Liberalisasi Keuangan
A
A
A
KOMISI XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum menyalakan lampu hijau untuk meratifikasi protokol keenam The ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS). Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani rupanya belum bisa meyakinkan para wakil rakyat untuk menyetujui aturan yang menyangkut liberalisasi perdagangan dan jasa, termasuk jasa keuangan di kawasan ASEAN.
Padahal di mata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, bila AFAS direalisasikan segera, maka dapat meningkatkan penetrasi perbankan nasional agar mampu merambah pasar ASEAN. Sebaliknya, Ketua Komisi XI DPR Melchias Markus Mekeng justru mempertanyakan kesiapan pemerintah dan kalau tidak terlalu mendesak meminta ditunda saja. Lebih tegas, Wakil Ketua Komisi XI DPR Jon Erizal malah menyoroti kesiapan perbankan nasional untuk bersaing dengan perbankan dari negara-negara ASEAN.
Begitu pula dari sisi regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menyambut bank dari luar untuk beroperasi di Indonesia. Memang sulit disangkal bahwa liberalisasi keuangan adalah sebuah peluang bagus bagi perbankan nasional merambah pasar regional sekaligus menguji kemampuan untuk berkompetisi.
Melihat respons dari pihak Komisi XI DPR yang belum bersedia meratifikasi AFAS, sebenarnya tidak bermaksud menganggap tidak penting aturan liberalisasi keuangan tersebut. Namun yang diharapkan, sejauh mana ”jaminan” pemerintah melindungi industri keuangan domestik.
Dipertanyakan tentang manfaat liberalisasi keuangan bagi Indonesia, Menkeu Sri Mulyani menyebut tiga manfaat yang sudah di depan mata. Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat meningkat dengan masuknya investasi dari ASEAN ke Indonesia terutama pada industri jasa keuangan. Kedua, bisa membuka peluang pemasaran dan investasi dari Indonesia ke berbagai negara di kawasan ASEAN.
Ketiga, dapat meningkatkan ketersediaan produk perbankan. Mengapa pengesahan protokol keenam tersebut dinilai penting oleh Menkeu Sri Mulyani? Kalau aturan tersebut diratifikasi dapat segera diimplementasikan kerja sama jasa keuangan dengan negara anggota ASEAN bagian dari komitmen Indonesia dalam mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Sekadar menyegarkan ingatan, protokol keenam AFAS telah ditandatangani para menteri keuangan negara ASEAN pada Maret 2015. Selanjutnya pemerintah mengajukan rancangan undang-undang (RUU) AFAS yang direkomendasi dari DPR pada 2016 agar bisa dipertanggungjawabkan. Dalam RUU AFAS telah mengatur aktivitas perbankan dari luar secara detail termasuk soal ketentuan pembukaan cabang. Kalau Komisi XI masih menahan diri untuk menyetujui protokol keenam AFAS, tentu ada hal krusial dari aturan tersebut.
Bicara soal ekspansi perbankan nasional ke wilayah ASEAN memang sungguh ironis. Bagi bank asal Indonesia untuk membuka cabang di sejumlah negara ASEAN begitu sulit, contoh di Singapura dan Malaysia. Sebaliknya aturan di Indonesia membuka selebar-lebarnya perbankan kedua negeri jiran beroperasi di negeri ini.
Faktanya, lebih dari dua ribuan authomatic teller machine (ATM) dan kantor cabang bank yang dimiliki investor asal Singapura di Indonesia. Karena itu, sisi positif dari AFAS dapat menciptkan keseimbangan dalam sektor jasa keuangan antarnegara di kawasan ASEAN.
Selama ini Indonesia menjadi pasar empuk bagi negara-negara ASEAN lainnya termasuk urusan jasa keuangan. Ketika MEA mulai diberlakukan awal 2016 lalu, sempat mengundang pertanyaan mampukah Indonesia meraih keuntungan dalam pasar bebas di kawasan negeri serumpun itu?
Memang ada kekhawatiran pada saat liberalisasi keuangan diberlakukan justru perbankan nasional kurang siap menangkap peluang itu. Begitu pula terhadap industri keuangan lainnya, seperti asuransi dan lembaga pembiayaan bisa ”dilalap” bila tidak siap. Sebaliknya, perbankan dari negara-negara ASEAN dapat mengancam keberadaan perbankan nasional. Padahal, Indonesia harus menunjukkan komitmen dalam mengimplementasikan MEA.
Padahal di mata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, bila AFAS direalisasikan segera, maka dapat meningkatkan penetrasi perbankan nasional agar mampu merambah pasar ASEAN. Sebaliknya, Ketua Komisi XI DPR Melchias Markus Mekeng justru mempertanyakan kesiapan pemerintah dan kalau tidak terlalu mendesak meminta ditunda saja. Lebih tegas, Wakil Ketua Komisi XI DPR Jon Erizal malah menyoroti kesiapan perbankan nasional untuk bersaing dengan perbankan dari negara-negara ASEAN.
Begitu pula dari sisi regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menyambut bank dari luar untuk beroperasi di Indonesia. Memang sulit disangkal bahwa liberalisasi keuangan adalah sebuah peluang bagus bagi perbankan nasional merambah pasar regional sekaligus menguji kemampuan untuk berkompetisi.
Melihat respons dari pihak Komisi XI DPR yang belum bersedia meratifikasi AFAS, sebenarnya tidak bermaksud menganggap tidak penting aturan liberalisasi keuangan tersebut. Namun yang diharapkan, sejauh mana ”jaminan” pemerintah melindungi industri keuangan domestik.
Dipertanyakan tentang manfaat liberalisasi keuangan bagi Indonesia, Menkeu Sri Mulyani menyebut tiga manfaat yang sudah di depan mata. Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat meningkat dengan masuknya investasi dari ASEAN ke Indonesia terutama pada industri jasa keuangan. Kedua, bisa membuka peluang pemasaran dan investasi dari Indonesia ke berbagai negara di kawasan ASEAN.
Ketiga, dapat meningkatkan ketersediaan produk perbankan. Mengapa pengesahan protokol keenam tersebut dinilai penting oleh Menkeu Sri Mulyani? Kalau aturan tersebut diratifikasi dapat segera diimplementasikan kerja sama jasa keuangan dengan negara anggota ASEAN bagian dari komitmen Indonesia dalam mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Sekadar menyegarkan ingatan, protokol keenam AFAS telah ditandatangani para menteri keuangan negara ASEAN pada Maret 2015. Selanjutnya pemerintah mengajukan rancangan undang-undang (RUU) AFAS yang direkomendasi dari DPR pada 2016 agar bisa dipertanggungjawabkan. Dalam RUU AFAS telah mengatur aktivitas perbankan dari luar secara detail termasuk soal ketentuan pembukaan cabang. Kalau Komisi XI masih menahan diri untuk menyetujui protokol keenam AFAS, tentu ada hal krusial dari aturan tersebut.
Bicara soal ekspansi perbankan nasional ke wilayah ASEAN memang sungguh ironis. Bagi bank asal Indonesia untuk membuka cabang di sejumlah negara ASEAN begitu sulit, contoh di Singapura dan Malaysia. Sebaliknya aturan di Indonesia membuka selebar-lebarnya perbankan kedua negeri jiran beroperasi di negeri ini.
Faktanya, lebih dari dua ribuan authomatic teller machine (ATM) dan kantor cabang bank yang dimiliki investor asal Singapura di Indonesia. Karena itu, sisi positif dari AFAS dapat menciptkan keseimbangan dalam sektor jasa keuangan antarnegara di kawasan ASEAN.
Selama ini Indonesia menjadi pasar empuk bagi negara-negara ASEAN lainnya termasuk urusan jasa keuangan. Ketika MEA mulai diberlakukan awal 2016 lalu, sempat mengundang pertanyaan mampukah Indonesia meraih keuntungan dalam pasar bebas di kawasan negeri serumpun itu?
Memang ada kekhawatiran pada saat liberalisasi keuangan diberlakukan justru perbankan nasional kurang siap menangkap peluang itu. Begitu pula terhadap industri keuangan lainnya, seperti asuransi dan lembaga pembiayaan bisa ”dilalap” bila tidak siap. Sebaliknya, perbankan dari negara-negara ASEAN dapat mengancam keberadaan perbankan nasional. Padahal, Indonesia harus menunjukkan komitmen dalam mengimplementasikan MEA.
(thm)