kontestasi pada 2019. Dengan tambahan dukungan PDIP, total dukungan untuk Jokowi dari kelima partai, yaitu NasDem 6,72%, Golkar 14,75%, Hanura 5,26%, PPP 6,53%, dan PDIP 18,95%, menjadi 52,21%.
Tingginya kepercayaan diri PDIP untuk mendorong Jokowi kembali sebagai capres tentu selain karena sebagai petahana, juga karena dalam beberapa survei lembaga independen Jokowi selalu lebih unggul daripada tokoh lain. Poltracking, misalnya, hasil surveinya yang diumumkan pada Kamis (22/2) menempatkan elektabilitas Jokowi tertinggi, termasuk atas rivalnya di Pilpres 2014, Prabowo Subianto.
Dari 33 tokoh yang disodorkan, elektabilitas Jokowi sebesar 35%, Prabowo 21,2%, dan jauh di bawahnya ada Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, Agus Harimurti Yudhoyono. Adapun secara popularitas, Jokowi 95%, Prabowo Subianto 86%, dan beberapa tokoh lain menyusul di belakang mereka.
Untuk Prabowo, apakah akan kembali bertarung dalam kontestasi lima tahunan ini dengan rival yang sama pada periode sebelumnya atau Gerindra mencari kader lain? Sampai saat ini Gerindra maupun mitra koalisi abadinya, yakni PKS dan PAN, belum menyatakan secara resmi siapa capres yang akan diusung.
Apabila ketiga partai ini berkoalisi mengusung Prabowo sebagai capres, modal kursi di DPR sudah lebih dari cukup dan melampaui batas minimum presidential threshold. Gerindra punya 73 kursi, PKS 40, dan PAN 49 kursi. Namun pertanyaan besarnya sekarang, mampukah Prabowo mengatasi ketertinggalan atau bahkan mengalahkan kandidat yang saat ini sedang berkuasa? Kesimpulan yang dirilis Poltracking menyatakan masih terbuka peluang Prabowo untuk bisa rebound karena sebenarnya kedua kandidat ini, yakni Jokowi dan Prabowo, sama-sama mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan survei pada November 2017. Ditambah lagi dengan pelaksanaan pilpres masih tersisa 15 bulan, potensi perubahan persentase masih sangat terbuka.
Faktor Pendorong Elektabilitas Prabowo
Setidaknya ada tiga hal pokok yang bisa mendongkrak elektabilitas dan popularitas Prabowo, bahkan sampai bisa memenangi Pilpres 2019. Pertama, seberapa besar kemenangan kader-kadernya di pilkada, baik untuk menjadi gubernur, bupati maupun wali kota, yang akan digelar Juni nanti. Kedua, kemampuan mengelola isu terkini hingga 15 bulan ke depan. Ketiga, Gerindra dan mitra koalisi menyegerakan untuk mendeklarasikan Prabowo.
Pilkada serentak mendatang menjadi faktor penting bagi Prabowo untuk bisa memperkuat akar pengaruhnya sampai ke daerah-daerah. Terutama daerah yang memiliki pemilih besar seperti Jabar, Jateng, Jatim, Sumut. Gerindra sebagai partai pengusung Prabowo harus bisa memenangkan kandidatnya di daerah strategis ini.
Di Jabar, Gerindra dan koalisinya mengusung Mayjen (Purn) Sudrajat-Mohammad Saikhu, tetapi hal itu dinilai banyak kalangan terlalu berisiko karena keduanya memiliki popularitas dan elektabilitas rendah. Namun memang inilah salah satu kelebihan Prabowo yang memiliki intuisi dalam menempatkan orang untuk posisi dan kedudukan. Sama halnya ketika dia memilih Anies Baswedan-Sandiaga Uno di Pilkada DKI Jakarta. Dengan banyaknya pasangan calon yang bertarung di Jabar, yakni empat pasangan, kemungkinan perolehan suara kandidat akan terpecah dan berada dalam range yang sempit. Maka dengan soliditas dari mesin partai yang dimiliki, terutama PKS, pasangan yang diusung tetap berpeluang menang.
Di Jateng, peluang untuk bisa menang mudah sangat sulit. Selain kandidat yang maju hanya ada dua pasangan calon, PDIP di daerah ini mengusung gubernur petahana, Ganjar Pranowo, yang dipasangkan dengan Gus Yasin. Gerindra mengusung Sudirman Said berpasangan dengan Ida Fauziah yang merupakan kader PKB.
Namun bagi pendukung pasangan Sudirman-Ida, mereka tetap yakin memenangi kontestasi karena merasa akan diuntungkan dengan kasus korupsi e-KTP yang ikut menyeret nama Ganjar.
Di Jatim, walaupun Gerindra dan mitra koalisi abadinya hanya sebagai partai pendukung pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Elistianto Dardak, mereka berharap di Pilpres 2019 peluang dukungan lebih besar jika Khofifah-Emil Dardak jadi pemenang.
Adapun di Sumut, Gerindra yang mengusung Edi Rahmayadi-Musa Rajekshah akan bertarung head to head dengan pasangan Jarot Saeful Hidayat- Sihar Sitorus yang diusung PDIP. Tampaknya Gerindra dan mitra koalisi akan menang di Sumut.
Kedua, hal yang bisa memengaruhi elektabilitas dan popularitas Prabowo dalam 15 bulan ke depan adalah kemampuan mengelola dan menyikapi berbagai polemik serta isu strategis saat ini maupun yang akan berkembang nanti. Setidaknya ada beberapa isu penting yang bisa dimanfaatkan sekaligus jadi landasan untuk melemahkan kubu Jokowi. Salah satunya isu gizi buruk yang menimpa warga suku Asmat Papua. Banyak pihak meyakini ini terjadi karena kesalahan pemerintah dalam hal kebijakan pangan. Alih fungsi lahan yang dilakukan pemerintah saat ini bahkan dari pemerintahan sebelumnya terus dilakukan. Dari lahan pangan lokal menjadi lahan padi. Presiden Jokowi pada Mei 2015 mendukung konversi lahan 1,2 juta hektare untuk program The Merauke Integrated Food and Energy Estate. Program ini hanya membuahkan hilangnya kawasan hutan, ekosistem, potensi pangan lokal, serta tersingkirnya penduduk lokal dari tanah sendiri. Data Kementerian Sosial, sejak September 2017 hingga Januari 2018 ada 63 anak meninggal akibat campak dan gizi buruk, 393 jiwa menjalani rawat jalan, 175 menjalani rawat inap. Isu ini tidak mudah dilupakan begitu saja.
Kecelakaan akibat dikebutnya berbagai proyek infrastruktur juga merupakan isu yang bisa dimanfaatkan. Berdasarkan catatan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, ada 9 kecelakaan sampai menelan korban jiwa sejak akhir 2017 hingga awal 2018. Bahkan Presiden KSPI menduga upaya ngebut ini sebagai strategi untuk meraih citra baik di mata masyarakat menjelang pilpres. Isu ini tampaknya juga akan terus menggelinding menjadi isu politik.
Isu sensitif yang mengarah ke unsur SARA tampaknya juga akan mewarnai pilpres tahun depan. Setidaknya hal ini dipicu dengan banyaknya tindak pidana penganiayaan dan pembunuhan yang menimpa tokoh agama. Juga isu lain seperti perppu ormas, kebangkitan PKI, penegakan HAM, dan tingginya indeks korupsi di pemerintahan Jokowi bisa menjadi polemik yang merepotkan petahana.
Ketiga, hal yang sebenarnya paling mudah dilakukan adalah mendorong partai pendukung Prabowo maupun pendukung calon lain untuk segera mendeklarasikan calon yang akan diusung. Bagi Prabowo, ini penting karena akan memberikan keyakinan kepada pendukung loyalis yang memberikan suaranya saat Pilpres 2014 untuk tidak beralih ke pemilih lain.
Akankah Gerindra, PKS, PAN segera mendeklarasikan siapa calon presidennya untuk bertarung di Pilpres 2019? Saya menduga langkah ini segera diambil. Terutama Gerindra. Deklarasi dukungan akan didahului dari daerah-daerah di seluruh Indonesia. Puncak deklarasi dukungan ini dilakukan pada 11 Maret 2018 di Jateng.
(mhd)