Bola Panas UU MD3

Kamis, 22 Februari 2018 - 06:56 WIB
Bola Panas UU MD3
Bola Panas UU MD3
A A A
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikabarkan menolak menandatangani Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang disahkan DPR pekan lalu. Penolakan Presiden tersebut diketahui setelah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly menghadap Presiden di Istana Negara, Selasa (20/2).

Yasonna bertemu Jokowi untuk melaporkan hasil revisi atas UU Nomor 17 Tahun 2014 tersebut. Seusai per­te­mu­an, Yasonna mengaku bahwa Jokowi sangat terkejut mengetahui ada ketentuan pasal baru dalam UU MD3

Sejumlah pasal di UU MD3 memang langsung memantik polemik sesaat setelah disahkan DPR melalui rapat paripurna. Ada tiga pasal yang paling mendapat sorotan. Pertama , Pasal 73 yang menyatakan DPR bisa melakukan pemanggilan paksa terhadap orang yang jika dipanggil tiga kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan sah. DPR akan melibatkan polisi dalam melakukan pemanggilan paksa ini.

Kedua, Pasal 122 huruf k yang menyatakan DPR bisa mengambil langkah hukum terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Atas pasal ini, DPR menuai kecaman karena dinilai antikritik.

Ketiga, Pasal 245 ayat (1) yang menyatakan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas, harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

Sejumlah kalangan menyatakan akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bentuk protes atas sikap DPR yang dinilai berniat menjadikan dirinya menjadi superpower dan superbody.

Lalu, apa yang mendasari Jokowi sehingga mengisyaratkan menolak menandatangani UU MD3? Salah satu yang kemungkinan menjadi sebab adalah derasnya penolakan publik atas UU tersebut. Jokowi telah melihat dengan jelas respons publik.

Mencermati kebiasaan Jokowi selama ini, dia cenderung tidak akan ber­se­berangan dengan aspirasi publik, terutama jika arus penolakan terus menderas sebagaimana penolakan atas UU MD3. Melawan arus publik tentu akan berpengaruh pada citra presiden, dan itu tidak menguntungkan secara politik.

Hanya, menjadi sebuah preseden yang kurang elok jika Jokowi akhirnya menolak menandatangani UU tersebut karena prinsipnya setiap UU yang disahkan DPR sudah melalui proses pembahasan bersama dengan pemerintah. Terlepas dari pro-kontra aturan yang termuat dalam sebuah UU, seluruh pasal di dalamnya sudah dibahas dan disepakati oleh pemerintah.

Pertanyaan sederhana yang akan muncul, mengapa saat pembahasan Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly tidak memberikan reaksi penolakan. Bukan justru setelah UU disahkan, baru menyatakan tidak menyetujui dan ikut-ikutan menolak.

Hak Presiden untuk tidak menandatangani, namun sikap itu akan mengesankan bahwa manajemen di pemerintahan Jokowi tidak berjalan baik. Antara Presiden dan menterinya yang ikut rapat di DPR, komunikasinya seolah-olah yang tidak berjalan lancar sehingga akhirnya kecolongan.

Di lain sisi, jika pun Jokowi menolak untuk menandatangani UU MD3, tentu bagi DPR bukan persoalan karena UU tetap akan berlaku otomatis. Sebuah UU yang sudah disahkan setelah 30 hari otomatis akan berlaku secara sah dan mengikat. Justru penolakan itu akan merugikan masyarakat yang berencana mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

UU kontroversial yang berubah jadi bola panas seperti ini bukan pertama kali terjadi. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ribut-ribut akibat menolak UU yang disahkan DPR juga terjadi. Saat itu revisi UU Pilkada usulan pemerintah juga mendapat penolakan keras masyarakat, terutama pasal yang menghapus pilkada secara langsung dan mengembalikannya ke DPRD. Bedanya, SBY saat itu tetap menandatangani UU Pilkada, kemudian menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mengakomodasi tuntutan masyarakat.

Demi menghindari kontroversi yang tak berkesudahan, UU MD3 ini sebaiknya memang ditandatangani Presiden. Adapun keberatan-keberatan masyarakat atas sejumlah pasal di dalamnya bisa diselesaikan melalui jalur ketatanegaraan yang efektif, yakni melakukan uji materi ke MK.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0804 seconds (0.1#10.140)