Draf Revisi KUHP Berpotensi Kriminalisasi Wartawan
A
A
A
JAKARTA - Draf revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dianggap berpotensi mengkriminalisasi wartawan. Sebab, draf revisi KUHP itu dianggap memiliki sejumlah pasal yang multitafsir terkait kerja jurnalistik.
Pertama, Pasal 309 ayat (1) tentang Penyiaran Berita Bohong dalam Draf revisi KUHP. Adapun bunyinya adalah setiap orang yang menyiarkan berita bohong atau pemberitahuan bohong yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
Kemudian, Pasal 309 ayat (2) tentang Penyiaran Berita Bohong dalam Draf revisi KUHP. Bunyi pasal itu adalah setiap orang yang meyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, padahal diketahui atau patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
"Pasal terkait fake news atau berita bohong. Ini tentu dapat menghambat wartawan ketika para wartawan dihadapkan kepada narasumber yang kemudian tidak memiliki fakta akurat," ujar Direktur Advokasi LBH Pers, Ade Wahyudin di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (11/2/2018).
Kemudian, frasa 'mengakibatkan keonaran' pada Pasal 309 ayat (1) itu dianggapnya masih multitafsir. Ade menilai wartawan rentan dikriminalisasi dengan pasal itu.
"Saya memberikan contoh misalkan teman-teman wartawan meliput suatu kasus korupsi. Teman-teman wartawan mewawancarai KPK dan mewawancarai narasumber," ucapnya.
Dia menambahkan, upaya wartawan demikian dalam segi etika jurnalistik itu sudah cover both side atau memenuhi etika jurnalis. "Namun ketika berita tersebut sudah disiarkan dan ternyata narasumber tidak akurat dan tidak betul memberi informasinya, wartawan dianggap sudah memberitakan berita bohong. Ini bisa teman-teman kena pasal tersebut," tuturnya.
Selain itu, Pasal 328 hingga 329 tentang Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan dalam revisi KUHP juga dianggap multitafsir dan berpotensi mengkriminalisasi wartawan.
Adapun bunyi Pasal 328 adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya proses peradilan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Lalu, bunyi Pasal 329 itu adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori empat bagi setiap orang yang secara melawan hukum:
a. Menampilkan diri untuk orang lain sebagai pembuat atau sebagai pembantu tindak pidana yang karena itu dijatuhi pidana dan menjalani pidana tersebut untuk orang lain.
b. Tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan.
c. Menghina Hakim atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau
d. Mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat memengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
"Misalnya etika nanti teman-teman meliput di pengadilan, kemudian dipublikasi dan kemudian dianggap oleh salah satu hakim ataupun orang lain, berita dianggap dapat memengaruhi integritas hakim atau independensi hakim, teman-teman bisa dijerat oleh contempt of court," katanya.
Dia juga mengkritisi Pasal 494 tentang Tindak Pidana Pembukaan Rahasia. Bunyi Pasal 494 ayat (1) adalah setiap orang yang membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau profesinya baik rahasia yang sekarang maupun yang dahulu dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
Sementara bunyi ayat (2) Pasal 494 itu adalah jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap orang tertentu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang tersebut.
"Jadi nanti ketika teman-teman wartawan mempublikasikan rahasia jabatan, yang saat ini memang belum jelas apa itu rahasia jabatan yang berada di revisi KUHP, teman-teman bisa kena pasal ini," tuturnya.
Sehingga, ancaman pidana itu tidak hanya berpotensi membungkam kebebasan berekspresi. "Ternyata teman-teman wartawan juga dihadapkan dengan pasal-pasal akan menjerat teman-teman pers. Ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan pers yang sebenarnya adalah dekriminalisasi dengan adanya Undang-Undang Pers dan ada pranata mekanisme Dewan Pers," pungkasnya.
Pertama, Pasal 309 ayat (1) tentang Penyiaran Berita Bohong dalam Draf revisi KUHP. Adapun bunyinya adalah setiap orang yang menyiarkan berita bohong atau pemberitahuan bohong yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
Kemudian, Pasal 309 ayat (2) tentang Penyiaran Berita Bohong dalam Draf revisi KUHP. Bunyi pasal itu adalah setiap orang yang meyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, padahal diketahui atau patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
"Pasal terkait fake news atau berita bohong. Ini tentu dapat menghambat wartawan ketika para wartawan dihadapkan kepada narasumber yang kemudian tidak memiliki fakta akurat," ujar Direktur Advokasi LBH Pers, Ade Wahyudin di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (11/2/2018).
Kemudian, frasa 'mengakibatkan keonaran' pada Pasal 309 ayat (1) itu dianggapnya masih multitafsir. Ade menilai wartawan rentan dikriminalisasi dengan pasal itu.
"Saya memberikan contoh misalkan teman-teman wartawan meliput suatu kasus korupsi. Teman-teman wartawan mewawancarai KPK dan mewawancarai narasumber," ucapnya.
Dia menambahkan, upaya wartawan demikian dalam segi etika jurnalistik itu sudah cover both side atau memenuhi etika jurnalis. "Namun ketika berita tersebut sudah disiarkan dan ternyata narasumber tidak akurat dan tidak betul memberi informasinya, wartawan dianggap sudah memberitakan berita bohong. Ini bisa teman-teman kena pasal tersebut," tuturnya.
Selain itu, Pasal 328 hingga 329 tentang Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan dalam revisi KUHP juga dianggap multitafsir dan berpotensi mengkriminalisasi wartawan.
Adapun bunyi Pasal 328 adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya proses peradilan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Lalu, bunyi Pasal 329 itu adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori empat bagi setiap orang yang secara melawan hukum:
a. Menampilkan diri untuk orang lain sebagai pembuat atau sebagai pembantu tindak pidana yang karena itu dijatuhi pidana dan menjalani pidana tersebut untuk orang lain.
b. Tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan.
c. Menghina Hakim atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau
d. Mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat memengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
"Misalnya etika nanti teman-teman meliput di pengadilan, kemudian dipublikasi dan kemudian dianggap oleh salah satu hakim ataupun orang lain, berita dianggap dapat memengaruhi integritas hakim atau independensi hakim, teman-teman bisa dijerat oleh contempt of court," katanya.
Dia juga mengkritisi Pasal 494 tentang Tindak Pidana Pembukaan Rahasia. Bunyi Pasal 494 ayat (1) adalah setiap orang yang membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau profesinya baik rahasia yang sekarang maupun yang dahulu dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
Sementara bunyi ayat (2) Pasal 494 itu adalah jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap orang tertentu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang tersebut.
"Jadi nanti ketika teman-teman wartawan mempublikasikan rahasia jabatan, yang saat ini memang belum jelas apa itu rahasia jabatan yang berada di revisi KUHP, teman-teman bisa kena pasal ini," tuturnya.
Sehingga, ancaman pidana itu tidak hanya berpotensi membungkam kebebasan berekspresi. "Ternyata teman-teman wartawan juga dihadapkan dengan pasal-pasal akan menjerat teman-teman pers. Ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan pers yang sebenarnya adalah dekriminalisasi dengan adanya Undang-Undang Pers dan ada pranata mekanisme Dewan Pers," pungkasnya.
(kri)