Kredit Bank Masih Lesu
A
A
A
SEJAK dua tahun lalu suku bunga simpanan berjangka atau lebih dikenal dengan nama deposito terus menukik. Awal tahun ini suku bunga deposito pada sejumlah bank berada di level 4%. Penurunan suku bunga tersebut oleh pihak bankir dinilai sebagai bagian dari mekanisme pasar, yang dipengaruhi permintaan dan ketersediaan kredit. Namun, analisis pengamat ekonomi menengarai itu sebagai dampak dari kondisi perbankan yang masih kebanjiran likuiditas. Sebagai konsekuensi dari likuiditas tinggi tentu berdampak pada beban bunga yang harus dibayar semakin besar. Jadi, bisa dipahami kalau perbankan memilih menurunkan bunga deposito lebih cepat ketimbang bunga kredit yang selalu dinantikan para pelaku usaha.
Penurunan suku bunga deposito idealnya diiringi penurunan suku bunga kredit. Sejak 2016 suku bunga simpanan berjangka terus melandai, namun suku bunga kredit masih setia bertengger pada level double digit. Alasan klasik yang selalu dilontarkan para pengelola bank bahwa penentuan suku bunga kredit memiliki perhitungan yang lebih rumit yang dipengaruhi berbagai komponen di luar kuasa pihak bank. Di antaranya permintaan kredit dari pelaku usaha yang masih melambat. Kalaupun suku bunga kredit diturunkan, belum tentu efek permintaan kredit mengalami pertumbuhan signifikan.
Terlepas dari alasan klasik tersebut, sebenarnya suku bunga kredit bisa saja turun seiring penurunan suku bunga deposito. Penentuan suku bunga kredit tidak terlepas dari biaya dana, biaya overhead, risiko kredit (premi risiko), dan ekspektasi keuntungan. Sebenarnya, bila dilihat dari komponen biaya dana, biaya overhead, dan risiko kredit, peluang penurunan suku bunga kredit cukup besar. Yang menjadi masalah terletak pada ekspektasi keuntungan. Apabila bank menargetkan profit tinggi, ekspektasi keuntungan pun ditingkatkan. Dampak langsungnya adalah suku bunga kredit harus tinggi.
Sepanjang tahun lalu, sebagaimana dirilis Bank Indonesia (BI), pertumbuhan kredit perbankan hanya tercatat sekitar 8,1%. Pencapaian tersebut sejalan dengan prediksi target bank sentral yang mematok pada kisaran 8% hingga 10%. Dan, realisasi pertumbuhan kredit perbankan itu lebih rendah dari target yang ditulis dalam rencana bisnis bank (RBB) sebesar 11,8%. Tercatat pertumbuhan kredit mengalami perkembangan pesat pada triwulan keempat yang dikontribusi dari kredit konsumsi (KK) dan kredit modal kerja (KMK).
Meski realisasi pertumbuhan kredit meleset dari target RBB, pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak terlalu kecewa. Tahun lalu masih terdapat sekitar Rp1.400 triliun kredit yang belum disalurkan bank, tetapi statusnya sudah commited atau deal, namun para pebisnis belum menariknya dengan alasan menunggu membaiknya ekonomi nasional. Melihat perkembangan penyaluran kredit pada akhir tahun lalu atau kuartal keempat, pihak OJK dan bank sentral optimistis akan lebih baik pada tahun ini.
Karena itu, baik OJK maupun BI berani memasang target lebih besar dari target tahun sebelumnya. BI memprediksi pertumbuhan kredit tahun ini pada kisaran 12% hingga 14%, sedangkan OJK memproyeksi sedikit lebih rendah dari target bank sentral, yakni pada level dari 11% hingga 12%, tetapi lebih tinggi dari prediksi tahun lalu sebesar 11,7%. Seiring pertumbuhan kredit, pihak OJK berharap kredit bermasalah (non performance loan) bisa ditekan hingga di bawah 3%. Sementara BI memprediksi pertumbuhan dana pihak ketiga berada pada kisaran 9% sampai 11%, sedangkan OJK memproyeksi pada level 11% hingga 12%.
Bagaimana penyaluran kredit perbankan pada awal tahun ini? Pihak bank sentral mencatat masih lesu seiring sepinya aktivitas ekonomi pada awal tahun. Kondisi tersebut, sebagaimana diungkapkan Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, tidak perlu dikhawatirkan karena pola penarikan kredit pada kuartal pertama memang masih rendah. Penyaluran kredit perbankan diyakini akan menggeliat memasuki kuartal kedua hingga akhir tahun. Namun, kalangan analis ekonomi tetap mengingatkan bahwa otoritas keuangan harus punya antisipasi menghadapi situasi politik tahun ini, yang ditandai dengan ada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak.
Penurunan suku bunga deposito idealnya diiringi penurunan suku bunga kredit. Sejak 2016 suku bunga simpanan berjangka terus melandai, namun suku bunga kredit masih setia bertengger pada level double digit. Alasan klasik yang selalu dilontarkan para pengelola bank bahwa penentuan suku bunga kredit memiliki perhitungan yang lebih rumit yang dipengaruhi berbagai komponen di luar kuasa pihak bank. Di antaranya permintaan kredit dari pelaku usaha yang masih melambat. Kalaupun suku bunga kredit diturunkan, belum tentu efek permintaan kredit mengalami pertumbuhan signifikan.
Terlepas dari alasan klasik tersebut, sebenarnya suku bunga kredit bisa saja turun seiring penurunan suku bunga deposito. Penentuan suku bunga kredit tidak terlepas dari biaya dana, biaya overhead, risiko kredit (premi risiko), dan ekspektasi keuntungan. Sebenarnya, bila dilihat dari komponen biaya dana, biaya overhead, dan risiko kredit, peluang penurunan suku bunga kredit cukup besar. Yang menjadi masalah terletak pada ekspektasi keuntungan. Apabila bank menargetkan profit tinggi, ekspektasi keuntungan pun ditingkatkan. Dampak langsungnya adalah suku bunga kredit harus tinggi.
Sepanjang tahun lalu, sebagaimana dirilis Bank Indonesia (BI), pertumbuhan kredit perbankan hanya tercatat sekitar 8,1%. Pencapaian tersebut sejalan dengan prediksi target bank sentral yang mematok pada kisaran 8% hingga 10%. Dan, realisasi pertumbuhan kredit perbankan itu lebih rendah dari target yang ditulis dalam rencana bisnis bank (RBB) sebesar 11,8%. Tercatat pertumbuhan kredit mengalami perkembangan pesat pada triwulan keempat yang dikontribusi dari kredit konsumsi (KK) dan kredit modal kerja (KMK).
Meski realisasi pertumbuhan kredit meleset dari target RBB, pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak terlalu kecewa. Tahun lalu masih terdapat sekitar Rp1.400 triliun kredit yang belum disalurkan bank, tetapi statusnya sudah commited atau deal, namun para pebisnis belum menariknya dengan alasan menunggu membaiknya ekonomi nasional. Melihat perkembangan penyaluran kredit pada akhir tahun lalu atau kuartal keempat, pihak OJK dan bank sentral optimistis akan lebih baik pada tahun ini.
Karena itu, baik OJK maupun BI berani memasang target lebih besar dari target tahun sebelumnya. BI memprediksi pertumbuhan kredit tahun ini pada kisaran 12% hingga 14%, sedangkan OJK memproyeksi sedikit lebih rendah dari target bank sentral, yakni pada level dari 11% hingga 12%, tetapi lebih tinggi dari prediksi tahun lalu sebesar 11,7%. Seiring pertumbuhan kredit, pihak OJK berharap kredit bermasalah (non performance loan) bisa ditekan hingga di bawah 3%. Sementara BI memprediksi pertumbuhan dana pihak ketiga berada pada kisaran 9% sampai 11%, sedangkan OJK memproyeksi pada level 11% hingga 12%.
Bagaimana penyaluran kredit perbankan pada awal tahun ini? Pihak bank sentral mencatat masih lesu seiring sepinya aktivitas ekonomi pada awal tahun. Kondisi tersebut, sebagaimana diungkapkan Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, tidak perlu dikhawatirkan karena pola penarikan kredit pada kuartal pertama memang masih rendah. Penyaluran kredit perbankan diyakini akan menggeliat memasuki kuartal kedua hingga akhir tahun. Namun, kalangan analis ekonomi tetap mengingatkan bahwa otoritas keuangan harus punya antisipasi menghadapi situasi politik tahun ini, yang ditandai dengan ada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak.
(wib)