Tanpa Pleno Baleg, Paripurna Revisi UU Penyiaran Dinilai Tabrak Aturan

Kamis, 01 Februari 2018 - 14:16 WIB
Tanpa Pleno Baleg, Paripurna Revisi UU Penyiaran Dinilai Tabrak Aturan
Tanpa Pleno Baleg, Paripurna Revisi UU Penyiaran Dinilai Tabrak Aturan
A A A
JAKARTA - Pengambilan keputusan atas revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran melalui Rapat Paripurna DPR tanpa didahului rapat pleno di Badan Legislasi (Baleg) dinilai menabrak dua UU.

Maka itu, Baleg meluruskan informasi yang disampaikan Wakil Ketua DPR Agus Hermanto yang mengatakan revisi UU tentang Penyiaran tetap akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR walaupun Baleg belum menggelar rapat pleno terkait hal itu.

Adapun dua Undang-undang yang berpotensi ditabrak adalah Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) serta UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

"Kalau ini yang dilakukan maka Baleg punya tanggung jawab menyampaikan meluruskan informasi yang mungkin salah oleh pimpinan DPR. Kalau ini dilanjutkan maka setidak-tidaknya ada dua Undang-undang yang akan ditabrak," ujar Wakil Ketua Baleg Firman Soebagyo di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (1/2/2018).

Selain dua Undang-undang itu, Firman mengatakan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib serta Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2014.

Firman menjelaskan jika semua aturan itu ditabrak maka akan menjadi preseden buruk karena DPR merupakan salah satu pihak yang memiliki kewenangan membuat UU.

"Walaupun semua ini proses politik tapi tidak boleh menabrak Undang-undang dan peraturan yang dibuat DPR sendiri, ini yang harus menjadi satu hal yang jadi perhatian dari unsur-unsur pimpinan dan perhatian kita semua," papar politikus Partai Golkar ini.

Dia menambahkan, hingga saat ini konsep penguasan frekuensi dalam revisi Undang-undang tentang Penyiaran belum disepakati. Menurut dia, sejauh ini Baleg DPR sudah proaktif berupaya menuntaskan revisi UUtentang Penyiaran itu. Salah satunya mengundang semua stakeholder secara terbuka.

"Bagaimana pilihan terbaik agar frekuensi ini dikuasai oleh negara tidak ada monopoli di manapun, baik swasta maupun pemerintah nantinya, dan kemudian agar dunia usaha itu dapat suatu kepastian hukum agar mereka itu juga bisa menjalankan fungsi tugasnya sebagai industi penyiaran yang demokratis maka kita cari solusinya, solusinya adalah cari jalan tengah," tuturnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6925 seconds (0.1#10.140)