Fintech Tumbuh Pesat
A
A
A
Layanan financial technology (fintech) semakin akrab dengan masyarakat. Sepanjang tahun lalu layanan fintech atau platform layanan keuangan model peer to peer (P2P) lending bertumbuh pesat. Karena itu, pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta penyedia jasa layanan P2P lending harus lebih transparan menjelaskan mekanisme kerja dan risikonya kepada masyarakat. Pasalnya, risiko P2P lending sangat tinggi dan tidak memiliki jaminan apa pun. P2P lending adalah layanan jasa keuangan yang mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam kaitan melakukan perjanjian pinjam meminjam melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.
Salah satu bentuk transparansi paling utama yang diminta OJK adalah keterbukaan soal bunga pinjaman. Penetapan besaran bunga pinjaman memang tidak dibatasi oleh OJK, namun penyedia layanan fintech mesti terbuka sehingga pemberi pinjaman dan peminjam sama-sama paham akan risiko transaksi. Memang fintech model P2P lending berbeda dengan sifat pinjam meminjam dengan perbankan. Prinsip kerja platform keuangan ini begitu sederhana di mana pemberi pinjaman dan peminjam tidak bertatap muka. Dengan kata lain, bisa langsung memberi atau mendapat pinjaman tanpa repot melakukan verifikasi. Peran fintech P2P lending hanya sebagai fasilitator sehingga pinjaman cenderung bersifat personal.
Perjalanan fintech sepanjang tahun lalu termasuk sangat mulus dan lancar. Hal itu tak terlepas dari dukungan kebijakan pemerintah yang telah memberi ruang gerak yang lebar bagi industri yang tergolong baru di negeri ini. Begitu pula tingkat literasi keuangan yang semakin baik terutama di pasar kelompok milenial. Dan, semakin lengkap berkat kolaborasi yang baik antara para pemangku kepentingan guna memperkuat pertumbuhan fintech di dalam negeri. Publikasi terbaru dari Asosiasi Fintech (Aftech) Indonesia menyebutkan sebanyak 235 perusahaan fintech yang beroperasi di Indonesia hingga Desember 2017. Dari data tersebut terungkap sistem pembayaran mendominasi sekitar 39%. Tidak terlepas dari semakin menguatnya konsolidasi dan sinergi para pelaku usaha untuk memadukan potensi masing-masing.
Sementara pelaku usaha pada bidang pinjam-meminjam (P2P lending) pada awal tahun masih tercatat tumbuh sekitar 15% dan kemudian melonjak mencapai sekitar 32% pada akhir tahun lalu. Hal itu seiring dengan terbitnya peraturan OJK terkait P2P lending. Data yang dikeluarkan OJK terkait sistem P2P lending menunjukkan jumlah transaksi sudah mencapai sebesar Rp2,2 triliun per November 2017. Selebihnya, tercatat market provisioning dan manajemen investasi masing-masing tumbuh sekitar 11%, menyusul insurtech sebesar 4%, dan equity capital raising sekitar 3%. Adapun pangsa pasar terbesar fintech adalah kelompok milenial kelas menengah yang berusia 25 hingga 35 tahun dengan pendapatan sebesar Rp5 juta hingga Rp15 juta per bulan. Kelompok milenial sudah akrab dengan teknologi dan gampang mengadopsi inovasi baru berbasis teknologi.
Sebuah prediksi menarik bahwa perusahaan transportasi online seperti Go-Jek, Grab, dan Uber bakal melakukan transisi bisnis menjadi layanan pembayaran elektronik (fintech). Salah satu faktor pendorong terjadi transisi bisnis tersebut karena aturan transportasi online semakin ketat. Tanda-tanda beralih bisnis mulai ditunjukkan Go-Jek yang telah mengumumkan sudah mengambil alih tiga start-up fintech lokal, yakni Kartuku, Midtrans, dan Mapan. Kabarnya, tiga perusahaan rintisan tersebut telah mencatat total transaksi sekitar Rp67,5 triliun per tahun, melalui kartu kredit, debit, dan dompet digital.
Tak bisa dipungkiri, akibat perkembangan teknologi yang sangat pesat, otoritas yang menangani industri jasa keuangan harus terus melakukan penyesuaian aturan. Hal itu sangat disadari pihak OJK yang sedang menyiapkan sejumlah regulasi terkait tata kelola fintech yang menguntungkan semua pihak. OJK menyebut koridor fintech tidak boleh keluar dari asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan fairness (TARIF). Sehubungan itu, OJK memastikan segera menerbitkan kebijakan pada lembaga jasa keuangan di antaranya guiding principles bagi penyelenggara layanan keuangan digital, meliputi mekanisme pendaftaran dan perizinan, penerapan regulatory sandbox,dan kebijakan seputar penggalangan dana. Langkah OJK sudah tepat karena perkembangan fintech yang begitu pesat dikhawatirkan bisa memunculkan risiko ketidakstabilan sistem keuangan di negeri ini.
Salah satu bentuk transparansi paling utama yang diminta OJK adalah keterbukaan soal bunga pinjaman. Penetapan besaran bunga pinjaman memang tidak dibatasi oleh OJK, namun penyedia layanan fintech mesti terbuka sehingga pemberi pinjaman dan peminjam sama-sama paham akan risiko transaksi. Memang fintech model P2P lending berbeda dengan sifat pinjam meminjam dengan perbankan. Prinsip kerja platform keuangan ini begitu sederhana di mana pemberi pinjaman dan peminjam tidak bertatap muka. Dengan kata lain, bisa langsung memberi atau mendapat pinjaman tanpa repot melakukan verifikasi. Peran fintech P2P lending hanya sebagai fasilitator sehingga pinjaman cenderung bersifat personal.
Perjalanan fintech sepanjang tahun lalu termasuk sangat mulus dan lancar. Hal itu tak terlepas dari dukungan kebijakan pemerintah yang telah memberi ruang gerak yang lebar bagi industri yang tergolong baru di negeri ini. Begitu pula tingkat literasi keuangan yang semakin baik terutama di pasar kelompok milenial. Dan, semakin lengkap berkat kolaborasi yang baik antara para pemangku kepentingan guna memperkuat pertumbuhan fintech di dalam negeri. Publikasi terbaru dari Asosiasi Fintech (Aftech) Indonesia menyebutkan sebanyak 235 perusahaan fintech yang beroperasi di Indonesia hingga Desember 2017. Dari data tersebut terungkap sistem pembayaran mendominasi sekitar 39%. Tidak terlepas dari semakin menguatnya konsolidasi dan sinergi para pelaku usaha untuk memadukan potensi masing-masing.
Sementara pelaku usaha pada bidang pinjam-meminjam (P2P lending) pada awal tahun masih tercatat tumbuh sekitar 15% dan kemudian melonjak mencapai sekitar 32% pada akhir tahun lalu. Hal itu seiring dengan terbitnya peraturan OJK terkait P2P lending. Data yang dikeluarkan OJK terkait sistem P2P lending menunjukkan jumlah transaksi sudah mencapai sebesar Rp2,2 triliun per November 2017. Selebihnya, tercatat market provisioning dan manajemen investasi masing-masing tumbuh sekitar 11%, menyusul insurtech sebesar 4%, dan equity capital raising sekitar 3%. Adapun pangsa pasar terbesar fintech adalah kelompok milenial kelas menengah yang berusia 25 hingga 35 tahun dengan pendapatan sebesar Rp5 juta hingga Rp15 juta per bulan. Kelompok milenial sudah akrab dengan teknologi dan gampang mengadopsi inovasi baru berbasis teknologi.
Sebuah prediksi menarik bahwa perusahaan transportasi online seperti Go-Jek, Grab, dan Uber bakal melakukan transisi bisnis menjadi layanan pembayaran elektronik (fintech). Salah satu faktor pendorong terjadi transisi bisnis tersebut karena aturan transportasi online semakin ketat. Tanda-tanda beralih bisnis mulai ditunjukkan Go-Jek yang telah mengumumkan sudah mengambil alih tiga start-up fintech lokal, yakni Kartuku, Midtrans, dan Mapan. Kabarnya, tiga perusahaan rintisan tersebut telah mencatat total transaksi sekitar Rp67,5 triliun per tahun, melalui kartu kredit, debit, dan dompet digital.
Tak bisa dipungkiri, akibat perkembangan teknologi yang sangat pesat, otoritas yang menangani industri jasa keuangan harus terus melakukan penyesuaian aturan. Hal itu sangat disadari pihak OJK yang sedang menyiapkan sejumlah regulasi terkait tata kelola fintech yang menguntungkan semua pihak. OJK menyebut koridor fintech tidak boleh keluar dari asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan fairness (TARIF). Sehubungan itu, OJK memastikan segera menerbitkan kebijakan pada lembaga jasa keuangan di antaranya guiding principles bagi penyelenggara layanan keuangan digital, meliputi mekanisme pendaftaran dan perizinan, penerapan regulatory sandbox,dan kebijakan seputar penggalangan dana. Langkah OJK sudah tepat karena perkembangan fintech yang begitu pesat dikhawatirkan bisa memunculkan risiko ketidakstabilan sistem keuangan di negeri ini.
(zik)