Indonesia Bisa Terjerumus Menjadi Negara Antikritik
A
A
A
JAKARTA - Indonesia dinilai terancam menjadi negara otoritarian. Hal itu bisa terjadi jika pemerintah dan DPR terjebak dalam sikap superior.
Hal itu diungkapkan Direktur Politik dan Hukum Wain Advisory Indonesia, Sulthan Muhammad Yus menyikapi adanya ketentuan yang menyatakan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dapat mengambil langkah hukum terhadap orang dan kelompok orang yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR
Aturan tersebut tercantum dalam Pasal 122 revisi Undang-Undang tentang MPR DPR DPD DPRD (MD3) yang baru disahkan DPR, Senin 12 Februari 2018.
Sulthan juga menyoroti tentang pasal penghinaan presiden dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). "Pemegang kekuasaan di Indonesia ini lupa diri serta terjebak dalam superioritas," kata Sulthan kepada SINDOnews, Selasa (13/2/2018).
Sulthan menegaskan Pasal 1 ayat 2 UUD Tahun 1945 jelas menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Artinya, kata dia, pemegang kekuasaan tertinggi di Indonesia adalah rakyat, dan hak-hak rakyat dilindungi oleh UUD. Termasuk hak berbicara, hak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Menurut dia, lahirnya Pasal 122 UU MD3 serta masuknya rumusan pasal penghinaan presiden dan/atau wakil presiden dalam revisi KUHP merupakan langkah menjerumuskan negara ke arah otoritarianisme.
Dia berpendapat penambahan kekuasaan DPR dan menghidupkan pasal penghinaan presiden menunjukkan negara mulai mengarah pada sikap antikritik.
Kedua hal tersebut dinilainya memperlihatkan adanya semangat untuk mengancam dan menjebloskan rakyat. "DPR lupa, kursi yang mereka duduki saat ini dibeli dengan suara rakyat," ujar Sulthan.
Hal itu diungkapkan Direktur Politik dan Hukum Wain Advisory Indonesia, Sulthan Muhammad Yus menyikapi adanya ketentuan yang menyatakan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dapat mengambil langkah hukum terhadap orang dan kelompok orang yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR
Aturan tersebut tercantum dalam Pasal 122 revisi Undang-Undang tentang MPR DPR DPD DPRD (MD3) yang baru disahkan DPR, Senin 12 Februari 2018.
Sulthan juga menyoroti tentang pasal penghinaan presiden dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). "Pemegang kekuasaan di Indonesia ini lupa diri serta terjebak dalam superioritas," kata Sulthan kepada SINDOnews, Selasa (13/2/2018).
Sulthan menegaskan Pasal 1 ayat 2 UUD Tahun 1945 jelas menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Artinya, kata dia, pemegang kekuasaan tertinggi di Indonesia adalah rakyat, dan hak-hak rakyat dilindungi oleh UUD. Termasuk hak berbicara, hak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Menurut dia, lahirnya Pasal 122 UU MD3 serta masuknya rumusan pasal penghinaan presiden dan/atau wakil presiden dalam revisi KUHP merupakan langkah menjerumuskan negara ke arah otoritarianisme.
Dia berpendapat penambahan kekuasaan DPR dan menghidupkan pasal penghinaan presiden menunjukkan negara mulai mengarah pada sikap antikritik.
Kedua hal tersebut dinilainya memperlihatkan adanya semangat untuk mengancam dan menjebloskan rakyat. "DPR lupa, kursi yang mereka duduki saat ini dibeli dengan suara rakyat," ujar Sulthan.
(dam)