Langkanya Kedamaian
A
A
A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum, Kepala Pusat Studi Pancasila UGM 2013-2015
MENGAPA kedamaian di negeri ini semakin langka? Kerusuhan, kekerasan, dan pembunuhan justru merebak di mana-mana. Di Jakarta banyak kekerasan berujung pembunuhan. Di Madura beda pendapat antara guru dan murid berujung pembunuhan. Di Jawa Barat ustaz dibunuh tanpa sebab yang jelas. Di Sleman pastor dibacok tanpa sebab yang jelas pula. Gejala macam apa ini? Bagaimana kita harus melihatnya?
Kita bersyukur diberi Allah SWT organ tubuh bernama mata. Mata adalah alat untuk melihat. Dengan melihat, dapat ditangkap keberadaan realitas di sekitar kita. Nyatalah, di situ ada bermacam-ragam realitas. Ada kedamaian, pun kerusuhan, dan sebagainya.
Bagi orang-orang arif dan alim, mata itu identik "pisau tajam". Mata dapat digunakan untuk tujuan-tujuan amat luas. Bila digunakan untuk melihat ke dalam diri (introspeksi), dengan "pisau tajam", dapat dikupas "kerak-kerak kehidupan" yang menyelimuti hati.
Hati kemudian kembali menjadi jernih, salim, dan sehat. Kejernihan hati membuka pintu lebar-lebar masuknya nur ilahi. Pada siapa pun yang terjaga hati nuraninya, akan tergerak jiwa-raganya untuk berbuat kebaikan bagi sesama. Berbuat baik adalah buah dari pohon penglihatan, yakni penglihatan dengan mata hati maupun mata kepala.
Terinspirasi dari sini, penting sekali menatap langkanya kedamaian dengan menggunakan mata hati, bukan sekadar mata kepala. Dari sini pula, dapat dicegah penghakiman atas orang lain dengan ukuran-ukuran diri sendiri. Pendekatan sosial-kemanusiaan akan mengantarkan perjalanan kehidupan bersama sarat dengan belas kasih (compassion). Muaranya, terwujud kedamaian.
Hemat saya, pembicaraan tentang langkanya kedamaian di negeri ini wajib ditukikkan pada nilai-nilai Pancasila, melalui pemahaman yang benar, utuh, menyeluruh, dan berdasarkan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". "Bhinneka Tunggal Ika" secara linguistik berarti beraneka ragam, tetapi satu.
Rangkaian kata-kata ini merupakan semboyan, slogan, atau moto agar maknanya mudah diingat untuk dipahami tentang ideologi bangsa Indonesia, yakni Pancasila. Dari semboyan itu tersirat pemberitahuan kepada siapa pun tentang jiwa dan semangat keanekaragaman suku, agama, bahasa, dan berbagai aspek kebudayaan lain di Indonesia.
Keanekaragaman itu bukan untuk dipertentangkan satu dengan lainnya, tetapi untuk digali dan diselami potensi, daya, atau kekuatannya agar daripadanya diperoleh rahmat sehingga semakin menyatu di dalam wadah keindonesiaan.
Dalam perspektif ideologi, sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung nilai-nilai religius, yang digali dari agama-agama yang ada di Indonesia. Islam mengajarkan kepada umatnya tentang makna perbedaan, kebinekaan, dan keberagaman agar daripadanya saling mengenal.
Allah SWT berfirman: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling berta k wa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal " (QS 49: 13).
Makna kenal-mengenal dalam perbedaan itu jauh melampaui apa yang disebut toleransi. Toleransi merupakan sikap saling menghormati antarkelompok atau antarindividu disertai upaya menjauhkan dari diskriminasi. Puncak dari pemaknaan kenal-mengenal dalam perbedaan adalah takwa. Sampai derajat ketakwaan itulah mestinya pengimplementasian Bhinneka Tunggal Ika.
Semakin kuat pemahaman tentang makna keanekaragaman pada diri seseorang, atau suku, atau golongan, akan semakin terbuka peluang bagi orang, suku, atau golongan itu untuk berkontribusi mewujudkan kedamaian bersama. Dari kenal-mengenal dapat ditarik pelajaran dan pengalaman pihak lain guna peningkatan kadar ketakwaan masing-masing.
Langkanya kedamaian ditengarai berjalan seiring dengan langkanya budaya memberi dan budaya berbagi antarsesama. Masing-masing etnis, golongan, suku, pemeluk agama cenderung mendesakkan kepentingannya sendiri, seraya memaksa pihak lain untuk mengakuinya.
Klaim bahwa dirinya memiliki hak individual setara dengan hak individual pihak lain memicu munculnya sikap egois-individual, eksklusif, dan arogan. Padahal, dalam fitrahnya manusia selain makhluk individu, juga makhluk sosial. Dalam agama pun ada fungsi individu dan ada fungsi sosial. Dalam kelangkaan kedamaian itu, layak dipertanyakan, sudahkah ajaran sosial-keagamaan dipraktikkan secara benar?
Maraknya kerusuhan-kerusuhan di negeri ini merupakan bukti gagalnya pendidikan karakter. Teramat sulit ditemukan "guru" dalam makna esensialnya sebagai orang yang pantas "digugu dan ditiru". Teramat langka pemimpin yang mampu memberi keteladanan. Pendidikan budi pekerti, tinggal impian, tanpa kenyataan.
Implikasinya, penyakit peradaban merebak di mana-mana. Indikatornya: (1) keengganan menjalin hubungan kenal-mengenal; (2) keengganan berbagi ilmu, berbagi harta, berbagi kasih-sayang; (3) semakin kuatnya ego pribadi, ego institusi, ego kelompok; (4) semakin sengitnya persaingan (utamanya di bidang politik dan bisnis); (5) teganya menihilkan atas rival-rivalnya.
Kini begitu banyak saudara-saudara kita salah persepsi. Dia kira harta berjibun, kekuasaan kuat, kepopuleran memikat menjadi garansi terwujudnya kehidupan damai dan mulia. Tidak demikian. Semua itu fatamorgana belaka. Kesalahan persepsi itu berakibat fatal. Banyak orang tersesat menjadi koruptor, teroris, ekstremis, perampok, pembunuh, dan perilaku jahat lain. Mereka itulah perusak-perusak kedamaian.
Demi negeriku Indonesia, sesungguhnya introspeksi dan pengendalian diri merupakan perbuatan mulia untuk mewujudkan kedamaian. Dalam kesunyian, marilah kita bertanya: "Apa yang telah kuperbuat untuk negeri ini"? Wallahualam.
Guru Besar Ilmu Hukum, Kepala Pusat Studi Pancasila UGM 2013-2015
MENGAPA kedamaian di negeri ini semakin langka? Kerusuhan, kekerasan, dan pembunuhan justru merebak di mana-mana. Di Jakarta banyak kekerasan berujung pembunuhan. Di Madura beda pendapat antara guru dan murid berujung pembunuhan. Di Jawa Barat ustaz dibunuh tanpa sebab yang jelas. Di Sleman pastor dibacok tanpa sebab yang jelas pula. Gejala macam apa ini? Bagaimana kita harus melihatnya?
Kita bersyukur diberi Allah SWT organ tubuh bernama mata. Mata adalah alat untuk melihat. Dengan melihat, dapat ditangkap keberadaan realitas di sekitar kita. Nyatalah, di situ ada bermacam-ragam realitas. Ada kedamaian, pun kerusuhan, dan sebagainya.
Bagi orang-orang arif dan alim, mata itu identik "pisau tajam". Mata dapat digunakan untuk tujuan-tujuan amat luas. Bila digunakan untuk melihat ke dalam diri (introspeksi), dengan "pisau tajam", dapat dikupas "kerak-kerak kehidupan" yang menyelimuti hati.
Hati kemudian kembali menjadi jernih, salim, dan sehat. Kejernihan hati membuka pintu lebar-lebar masuknya nur ilahi. Pada siapa pun yang terjaga hati nuraninya, akan tergerak jiwa-raganya untuk berbuat kebaikan bagi sesama. Berbuat baik adalah buah dari pohon penglihatan, yakni penglihatan dengan mata hati maupun mata kepala.
Terinspirasi dari sini, penting sekali menatap langkanya kedamaian dengan menggunakan mata hati, bukan sekadar mata kepala. Dari sini pula, dapat dicegah penghakiman atas orang lain dengan ukuran-ukuran diri sendiri. Pendekatan sosial-kemanusiaan akan mengantarkan perjalanan kehidupan bersama sarat dengan belas kasih (compassion). Muaranya, terwujud kedamaian.
Hemat saya, pembicaraan tentang langkanya kedamaian di negeri ini wajib ditukikkan pada nilai-nilai Pancasila, melalui pemahaman yang benar, utuh, menyeluruh, dan berdasarkan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". "Bhinneka Tunggal Ika" secara linguistik berarti beraneka ragam, tetapi satu.
Rangkaian kata-kata ini merupakan semboyan, slogan, atau moto agar maknanya mudah diingat untuk dipahami tentang ideologi bangsa Indonesia, yakni Pancasila. Dari semboyan itu tersirat pemberitahuan kepada siapa pun tentang jiwa dan semangat keanekaragaman suku, agama, bahasa, dan berbagai aspek kebudayaan lain di Indonesia.
Keanekaragaman itu bukan untuk dipertentangkan satu dengan lainnya, tetapi untuk digali dan diselami potensi, daya, atau kekuatannya agar daripadanya diperoleh rahmat sehingga semakin menyatu di dalam wadah keindonesiaan.
Dalam perspektif ideologi, sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung nilai-nilai religius, yang digali dari agama-agama yang ada di Indonesia. Islam mengajarkan kepada umatnya tentang makna perbedaan, kebinekaan, dan keberagaman agar daripadanya saling mengenal.
Allah SWT berfirman: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling berta k wa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal " (QS 49: 13).
Makna kenal-mengenal dalam perbedaan itu jauh melampaui apa yang disebut toleransi. Toleransi merupakan sikap saling menghormati antarkelompok atau antarindividu disertai upaya menjauhkan dari diskriminasi. Puncak dari pemaknaan kenal-mengenal dalam perbedaan adalah takwa. Sampai derajat ketakwaan itulah mestinya pengimplementasian Bhinneka Tunggal Ika.
Semakin kuat pemahaman tentang makna keanekaragaman pada diri seseorang, atau suku, atau golongan, akan semakin terbuka peluang bagi orang, suku, atau golongan itu untuk berkontribusi mewujudkan kedamaian bersama. Dari kenal-mengenal dapat ditarik pelajaran dan pengalaman pihak lain guna peningkatan kadar ketakwaan masing-masing.
Langkanya kedamaian ditengarai berjalan seiring dengan langkanya budaya memberi dan budaya berbagi antarsesama. Masing-masing etnis, golongan, suku, pemeluk agama cenderung mendesakkan kepentingannya sendiri, seraya memaksa pihak lain untuk mengakuinya.
Klaim bahwa dirinya memiliki hak individual setara dengan hak individual pihak lain memicu munculnya sikap egois-individual, eksklusif, dan arogan. Padahal, dalam fitrahnya manusia selain makhluk individu, juga makhluk sosial. Dalam agama pun ada fungsi individu dan ada fungsi sosial. Dalam kelangkaan kedamaian itu, layak dipertanyakan, sudahkah ajaran sosial-keagamaan dipraktikkan secara benar?
Maraknya kerusuhan-kerusuhan di negeri ini merupakan bukti gagalnya pendidikan karakter. Teramat sulit ditemukan "guru" dalam makna esensialnya sebagai orang yang pantas "digugu dan ditiru". Teramat langka pemimpin yang mampu memberi keteladanan. Pendidikan budi pekerti, tinggal impian, tanpa kenyataan.
Implikasinya, penyakit peradaban merebak di mana-mana. Indikatornya: (1) keengganan menjalin hubungan kenal-mengenal; (2) keengganan berbagi ilmu, berbagi harta, berbagi kasih-sayang; (3) semakin kuatnya ego pribadi, ego institusi, ego kelompok; (4) semakin sengitnya persaingan (utamanya di bidang politik dan bisnis); (5) teganya menihilkan atas rival-rivalnya.
Kini begitu banyak saudara-saudara kita salah persepsi. Dia kira harta berjibun, kekuasaan kuat, kepopuleran memikat menjadi garansi terwujudnya kehidupan damai dan mulia. Tidak demikian. Semua itu fatamorgana belaka. Kesalahan persepsi itu berakibat fatal. Banyak orang tersesat menjadi koruptor, teroris, ekstremis, perampok, pembunuh, dan perilaku jahat lain. Mereka itulah perusak-perusak kedamaian.
Demi negeriku Indonesia, sesungguhnya introspeksi dan pengendalian diri merupakan perbuatan mulia untuk mewujudkan kedamaian. Dalam kesunyian, marilah kita bertanya: "Apa yang telah kuperbuat untuk negeri ini"? Wallahualam.
(whb)