Ujian Penyelenggaraan Pemilu
A
A
A
Pelaksanaan Pilkada Serentak 2018 menyisakan waktu empat bulan. Saat ini pilkada sudah memasuki tahapan kampanye yang akan berlangsung hingga 23 Juni. Di tengah kesibukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melakukan persiapan, sebuah kabar mengejutkan datang dari Garut, Jawa Barat. Anggota KPU Kabupaten Garut Agus Sudrajad dan Ketua Panwaslu Kabupaten Garut Heri Hasan Basri ditangkap Satuan Tugas Antipolitik Uang Mabes Polri bersama jajaran Polda Jawa Barat dan Polres Garut, Sabtu (24/2). Keduanya ditangkap karena diduga menerima suap untuk meloloskan salah satu pasangan calon di Pilkada Garut.
Selama ini penyelenggara pemilu memang sudah banyak yang dilaporkan melanggar sehingga harus menjalani sidang kode etik di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sepanjang 2007 dari seluruh pengaduan, DKPP menjatuhkan sanksi pemecatan kepada 20 anggota KPU dan Panwaslu, 10 orang diberhentikan sementara, dan 83 lainnya diberi teguran tertulis.
Kasus di Garut ini tak ayal menjadi pukulan yang sangat telak bagi penyelenggara pemilu yang sedang berupaya mewujudkan Pilkada Serentak 2018 yang berkualitas dan demokratis.
KPU dan Bawaslu di tingkat pusat selama ini kerapkali mengingatkan pentingnya jajarannya di tingkat bawah untuk mandiri, independen, netral, dan bekerja profesional. Jangankan menerima suap. Dalam bertindak saja seorang penyelenggara pemilu dituntut untuk menghindari ihwal yang bisa mengarah pada keberpihakan. Sekadar contoh kasus, Ketua KPU DKI Jakarta saat menjelang Pilkada DKI 2017 mendapat sorotan karena menghadiri agenda tim pemenangan pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat di sebuah hotel di Jakarta. Akibat tindakannya itu, Ketua KPU DKI dilaporkan dan akhirnya dinyatakan melanggar kode etik serta diberi teguran tertulis oleh DKPP. Ini menjadi contoh betapa penyelenggara pemilu benar-benar dituntut untuk menjauhi ihwal yang berbau konflik kepentingan. Netralitas dan profesionalitas harus betul-betul dijunjung tinggi.
Maka itu, kejadian di Garut ini sangat mengejutkan karena dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh dua oknum KPU dan Panwaslu tersebut tergolong berat, yakni ditangkap karena menerima suap! Bukan lagi sekadar pelanggaran administrasi, melainkan pidana. Selama ini sejumlah aturan sudah dibuat untuk memagari penyelenggara agar tidak terjerat kasus pelanggaran. Aturan tersebut antara lain Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Pada Pasal 8 termuat sejumlah aturan yang intinya mengharuskan penyelenggara pemilu tidak memihak partai politik atau pasangan calon peserta pemilu. Juga dilarang menerima uang, barang, jasa, atau pemberian lain dalam suatu kegiatan dari peserta pemilu, calon anggota legislatif, dan tim kampanye kecuali jika itu bersumber dari APBN/APBD.
Apa yang terjadi di Garut ini sudah sepantasnya menjadi alarm bagi KPU ,dan DKPP. Tentu kejadian di Garut ini tidak mencerminkan kinerja penyelenggara pemilu di daerah secara umum. Namun, demi tetap menjaga kepercayaan publik akan kualitas Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 yang akan dihasilkan nanti, KPU dan Bawaslu perlu melakukan penyelidikan internal demi mengungkap tuntas kasus ini. Terhadap anggota KPU dan Panwaslu di daerah perlu dilakukan evaluasi berkelanjutan dengan fokus utama menanamkan nilai-nilai integritas dan profesionalitas agar kejadian serupa tidak terjadi lagi.
Masa jabatan komisioner KPU dan Panwaslu di sejumlah daerah yang menggelar pilkada akan berakhir tahun ini sehingga dalam waktu dekat segera dilakukan rekrutmen baru. Di sini tugas panitia seleksi yang ditunjuk makin berat. Mereka harus lebih teliti dalam memastikan calon anggota KPU dan Panwaslu yang dihasilkan nanti benar-benar memiliki integritas dan profesionalitas tinggi untuk menjalankan tahapan pemilu secara benar dan bertanggung jawab.
Selama ini penyelenggara pemilu memang sudah banyak yang dilaporkan melanggar sehingga harus menjalani sidang kode etik di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sepanjang 2007 dari seluruh pengaduan, DKPP menjatuhkan sanksi pemecatan kepada 20 anggota KPU dan Panwaslu, 10 orang diberhentikan sementara, dan 83 lainnya diberi teguran tertulis.
Kasus di Garut ini tak ayal menjadi pukulan yang sangat telak bagi penyelenggara pemilu yang sedang berupaya mewujudkan Pilkada Serentak 2018 yang berkualitas dan demokratis.
KPU dan Bawaslu di tingkat pusat selama ini kerapkali mengingatkan pentingnya jajarannya di tingkat bawah untuk mandiri, independen, netral, dan bekerja profesional. Jangankan menerima suap. Dalam bertindak saja seorang penyelenggara pemilu dituntut untuk menghindari ihwal yang bisa mengarah pada keberpihakan. Sekadar contoh kasus, Ketua KPU DKI Jakarta saat menjelang Pilkada DKI 2017 mendapat sorotan karena menghadiri agenda tim pemenangan pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat di sebuah hotel di Jakarta. Akibat tindakannya itu, Ketua KPU DKI dilaporkan dan akhirnya dinyatakan melanggar kode etik serta diberi teguran tertulis oleh DKPP. Ini menjadi contoh betapa penyelenggara pemilu benar-benar dituntut untuk menjauhi ihwal yang berbau konflik kepentingan. Netralitas dan profesionalitas harus betul-betul dijunjung tinggi.
Maka itu, kejadian di Garut ini sangat mengejutkan karena dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh dua oknum KPU dan Panwaslu tersebut tergolong berat, yakni ditangkap karena menerima suap! Bukan lagi sekadar pelanggaran administrasi, melainkan pidana. Selama ini sejumlah aturan sudah dibuat untuk memagari penyelenggara agar tidak terjerat kasus pelanggaran. Aturan tersebut antara lain Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Pada Pasal 8 termuat sejumlah aturan yang intinya mengharuskan penyelenggara pemilu tidak memihak partai politik atau pasangan calon peserta pemilu. Juga dilarang menerima uang, barang, jasa, atau pemberian lain dalam suatu kegiatan dari peserta pemilu, calon anggota legislatif, dan tim kampanye kecuali jika itu bersumber dari APBN/APBD.
Apa yang terjadi di Garut ini sudah sepantasnya menjadi alarm bagi KPU ,dan DKPP. Tentu kejadian di Garut ini tidak mencerminkan kinerja penyelenggara pemilu di daerah secara umum. Namun, demi tetap menjaga kepercayaan publik akan kualitas Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 yang akan dihasilkan nanti, KPU dan Bawaslu perlu melakukan penyelidikan internal demi mengungkap tuntas kasus ini. Terhadap anggota KPU dan Panwaslu di daerah perlu dilakukan evaluasi berkelanjutan dengan fokus utama menanamkan nilai-nilai integritas dan profesionalitas agar kejadian serupa tidak terjadi lagi.
Masa jabatan komisioner KPU dan Panwaslu di sejumlah daerah yang menggelar pilkada akan berakhir tahun ini sehingga dalam waktu dekat segera dilakukan rekrutmen baru. Di sini tugas panitia seleksi yang ditunjuk makin berat. Mereka harus lebih teliti dalam memastikan calon anggota KPU dan Panwaslu yang dihasilkan nanti benar-benar memiliki integritas dan profesionalitas tinggi untuk menjalankan tahapan pemilu secara benar dan bertanggung jawab.
(zik)