Pilkada Serentak Harus Bersih dari Provokasi SARA

Sabtu, 03 Februari 2018 - 11:08 WIB
Pilkada Serentak Harus...
Pilkada Serentak Harus Bersih dari Provokasi SARA
A A A
JAKARTA - Radikalisme sangat rentan terjadi di tengah masyarakat yang sedang tersulut emosi. Sekecil apa pun provokasi yang bisa menyulut radikalisme harus diantisipasi, terutama saat bangsa Indonesia tengah melaksanakan pesta demokrasi.

Apalagi jika provokasi menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). “Sebagai negara majemuk, potensi munculnya radikalisme di tengah masyarakat sangat tinggi apalagi jelang digelarnya Pilkada Serentak. Karena itu, pemerintah, terutama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mesti mewaspadai kemungkinan itu sedini mungkin,” ujar salah satu kelompok ahli BNPT, Syaiful Bakhri, di Jakarta, belum lama ini.

Dia memaparkan masyarakat terbagi dalam tiga lapisan, yaitu elite, menengah, dan akar rumput (bawah). Dari ketiga lapisan itu, lapisan akar rumput yang paling mudah terprovokasi, sementara kalangan elite adalah kelompok yang bisa memprovokasi, sedangkan kelompok menengah relatif netral dan tidak terlalu mempersoalkan siapa yang menjadi pemimpin.

“Kalangan kelas atas biasanya punya desain untuk mempertahankan posisi mereka. Caranya dengan masuk partai politik dan pergaulan elite lainnya. Meski jumlahnya sedikit, kalangan atas yang memiliki uang inilah yang bisa bekerja sama atau membiayai provokator,” katanya.

Dia mengajak seluruh masyarakat untuk mewaspadai provokasi dan kampanya hitam, apalagi mengatasnamakan SARA dalam pilkada serentak nanti.

Menurut dia, semua harus sepakat untuk mempertahankan kondisi seperti sekarang ini, yakni damai, tenteram dan bahagia, sebagai kepentingan nasional yang mutlak.

Selama ini, kata Syaiful, Indonesia sudah berjalan dengan baik dan telah berpengalaman menjalankan pesta demokrasi terbuka, baik itu pilkada, pemilu pegislatif maupun pemilihan presiden (pilpres), sebanyak empat periode.

Pada penyelenggaraan pesta demokrasi, sambung dia, selalu terjadi gesekan tapi tidak menimbulkan konflik yang bersifat nasional, tapi hanya kedaerahan.

Dia meminta, kepolisian sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat harus berfungsi dengan baik selama mengawal pelaksanaan pesta demokrasi itu.

Selain itu, masyarakat juga harus terlibat dalam menjaga keamanan dan ketertiban sehingga sekecil apa pun kemungkinan terjadinya gesekan bisa diantisipasi dari tingkat paling bawah.

“Perebutan kekuasaan melalui pemilu ini kan konstitusional, maka hasilnya pun konstiutisional. Kalau hasilnya konstitusional maka yang kalah pasti menerimanya. Bila ada banyak catatan alasan kekalahan, maka bisa dilakukan secara konstitusional di Mahkamah Konstitusi (MK). Kalau selesai di MK maka juga semuanya akan berakhir. Itulah ciri bahwa kewenangan konstitusional ada pada masyarakat. Saya kira masyarakat kita sudah dewasa dan memahami hal ini,” tuturnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1694 seconds (0.1#10.140)